webnovel

Mendadak 2

"Ya udah, sini aku fotokopikan sekalian," sahut Edos. "Nanti malam aku ke sini lagi, kita pergi bareng ke rumah Paman Hisyam," ucapnya lagi.

Tania berdiri menatap lekat-lekat pemuda yang selama ini dicintainya.

Edos menggenggam tangannya, tangan kanannya menyibakkan beberapa helai rambut yang menutupi sebagian wajah Tania.

"Tania, Cintaku. Aku tidak akan pernah sanggup untuk berpisah denganmu sampai kapanpun. Apa yang akan terjadi dengan kita suatu saat nanti, aku berjanji tidak akan pernah meninggalkanmu, dan jangan pernah sekalipun kamu pergi meninggalkan aku," tutur Edos seperti menyampaikan sebuah firasat.

Tania hanya melongo dengan ucapan Edos, hingga Motor Edospun berlalu dari tempat itu. Tania tidak mengerti, namun ia menyimpan saja berbagai pertanyaan dalam benaknya.

Tania masuk ke dalam rumah dan menutup pintu, ia duduk di kursi panjang dan membuka pepper bag yang sejak tadi dipegangnya. Tania membeberkan kebaya pengantin yang tadi dicoba di butik, ia merebahkan tubuhnya sambil memeluk kebaya tersebut, wajahnya ceria dan bibirnya dihiasi senyuman.

Eits, tunggu! sepertinya aku kelupaan sesuatu dech, tapi apa ya? pikir Tania sambil mengetuk-ngetuk jari telunjuk ke dahinya.

Astaghfirullah al'adzim, aku kan belum mandi dari tadi pagi.

Segeralah iya mandi, tidak lupa sambil bernyanyi, nyanyi apa coba? entah, dan sudah habis berapa rol kaset diputar di kamar mandi. Biarin lama dech mandinya kan sekalian buat sore nanti dirapel sekalian mandinya, irit ongkos kan.

Mandi pagi enggak biasa

mandi sore enggak biasa

enggak mandi sudah biasa

kalau mandi luar biasa...

🌸🌸🌸🌸🌸

Matahari mulai merangkak naik, hangat terasa menyengat kulit, tak terdengar lagi kicau burung, hanya deru kendaraan yang lalu lalang memadati jalanan kota.

Sepulang dari rumah Tania, Edos mampir dulu ke rumah Doni,

"Don, gue di depan rumah Lo Nih," ucap Edos di telfon.

Doni muncul dari balik pintu,

"Ayo cepetan naik!" seru Edos.

Edos membuka resleting jaketnya dan mengeluarkan sesuatu,

"Ini ntar Lo fotokopi trus Lo serahin ke KUA!" Kata Edos bernada perintah sambil menyerahkan KK dan fotokopi KTP milik Tania.

"Lo benar-benar nggak main-main, Bro?" tanya Doni ragu menerima barang tersebut.

Edos melajukan motornya,

"Gue cinta banget sama Tania, Don. Gue nggak mau pisah dari dia," sahut Edos.

"So sweet.." ujar Doni memeluk dari belakang.

"Nggak usah peluk-peluk juga kali, geli gue."

"Hahaha, bukannya Tania gitu kalau meluk?"

"Dipeluk Tania rasanya nyaman, kalau Lo yang meluk gerah gue," sahut Edos.

Motor berhenti di depan rumah Edos, Edos turun dari atas motornya.

"Ingat nanti malam jemput gue di Bandara!" Edos mengingatkan Doni.

"Oke, kalau nggak lupa, hahaha," seru Doni berlalu pergi.

"Awas aja, Lo, kalau sampai lupa," ancam Edos pada orang yang sudah tidak ada di tempat itu, hilang dibalik tikungan.

Edos setengah berlari menuju rumah, ketika dia membuka pintu, seorang wanita sudah berdiri bersedekap di sana, langkah Edos terhenti seketika pandangan mereka bertemu. Namun Edos segera menepisnya, ia merjalan cepat menuju ke kamarnya di lantai dua.

"Masuk rumah bukannya salam, Edos!" seru Mama Nurlita.

