webnovel

Tanril: Telaga Api

Legenda satu orang yang bisa menahan kepungan ratusan ribu pasukan, menaklukkan puluhan ribu tentara elit, serta menghentikan Perang Saudara berkepanjangan. Wander Atale Oward adalah anak kelima dari Likuun dan Chiru’un. Sejak kecil ia adalah anak yang lemah dan sakit-sakitan. Ketika ia sudah bersekolah, ia menjadi bulan-bulanan anak-anak saudagar di sekolahnya, ditindas dengan licik, hingga dikeluarkan dari sekolah. Wander tetap berkeinginan untuk mempelajari “Rijeen” atau seni bela diri. Ia mendesak ayahnya untuk mencarikan lagi guru baginya, hingga akhirnya ia diterima sebagai murid tunggal seorang ahli Rijeen yang eksentrik bernama Kurt Manjare. Kurt tidak mengajarkan ilmu bertarung, tetapi mengajarkan Teknik mengelola dan menguasai Khici. Kurt tahu bahwa Wander adalah anak yang istimewa. Wander terlahir sebagai “Tanril’, atau ia yang memiliki telaga api Khici dalam dirinya. Untuk bisa memanfaatkan itu, Wander perlu diarahkan dengan benar. Dalam bimbingan Kurt, Wander mengalami kemajuan pesat. Kemudian, Kurt ternyata mengungkap bahwa ia bukanlah guru sejati Wander. Ia hanya dipesan untuk mengajari Wander hal=hal yang mendasar, tetapi ia perlu mencipta sendiri Rijeen-nya di bawah bimbingan guru sesungguhnya bernama Jie Bi Shinjin yang misterius. Pada usia belasan tahun, Kerajaan Telentium, tempat tinggal Wander mengalami pergolakan. Raja negeri itu mangkat. Takhta kerajaan menjadi perebutan berdarah, hingga negeri terbelah dan pecah perang saudara. Pasukan Pangeran Pertama yang penuh ambisi kini mengarah menuju kota kelahiran Wander, Fru Gar. Atas pesan gurunya, Wander berusaha mempertahankan kota ini sekaligus berusaha menyelamatkan keluarga dan para penduduk kota.

Jadeteacup · Fantasy
Not enough ratings
309 Chs

Kisah Urand - Kala Lonceng Duka Berbunyi

Sebelum mati

Burung berkicau paling merdu

Ucapan manusia sebelum mati

Adalah kristal segala laku dan hatinya

Ia melihat orang yang berlutut di hadapannya dengan ramah.

"Tuanku, tolong pikirkanlah kembali. Pasti ada jalan lain," Pinta orang kepercayaan anak perempuannya itu.

Tapi tidak ada rasa yakin dalam kata-kata itu. Terutama ketika kalimat yang sama telah diulang sebanyak lima kali.

"Tidak ada jalan lain," Ia menjawab kembali dengan tenang.

"Bagaimana mungkin tidak ada jalan lain, Yang Mulia? Aku bisa mengeluarkanmu dari tempat ini."

"Lalu apa gunanya jika kamu bisa melakukan hal itu?"

Mata-mata itu terdiam.

Ia menyambung dengan halus, "Aku tahu mengenai kecerdasanmu, Sulfa. Kamu tahu persis bahwa aku sudah dipenjara dalam sangkar emas bernama Istana ini. Para pelayanku semuanya sudah dipisah-pisahkan dariku. Semuanya mengira aku mendadak sakit, memerlukan istirahat total dan dirawat para tabib ahli. Sungguh suatu alasan bagus untuk menutupi kenyataan, sementara mereka mengirimkan utusan untuk mengundang anak-anakku datang kemari, lalu menawan mereka sebagai sandera. Aku berutang pada kemampuanmu menyelinap kemari hingga bisa memberiku kesempatan ini."

"Tuanku, jika aku diberi kesempatan berpendapat… Tidakkah hal yang terbaik sekarang adalah berpihak dengan Pangeran? Dengan demikian… Kamu akan bisa selamat dan…."

