Salah satu pelajaran yang paling terlupakan
Dalam sejarah manusia adalah
Di tubir marabahaya besar
Mereka masih tak menyadarinya, "Tidak mungkin!"
Mereka masih menyangkalnya, "Ah, pasti bukan begitu!"
Mereka baru terlihat pintar setelah membahas yang telah lalu
Masa berduka, Bulan Terakhir Tahun 621 Penanggalan Sang Pencipta
Berita mangkatnya Raja mencapai Fru Gar hanya dalam waktu 2 hari. Jaringan pengantar pesan, merpati pos, serta menara-menara api membuat jarak 400 mil bisa ditempuh begitu cepat. Sejak saat itu, jumlah pengantar pesan dan merpati pos mulai berlipat ganda.
Di pasar dan jalan-jalan utama Kota Fru Gar dipasang tiang-tiang pengumuman menyatakan:
1. Setiap rumah tangga turut serta dalam Bulan Duka untuk mengenang Raja
2. Jam malam diberlakukan sampai Hari Pengangkatan Raja
3. Semua harus bekerja dengan rajin seperti biasa
4. Siapapun yang menyebarkan berita palsu akan dihukum mati
Pada tiga hari pertama jalan-jalan sepi sekali. Seakan jantung musim dingin kembali datang membekukan jiwa dan hati penduduk. Pada hari ke-4 aktivitas kembali dan perdagangan berangsur-angsur normal.
Dengung kesibukan di pasar, jalanan, dan di toko-toko kembali terdengar. Orang-orang mengikatkan pita kuning di kepala atau lengan mereka sebagai tanda berduka. Mereka terus melakukan pekerjaan dengan normal, tapi semua merasa sesuatu yang begitu penting telah pergi selamanya dari kehidupan mereka. Ketika mereka mulai begitu menghargai dan menghormatinya dengan ribuan pita dan syal kuning itu, junjungan mereka telah pergi selamanya.
Ketika minggu pertama masa duka berlalu, Pangeran Ketiga akhirnya tiba di kota Fru Gar. Dikawal setidaknya 10.000 tentara dan beberapa ribu pengikutnya, beliau memasuki kota dengan kereta besar. Orang-orang kota berbaris rapi dari mulai Gerbang Timur sampai Barat, menyambuti kereta beliau dengan bunga putih, mengetahui benar bahwa Pangeran sedang buru-buru berangkat ke Ibukota untuk menghadiri Upacara Berkabung.
Setelah Pangeran meninggalkan kota, entah kenapa suasana hati para penduduk seperti terangkat kembali. Jalan-jalan segera penuh dengan orang, dan kehidupan yang sibuk dan ceria penduduk kota ini kembali. Mereka menyadari bahwa harapan dan duka mereka telah mereka sampaikan pada Pangeran Ketiga, dengan demikian tentu doa mereka akan beliau juga wakilkan di depan Pusara Paduka Raja. Mereka juga menyadari bahwa mereka memiliki seorang pangeran yang bijaksana yang bisa melindungi mereka, seperti yang telah ia lakukan dengan sangat baik selama 6 tahun terakhir.
Merasa tenang dan terjamin, orang-orang mulai bergosip kembali. Arus kedatangan para pedagang keluar dan masuk empat gerbang membawa kabar, berbagai macam berita mulai dari yang bohong tapi menarik sampai yang benar tapi membosankan. Setiap versi, apakah yang asli atau dibumbui, didiskusikan di dalam warung-warung, di bawah kerindangan pohon, atau di kala jam istirahat pelayan restoran atau kacung toko, antara para istri-istri, dan di dalam ruangan gelap kedai-kedai minuman.
Semua cerita sekarang sedang berpusat ke satu pertanyaan besar: Suksesi berikutnya. Siapa yang akan menjadi raja berikutnya? Padahal sebelum Surat Wasiat sang Raja dibuka pada Upacara Penguburan, jawabannya tentu tidak akan bisa diketahui.
Tapi orang-orang tidak peduli. Mereka menikmati segala gunjingan, demi menutupi kegalauan dan kesedihan dalam hati mereka.
Wander, yang ujiannya ditunda, menjadi tidak tahan hanya duduk saja di rumah. Jiwa mudanya terasa bergolak. Setelah enam bulan bergulat dengan buku-buku dan materi ujian, lalu mendadak mengetahui bahwa ujian tidak akan dilakukan sampai setidaknya musim panas ini, atau malah tahun depan lagi, membuatnya agak patah semangat dan kecewa.
Ketika ia menceritakan hal ini pada orangtuanya, ayahnya malah menyuruhnya terus saja belajar, sesuatu yang tidak bisa ia lakukan sekarang. Ia muak dengan buku-buku. Ibunya saat itu mengusulkannya untuk bersenang-senang atau keliling saja bermain. Wander, yang jelas lebih suka mengambil nasihat beliau, segera berkeliaran, bermain dan melakukan hal-hal yang ia suka.
Ia berjalan keliling kota, berbicara, berusaha mendengar dari makin banyak orang. Ia menemukan kegairahan dan kesenangan tersendiri, dan ia seperti kebanyakan orang lainnya, merasakan sensasi bahwa ia berada di persimpangan sejarah bangsa. Ia menanyakan pendapat orang-orang, ikut duduk mendengar di kedai-kedai minum, atau bergabung dalam pembicaraan dan gosip.