Edos tidak menggubrisnya. Ia terus melangkah memasuki kamar diikuti oleh sang Mama. Ia menghempaskan tubuhnya di kasur spring bed berukuran queen size miliknya tanpa memperdulikan sang Mama. Mama Nurlita duduk ditepi ranjang.

"Mama nggak pernah maksa kamu, Sayang," tutur Nurlita memandangi putra bungsunya.

"Edos nggak bisa pergi tanpa Tania, Ma." Sahut Edos frustasi. "Ma, ke Jepangnya tunda saja ya!" Edos memohon dengan muka memelas.

"Mama sih, terserah kamu saja. Tapi kamu tahu sendiri, kan. Bagaimana papa kamu?"

"Ma, aku mau nikahin Tania. Nanti malam mama ikut aku ke rumah Tania ya!" pinta Edos pada Mamanya.

"Astaghfirullah al'adzim, Edos. Pernikahan itu bukan hal main-main, sayang. Umurmu saja belum genap 19 tahun," ujar Nurlita Frustrasi.

"Edos takut khilaf kalau terus-terusan bareng Tania, Ma. Edos juga nggak mau pisah dari dia," sahut Edos merengek.

"Ck, kakakmu saja Mama nggak ada ngelihat bawa calon istri," cicit Nurlita.

"Pokoknya kalau Mama masih mau anggap Edos anak Mama, nanti malam ikut Edos, Ma," paksanya. "besok pagi Edos mau nikah, mumpung papa masih di Bandung."

"Kamu kok gitu sih, Sayang. Kamu nggak takut ancaman papa?" tanya Nurlita memandang anak bungsunya tidak percaya.

Nurlita beringsut duduk bersandar di sandaran ranjang, ia memandangi dan mengelus puncak kepala anak bungsunya.

"Rasanya baru kemarin Mama menyapih kamu, sekarang kamu sudah minta kawin."

"Ck. Nikah, Ma.. Ayolah, Mama!" ucap Edos memelas menatap sang Mama.

"Iya, iya nanti mama ikut," nggak tega rasanya Nurlita dengan rengekan putra bungsunya, "tunggu sebentar, Sayang, Mama ambil sesuatu buat Tania."

Nurlita beranjak dari duduknya, ia keluar dari kamar Edos menuju ke kamarnya. Dia berjalan menghampiri lemari pakaiannya dan membuka lemari tersebut. Ia nampak mengambil sebuah kotak hitam dan membukanya, mengambil kotak kecil beludru berwarna biru dongker.

Sejenak ia duduk ditepi ranjang memikirkan bagaimana masa depan anak bungsunya, apa ini benar. Sekuat apapun dia mencegah, keinginan Edos tidak dapat ditahan lagi. Edos memang suka nekad.

Nurlita kembali masuk ke kamar Edos dan menghampiri Edos yang masih duduk bersandar dan bermain ponselnya di atas ranjangnya.

"Sayang, ini cincin dan kalung liontin berlian Mama, ada sertifikatnya. Sebenarnya Mama mau memberikan ini buat menantu Mama dari anak pertama, tetapi karena kamu yang mau menikah duluan, ini buat calon istri kamu saja," ungkap Nurlita dengan mata berkaca-kaca.

Edos menatap sang Mama, "Mama yakin mau memberikan ini untuk Tania?"

"Kalian lebih membutuhkan, Sayang. Mama tidak bisa memberikan apa-apa," ucap Nurlita dengan bulir bening mengalir dari sudut matanya. "Mama akan ikut kamu nanti malam, tapi besok Mama tidak bisa menghadiri pernikahan kamu, maafkan Mama, Sayank."

Edos bangun dan memeluk sang Mama, "Terimakasih, Ma. Mama merestui pernikahan Edos dan Tania saja, itu sudah cukup."

Nurlita membalas pelukan putra bungsunya, ia tidak bisa lagi mengeluarkan kata-kata. Mengijinkan putranya menikah dengan Tania sama artinya dengan mencopotnya dari ahli waris keluarganya.

Tidak dapat dibayangkan saat nanti suaminya pulang dari urusan bisnisnya di Bandung dan mengetahui bahwa putra bungsunya tidak jadi melanjutkan kuliah dan mengikuti jejak sang kakak ke Jepang, apalagi jika suaminya tahu bahwa Edos menikah dengan Tania.