Pangeran Kedua merangkumkan kedua telapak tangannya di bawah dagu dan mendengarkan dengan cermat penuturan bawahannya itu. Ketika Sulfa telah selesai, ia bertanya dengan nada seakan-akan ia baru mendengar guyonan, "Sulfa, kau dan aku belum pernah sebelum ini bersama-sama. Tapi, kamu begitu gigih berjuang mempertahankan keselamatan jiwaku. Kenapa ya?"

Ia merasa demikian tak percaya saat mendengar pertanyaan konyol itu, Sulfa berbisik tegang, "Tuanku! Hamba adalah bawahanmu! Hamba rela bertaruh nyawa demi keselamatan Pangeran!"

"Omong kosong. Semua kewajibanmu sebagai bawahanku adalah menuruti kehendakku. Anakku mungkin diam-diam menyuruhmu menjagaku mati-matian, bahkan kalau perlu menghancurkan dunia sekalipun demi aku, tapi ketika kamu ditugaskan padaku, perintah itu sudah gugur. Syarat pengabdianmu padaku hanyalah kalau kau menuruti semua perintahku. Sekarang, Sulfa, apa kau berani melanggar kehormatanmu dan menjadi orang yang tidak bisa dipercaya?"

Sulfa terdiam. Wajahnya menjadi gelap selama beberapa saat. Ia akhirnya mengeluarkan sesuatu dari balik jubah hitamnya: sebuah botol kecil berleher tinggi dengan tutup dari lilin. Sulfa menghampiri sebuah teko teh dari emas di sisi tempat tidur, menuang cairan teh yang wangi itu ke sebuah cangkir keramik. Lalu, dengan hati-hati ia membuka tutup dari lilin itu dan sebuah pil berwarna hijau kebiruan menggelinding keluar dan terjatuh ke dalam cangkir berisi teh itu. Ia menambahkan sentuhan akhir dengan mengaduknya sebentar, sebelum menyajikannya dengan hormat di atas sebuah tatakan.

Pangeran berbisik tegang, "Apa rasanya… aneh?"

Sulfa merengut, itukah yang dikhawatirkan Pangeran ini?

"Rasanya betul-betul tidak enak. Tapi bekerjanya lebih baik kalau dilarutkan. Teh juga bisa menutupi sebagian rasa tidak enaknya."

Pikiran Pangeran Kedua mendadak dipenuhi berbagai pertanyaan, tapi ia tidak jadi menanyakannya ketika ia menyambut dengan hangat cangkir yang disorongkan padanya. Ia hampir menyentuhnya, ketika cangkir itu ditarik kembali di detik terakhir oleh mata-mata itu.

"Bisakah setidaknya kau jelaskan padaku… Mengapa? Supaya aku bisa bilang padanya…" Sulfa berkata.

Pangeran akhirnya tersenyum penuh kepuasan. Akhirnya mata-mata ini telah menanggalkan topeng kepribadiannya. Bahwa ia memanggilnya dengan 'kau' ketimbang 'Tuanku', memanggil anak perempuannya dengan 'nya' ketimbang dengan 'Putri atau Yang Mulia Tuan Putri'.

"Berikan padaku cangkir itu dan akan kuberitahu. Ini janji antar laki-laki!"

Mereka saling menatap satu sama lain. Sulfa akhirnya mengendur. Ia memberikannya cangkir itu.

Pangeran Kedua melihat cangkir teh itu dan ia merasa begitu aneh. Ia sedang memegang racun maut tanpa penawar di tangannya, tapi ia tidak merasakan apa pun selain… ketenangan yang luar biasa. Sungguh aneh betapa tenangnya seseorang bahkan ketika kematian hanya tinggal satu teguk saja.

"Pertama-tama, jawablah pertanyaanku, Sulfa. Apa kamu masih berpikir Perang Saudara bisa dihindari?"