Wander telah lama menyadari bahwa hampir seluruh penduduk kota Fru Gar mencintai Pangeran Ketiga hampir mendekati kadar fanatik. Pangeran Ketiga luar biasa populer karena beliau sangat berbakti baik ke orang tuanya maupun pada rakyat. Selir Pertama yang selalu dikenal sebagai perempuan berlidah pedas dan senantiasa menuntut, tapi tetap Pangeran Ketiga terbukti sangat berbakti bahkan kepada perempuan yang demikian sulit disukai.
Bagi penduduk Fru Gar, berbakti pada keluarga adalah kualitas nomor satu di dunia, dan pengabdian Pangeran terhadap Ibunya sudah sering menjadi kisah dongeng bagi anak-anak. Potret senyum lembut Pangeran Ketiga tersimpan dalam lemari setiap gadis dan juga kadang istri-istri, bahkan Chiru'un juga punya satu lembar.
Pangeran Ketiga terkenal akan kesopanan, kebaikan, bahkan rasa hormat beliau sampai ke pelayan paling rendah. Ada kisah populer mengenai seorang anak yang melempari tandu Pangeran yang kebetulan lewat di kota dengan batu. Kepala sang pangeran sampai kena hingga berdarah, tapi ia tersenyum, keluar dari tandu, dan menyuruh para prajuritnya melepaskan anak itu. Ia malah mengembalikan batu itu kepada anak itu.
"Bolehkah aku tahu kenapa aku sampai diberi hadiah yang begini keras?"
Anak pemberani itu kemudian memprotes bahwa ibunya, yang dulu merupakan pelayan Ibu Pangeran. Ia telah menulis surat ke istana tapi tidak pernah mendapatkan bantuan dan uang pensiunnya mendadak dihentikan.Ibunya sangat sakit dan mereka begitu miskin.
"Setelah Ibuku melayani Ibunda Yang Mulia selama 20 tahun, apakah lantas main habis manis sepah dibuang begitu saja?"
Pangeran Ketiga sontak murka pada para punggawa Istana. Ia segera menyelidikinya sambil menyuruh tabib mengobati ibu anak itu. Sejak saat itu kesejahteraan para pegawai Istana selalu ia perhatikan, dan jumlah petisi rakyat berlipat ganda, semua ia langsung perhatikan. Kunjungan Pangeran secara mingguan ke daerah-daerah terpencil, bahkan kawasan kumuh Ibukotanya menjadi terkenal, demikian juga dengan caranya menyelesaikan masalah dengan cepat dan simpatik.
Akan tetapi, baru minggu ini Wander menyadari bahwa hampir sebagian besar dari penduduk Fru Gar juga diam-diam membenci Pangeran Pertama bahkan sampai ke tulang sumsum. Mereka tidak akan pernah mengatakannya terang-terangan, tapi gosip-gosip yang beredar lalu menjadi berita telah memicu suatu fenomena baru yang sempat terlupakan dalam hati penduduk. Bagaikan ada sebuah tombol di dalam hati mereka yang baru dipencet menyala, hingga mereka menyadari kembali bahwa kebegitu-tidak-senangan mereka terhadap Putra Mahkota.
Penduduk kota begitu sering membicarakan para pangeran itu di antara mereka, dan lambat laun ada satu kode menjadi rahasia umum: jangan pernah menyebut kata 'Kesatu', 'Kedua', 'Ketiga', atau bahkan 'Pangeran'. Tapi mereka memakai kata sukla atau sejenis ular derik beracun untuk Pangeran Pertama, mopi atau sayur bayam untuk Pangeran Kedua, dan elang atau wila untuk pujaan mereka. Mendengar mereka bicara seperti mendiskusikan cerita fabel di mana ular bisa bicara, kembang bayam bisa mnum obat, dan pembicaran model begini begitu populer hingga semua orang berbicara demikian, tanpa harus takut kena hukuman.
Anak-anak juga menyanyikan lagu baru:
Sukla sukla merayap di hati gelap
Mopi mopi berakar di sana diam-diam
Wila wila terbang tinggi dari pucuk pohon emas
Pangeran Pertama telah lama terkenal dengan keberanian, ketegasan, serta jiwa perfeksionisnya. Gaya memimpinnya ambisius dan ia selalu ingin menangani segala urusan sendiri. Namun ia sangat cemerlang dalam administrasi, politik, termasuk seni berperang. Tapi khusus di Fru Gar, Pangeran Pertama ini selalu disorot bagai yang kasar dan egois.
Di lain pihak, meski banyak kritik dan pesimisme soal Pangeran Kedua dan kesehatannya, mereka semua segan dan hormat pada beliau. Wander sering mendengar bahwa orang-orang mengeluh, "Seandainya saja beliau sehat… Tentu ia sudah menjadi raja. Pangeran kita masih perlu dibimbing beliau dalam banyak hal."
Wander mengetahui dari pembicaraan itu hubungan dekat yang terjalin antara Pangeran Kedua dan Ketiga. Mereka seperti saudara kandung, bahkan juga sahabat karib. Mereka saling mengirim surat, bertukar hadiah, bahkan sekali setahun, Pangeran Ketiga selalu berkunjung ke Taran Reiro sepulangnya dari Ibukota.
Tahun ini, Pangeran Pertama dan Ketiga sama-sama berusia 24 tahun, hanya terpaut dua bulan umurnya, sedangan Pangeran Kedua telah berusia 36 tahun. Siapakah yang akan menjadi Raja?
Demikian Wander dan para penduduk asyik bergosip dan bermimpi, mengisi masa yang masih serba tidak pasti ini.