"Bisa. Dalam perhitunganku, jika engkau bisa kabur…"

"Aku akan dicap sebagai pengkhianat dan semua putriku akan dieksekusi! Sementara, Kajuki akan datang tanpa curiga ke Ibukota ini dan akan menemui ajalnya."

Kajuki Muril Urand, Pangeran Ketiga, menurut kabar terakhir sedang menuju ke Ibukota bersama rombongan besar. Jika tidak ada aral, ia sudah mencapai Fru Gar...

"Kamu bisa menyuruhku mengantarkan surat kepadanya sekarang. Aku akan menemuinya di tengah jalan."

"Apa kamu pikir ia akan percaya padamu?"

"Jika surat itu dicap dan ditulis tangan olehmu…"

"Kamu salah besar, Sulfa. Aku tahu betul tabiat adikku itu. Ia orang yang sangat jujur dan mempercayai pendiriannya sendiri. Naif. Ia adalah yang mengira bahwa jika ia berpegang pada prinsip maka yang lainnya pun demikian. Ia percaya bahwa ia harus datang kemari dan tidak ada yang bisa menghentikannya selain ia sendiri. Satu-satunya cara untuk menghentikannya datang kemari adalah membuatnya ragu, bingung, bukan melarangnya. Aku telah mengirimkannya sepucuk surat sebelum berangkat, menasihatinya untuk menunda berangkat selama beberapa hari karena aku memiliki firasat buruk. Hanya itu batas kemampuanku untuk mengatur tindakannya."

Pangeran Kedua mendesah, "Ia berani, berhati emas, dan dikaruniai semangat yang begitu besar. Aku bisa membayangkan betapa ia akan datang dan melabrak Ia akan datang ke Istana ini, cepat atau lambat, apa pun yang kuberitahukan padanya. Besok… atau bahkan hari ini… ia bisa saja mulai bergerak lagi kemari."

"Kalau begitu kenapa tidak biarkan ia datang dan mati sedari awal?"

Ia tersenyum mendengar penuturan lugas dan dingin itu, "Kamu pikir perang bisa dihindarkan dengan cara begitu? Mari kita andaikan kita biarkan adikku itu datang kemari, lalu ia akan jatuh ke dalam perangkap. Yang berikutnya akan binasa adalah aku, lalu putri-putriku! Berikutnya menyusul: rakyat akan jatuh dalam rezim brutal ini, tapi tidak sebelum mereka memberontak dan dibasmi dalam pertempuran berdarah."

Sulfa mendadak sampai ke sebuah kesimpulan, "Kalau begitu… Perang ini tidak bisa dihindari."

"Betul. Perang ini tidak terhindarkan. Sejak kematian Raja… Tidak, bahkan mungkin jauh sebelum itu. Vergan mungkin sudah bertekad duduk di atas takhta apa pun harganya. Aku menyesal tidak cukup bijak untuk mencurigainya."

"Tapi… bukankah ia adalah Putra Mahkota? Mengapa ia melakukan semua ini? Jangan-jangan Surat Wasiat..."

Ligeir mengangguk miris, "Ketika aku sampai di istana ini dan pertama kalinya aku melihat mata saudaraku, aku sadar ia sebenarnya sudah membuka Surat Wasiat itu. Saat itu, ia memintaku mendukungnya. Aku memintanya membatalkan segala pikiran soal politik dulu sampai Upacara Berkabung usai. Tapi ia memaksa terus membicarakan hal ini. Lalu, Perdana Menteri Kazan datang dan menekanku mengenai masalah yang sama, begitu pula bangsawan-bangsawan lain. Kuberitahu pendapatku: Surat Wasiat itu sudah dicuri baca dan apa pun isinya, itu tidak memuaskan saudaraku itu. Seluruh istana dan militer kini ada di pihaknya. Mereka mungkin sudah merencanakan perang ini berulang kali di kepala mereka."

Ya. Itu benar. Terlambat sudah menghentikan kegilaan ini…

Tapi kalau begitu, mengapa wasiat Janeek tidak memuaskannya?

"Bagaimana jika aku membunuh Pangeran itu…. Aku bisa melakukannya…"

"Itu adalah ide yang tampaknya luar biasa, Sulfa. Tapi busuk dari dalam. Mari kita andaikan kamu bisa membunuh adikku itu diam-diam. Lalu apa? Semuanya akan kacau. Istana akan bergolak. Gosip-gosip akan beterbangan liar ke mana pun. Jika Surat Wasiat dibuka dan ternyata nama saudaraku itu ada di sana, seluruh rakyat tak akan pernah mempercayai Keluarga Urand lagi."

"Tapi nama Pangeran Pertama tidak mungkin ada dalam wasiat itu! Katamu…"

"Belum tentu. Kamu ingat pria yang kutemui diam-diam sebelum kita sampai ke Istana?"

Sulfa mengangguk. Ia tidak akan pernah melupakan Pengejar Mimpi itu.

"Ia dahulunya guru adikku. Ia menceritakan padaku bahwa ada rahasia dalam yang terkubur, dan ia menceritakan padaku segalanya karena ia akhirnya paham bahwa perang tidak terhindarkan. Aku jadi tahu bahwa ayah pasti menulis dalam Wasiatnya bahwa saudaraku Pangeran Pertama akan mewarisi Takhta dan Mahkota, tapi wilayahnya tidak akan pernah meliputi wilayah adikku. Sederhananya, Kerajaan dibagi menjadi dua bagian."

"Kenapa Raja melakukannya? Itu ketololan luar biasa!"

[Hanya karena satu perbuatan di masa lalu…

Menimbulkan bencana berantai di masa depan…

Betapa aneh dan menakutkannya hidup ini....]

Ia tidak menjawab pertanyaan itu. Malah, ia menjelaskan lebih lanjut, "Ada alasan kedua mengapa kamu tidak boleh membunuhnya. Keluarga kami berasal dari bangsawan keturunan panglima Dinasti Clem. Kami memberontak terhadap mereka saat Dinasti mulai runtuh, saat mereka saling membunuh dan rakyat begitu sengsara, sampai akhirnya Keluarga kami, Urand, memegang kekuasaan sampai sekarang. Bagaimana kamu yakin hal yang sama tidak terjadi lagi? Ada banyak orang yang penuh ambisi di luar sana, menunggu datangnya kesempatan. Lalu, alasan terakhir mengapa kamu tidak boleh menyakitinya adalah karena… ia juga adalah adikku. Aku menyayangi kedua adikku, dan aku tidak pernah ingin menyakiti mereka. Biarkan mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri dengan adil. Dengan perang sekalipun, jika sudah tak terhindarkan."

Keheningan menguasai ruangan itu.

Sulfa mengelah napas berat, "K-kau… sungguh…"

"Egois bukan? Tapi dengan ini, aku bisa menyelamatkan nyawa putriku, adikku, meskipun aku tidak bisa menyelamatkan banyak orang, semoga Divara melindungi mereka. Satu, dua, tiga orang, Sulfa. Itu prestasi mahabesar untuk orang cacat seperti aku," Ia terkekeh, kemudian menambahkan, "Ayahku pernah bilang bahwa jika kamu menyelamatkan satu nyawa, kamu menyelamatkan seluruh dunia. Aku tidak begitu setuju dengannya, tapi pada akhirnya… aku bisa menerima kata-katanya."

"Tapi hidupmu…"

"Sulfa yang baik, ketika aku kecil, tabib mengatakan bahwa aku tidak akan pernah bertahan hidup lewat 10 tahun. Ketika aku lewat 10 tahun, mereka bilang aku tidak akan pernah bisa hidup sehabis usia 18, lalu kemudian mereka semua memvonisku ajalku pasti di usia 25. Aku telah melewati semua umur tadi dan mereka akhirnya berhenti meramalkan apa pun. Tapi aku tahu tubuhku… aku tidak akan bertahan sampai lima tahun. Lebih baik sekarang daripada nanti bukan? Hm… apa ini namanya?" Ia menunjuk ke cangkir itu.

"Savina. Kaum kami menyebutnya Racun Akhir, sebagian menamainya Akhir Lembut. Setelah diminum, korban akan tertidur perlahan-lahan dan tewas dalam beberapa menit. Tidak ada efek samping, tidak sakit, tidak ada jejak sama sekali. Bagaikan mati dalam tidur saja. Setelah itu efek racun kedua, Lakvarana akan mewarnai tubuhmu supaya mereka tahu engkau mati karena racun."

"Sulfa… untuk mengabulkan kematian tanpa rasa sakit ini, aku berterima kasih."

Sulfa tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Ia begitu terkesan dengan kepercayaan diri dan ketenangan yang diperlihatkan Pangeran itu. Di hadapan Kematiannya sendiri, ia terlihat begitu tenang, bahkan bahagia. Pangeran Kedua mengangkat cangkir itu dengan senyum lembut, lalu menghabiskan isinya dalam satu tegukan!

Ia berjengit sedikit, tapi ia kemudian tertawa, "Rasanya betul-betul menjijikkan."

Sulfa mendadak berlutut, "Aku belum pernah bertemu dengan orang yang lebih berani dari engkau, Pangeran. Aku memberi hormat padamu, Paduka."

"Jika kau benar-benar menghormatiku, Sulfa… Kamu akan melakukan pesanku."

"Ya. Aku akan membunyikan Lonceng Duka dan memberitahukan pada rakyat mengenai kematianmu. Dengan begitu, mereka tidak bisa menyembunyikan fakta bahwa kamu meninggal. Aku lalu mengirim pesan kepada Pangeran Ketiga kemudian…"

Tangan Pangeran Kedua terangkat, menghentikan ucapan Sulfa, "Cukup! Aku tahu kau sudah hafal dan akan melakukannya. Sekarang aku hanya ingin menanyakan sesuatu kepadamu."

Pangeran Kedua tersenyum, "Kematian itu seperti apa?"

Melihat Sulfa tertegun, Pangeran Kedua menambahkan lagi, "Aku tahu mengenai Kaum-mu. Ayahku membenci Kaum, tapi aku tidak. Bahkan aku selalu penasaran ingin bicara dengan orang sepertimu mengenai kehidupan dan banyak hal lainnya. Sekarang lihatlah, betapa beruntung dan berterima kasihnya aku bahwa ada satu orang kaum di sini yang menemaniku di saat terakhirku."

"Jika kamu terlahir sebagai salah satu dari kaum kematian… Engkau pasti menjadi pemimpinku, Paduka. Aku jamin. Dengan kepintaran dan keberanianmu…" Sulfa tersenyum lebar.

"Hahaha mustahil! Aku bahkan terlalu lemah untuk membunuh lalat sekalipun. Sekarang beritahu aku, bagaimana Kematian itu?"

Sulfa lalu memberitahukannya sebuah rahasia terbesar yang belum pernah ia ceritakan kepada siapapun. Bahkan Gurunya sendiri, rekan-rekannya, sahabat-sahabat setianya, bahkan pada cinta sejatinya.

Setelah ceritanya selesai, Pangeran Kedua tertawa lepas, "Begitukah, Sulfa?"

Sulfa mengangguk serius, "Ya. Begitulah."

"Betapa anehnya… Betapa anehnya…" Pangeran berbisik. Matanya mendadak terasa semakin lama semakin berat.

"Sulfa… Aku punya satu pesan lagi… yang terakhir…"

"Katakan itu, Tuan. Aku akan melakukannya."

"Berjanjilah padaku… apa pun… yang terjadi… kau tidak akan… menikahi Jilline."

Wajah Sulfa memucat, sebelum berubah jadi gelap, kemudian wajahnya kembali menjadi ekspresi normalnya yang dingin dan tanpa perasaan, "Tenangkan hatimu, Tuan. Aku telah lama mengerti bahwa dunianya dan duniaku begitu berbeda. Aku bahkan terlalu mencintainya untuk bahkan bermimpi untuk menistanya dengan sentuhanku… Ia adalah dewi bagiku…"

"Aku tahu…Begitu banyak kau kesusahan… menderita… karena putriku yang egois… Ia maupun... aku agak keterlaluan… bukan?" Napas Pangeran mulai terengah.

"Sama sekali tidak, Tuan. Aku bahagia bertemu dengannya. Melayaninya. Aku tidak pernah menyesal barang sekejap pun bersamanya. Aku hanya menyesal bahwa kematianmu mungkin akan membuatnya mengakhiri pengabdianku," Sulfa tersenyum begitu tulus. Pangeran Kedua melihat ekspresi penuh cinta yang begitu jarang muncul dari istana es ekspresi mata-mata itu.

"Ia tidak akan… Ia terlalu cerdas untuk membiarkanmu pergi. Ingat… Surat …" Pangeran tertawa lemah, ekspresinya lega.

"Aku ingat, Tuanku," Sulfa memegang tangan Pangeran.

"Waktunya pergi... bermain catur... dengan Kematian…"

"Hati-hati, Tuanku. Beliau pemain yang jauh lebih piawai dibanding putrimu," Sulfa berkata dengan penuh sukacita.

"Aku senang… dan akan kusampaikan kepada-Nya... tentang kamu, wahai Sargon..."

Mata Pangeran menutup. Kesadarannya membulat sementara panca indranya meredup.

Proses itu begitu menakutkan, misterius, namun indah.

Ia berdoa untuk terakhir kalinya:

[Aku berdoa untuk keselamatan adikku…

Aku berdoa untuk keselamatan dan kesejahteraan rakyatku…

Meski karena keegoisanku, aku berdoa agar perang ini segera berakhir

Semoga berakhir satu hari lebih cepat

Semoga berakhir satu korban lebih sedikit

Semoga hari di mana kewarasan akan kembali bersinar di atas kekacauan

Semoga api peperangan dan badai akan berakhir…

Semoga negeriku selamat di hadapan ujian sang Kekacauan…

Tidak ada yang bisa disalahkan… Tidak ada yang disesali…

Ini hanyalah kebodohan penguasa… yang mengacuhkan rakyatnya…

Ah… Betapa indah dan pahitnya Kebenaran itu…

Maafkan aku… Jilline… Erriel…

Aku penasaran apa yang akan kubicarakan denganmu lagi… Olvina…]

Pangeran Kedua menutup matanya, dan ia tertidur. Beberapa menit setelahnya, jantungnya telah berhenti..

"Selamat jalan… Ayah dari cintaku," Sulfa berbisik dengan penuh hormat dan kagum, "Ketahuilah sekarang aku baru tahu, dari siapa ia mendapatkan keberanian dan keagungan yang begitu besar… Beristirahatlah dalam damai, Rajaku. Aku akan melakukan semua perintahmu."

Sulfa menghilang dari ruangan itu …

Satu jam kemudian, di tengah malam buta, Lonceng Duka di puncak Menara Jadu Istana berdentang bertalu-talu. Seluruh Ibukota terbangun, dan sebuah bayangan kemudian melintasi istana dan menjerit nyaring, bagaikan utusan kematian, membawakan pesan ke seluruh kota:

"Pangeran Kedua telah meninggal! Pangeran Kedua sudah meninggal! Pangeran Kedua sudah meninggal!" Suara dari bayangan itu begitu tinggi dan menyedihkan.

Semua orang akan mengingatnya kelak dengan bulu roma berdiri, mengatakan bahwa itu adalah suara dari bayangan jahat atau Kematian, pembawa bencana dan kemalangan, berita buruk, dan peperangan yang begitu menyedihkan.

Ini adalah salah satu bab yang paling sulit untuk ditulis dalam buku pertama.

Jadeteacupcreators' thoughts