webnovel

Sang adik ayah anak yang Durhaka

Disini aku mulai menata diri dengan segala perbedaaan mulai dari bahasa, tata krama, dan segalanya, aku hampir tiap hari menangis menghadapi lingkungan yang baru, lingkungan yang aku tinggal sekarang yaitu lingkungan dimana yang tutur bahasanya sangat kasar dibandingkan bahasa aku, aku selalu menangis gak tahan mendapat perlakuan yang begituan, itu versi aku padahal bagi mereka bahasa yang demikian itu sangatlah halus, aku belum terbiasa, namun aku mencoba untuk pintar-pintar membawa diri akhirnya aku terbiasa dan lama kelamaan aku mulai terpengaruh dengan bahasa mereka, bahasa sehari-hari yang mereka gunakan itu menurut aku kasar dan menurut aku itu sumpah serapah, sepertinya mereka memanggil aku hei Naila, anjing lo sini cepat, capek-kita panggil kok gak dijawab, budek lo ya, aku belum terbiasa dengan kata-kata yang begituan, diam-diam aku pulang kerumah, nangis tersedu-sedu.

Baru dua minggu aku tinggal bersama mereka, aku numpang tinggal bersama adik ayahku, tapi mereka memperlakukan dengan baik, menyayangiku sama seperti anaknya sendiri, aku belum makan dimarahin, mereka gak mau aku sakit. Mereka sudah pindah kerumah barunya, kakek aku tinggal sendiirian dirumahnya, ini yang paling bikin aku nyesek dan sakit banget, rasanya sampai kapanpun masih membekas dihatiku melihat dan mengingat perlakuan mereka sang adik ayahku yang paling tersayang dikeluarganya terhadap ayah kandungnya sendiri yaitu kakek kandungku.

Mereka tinggalin sang kakek sendirian dirumah tua tanpa penerangan satu pun, karna meteran lampu sudah dicabut dan dipasang kerumah baru mereka, menurut aku dia adalah sang anak yang sama sekali tidak punya hati nurani, bukanlah manusia yang pantas disebut manusia, masak iya kakek yang uda tua dan sudah bungkuk ditinggalin dirumah tua, dengan lantai yang terbuat dari kayu, kayunya sudah melentik dan bergoyang-goyang kalau kita pijak kayunya juga sudah lapuk, salah-salah bisa patah dan ambruk, bisa-bisanya sang kakek jatuh kebawah, karna rumahnya sedikit panggung, memang rumah panggung, tapi tidak terlalu tinggi pondasinya, karna tidak ditimbun dan lantainya tidak semen jadi dibawahnya dalam, kalau kita jatuh dan terperosok kebawahnya lumayan dalam.

Aku gak habis fikir kenapa mereka setega itu, kadang-kadang kakekku bangun tengah malam mau kekamar mandi, dengan badannya yang sudah bungkuk, tangannya gemetaran, berjalan diatas lantai kayu yang sudah melentik dan bergoyang kayak angin, dalam gelap gulita dan memegang lampu serongkeng yang berisi minyak tanah, bayangin aja kalau sempat beliau terjatuh tumpah minyak dan lampu serongkengnya jatuh kebadannya apa yang akan terjadi, aku selalu menangis membayangkan kakekku diperlakukan seperti itu sama anak kandungnya. Aku marah besar sama ayahku, aku bilang aku gak tahan lihat kakek digituin, cepat ayah pulang kesini, jangan lama-lama aku menangis tersedu-sedu menceritakan semua kejadian itu sama ayahku, ayahku bilang sabar nak, ayah sudah tau semua, maka dari itu ayah mengajak kalian semua pulang kesitu biar kita bisa menjaga dan merawat kakek sama-sama.

Gak kebayang lagi kalau pagi hari, kakek aku berjalan dengan tongkat ditangannya dengan badan yang bungkuk, melangak sana sini kerumah anak-anaknya dari pintu ke pintu, aku menangis lagi, melihat kejadiannya, semua anak-anak kakek bagiku anak durhaka, gak ada yang peduli dengan orang tuanya yang mereka peduli Cuma hartanya saja, aku angkat salut sama ayahku, rela pulang dan memboyong semua anak dan istrinya demi orang sang kakek dan merawat kakek dimasa tuanya, aku mewek melihat tingkah ayah, walaupun kejam tapi masih punya hati nuraninya.

Aku gak nyangka sang adik ayah anak kesayangan kakek sama nenek, menelantarkan nenekku pas lagi sakit, begitu juga dengan kakek, pas ayah datang kerumahnya ayahku meminta kelapa muda untuk kakek karna kakek mau makan kelapa muda dan sekalian untuk dibikinin obat, sangking zholimnya langsunsung dibilangin tidak ada, ayahku dengan hati yang kecewa dan sedih langsung pulang kerumah, ayah bilang kekakek, gak ada lagi kelapanya pak, nanti aku beli lain kita cari ditempat lain aja, kakek nyolot katanya kemaren ada liat dipohonnya masih banyak, ayahku terpaksa berbohong demi menjaga perasaan sang kakek, biar gak sedih dan gak salah faham sama anak kesayangannya.

Dia selalu masak enak dirumahnya, masak makanan kesukaannya, anak-anaknya dan kesukaan suaminya, sedang kakek dirumah gak ada makanan sedikitpun, aku hampir tiap hari melihat dia masak, dan pernah aku meminta sama dia bungkusin tuk kakek sikit kakek gak da apa-apa dirumah, dan belum makan dari pagi, nyesek banget rasanya, dalam hatiku berbisik lirih, kok ada ya manusia seperti itu untuk orang tuanya kandungnya bisa pelit kayak gitu, padahal aku masih anak-anak baru berumur 15 tahun, tapi fikiranku sudah jauh kedepan memikirkan perasaan orang tua, tapi kenapa orang tua gak mikirin orang tuanya sendiri, miris memang sudah dipenghujung jaman.

Hari-hari yang kulewati begitu-begitu saja, bahkan sang Etek (sebutan tuk adik ayahku) makin menjadi-jadi semakin lama semakin hampir melupakan orang tuanya, begitu juga dengan kakak ayah dan abang ayah apa lagi lebih parah, Cuma ayah anaknya satu-satunya yang perhatian dan masih sayang terhadap orang tuanya, kakek aku masih hidup sudah betengkar dengan ayahku ,masalah harta, padahal ayahku tidak pernah terfikirkan untuk menyerobot hak-hak saudaranya, aku bukan membela ayahku, karna aku tau ayah tipe orang adil untuk saudara-saudaranya, kalau salah biarpun orang tua kandungku sendiri tetap aku tegur, aku gak peduli mau dimarahi, mau dicaci maki ya terserah yang penting aku tetap tegur, itulah aku orangnya keras dan pantang menyerah, makanya aku kurang disenangi, sering disebut pembangkang.

Sang abang ayah, aku panggil abi tuk nya padahal beliau imam mesjid, tapi kalau masalah harta agama dan saudara dikesampingkan dulu. Dia yang paling terdepan dalam memperjuangkan harta dan haknya kewajibannya tidak pernah diperhatikan, miris memang, kasian kakek, sudah susah paying membesarkan anaknya, eh tau-taunya pas masa tua ditelantarkan, semoga kelak mereka sadar apa yang mereka perbuat, aku Cuma anak-anak yang tak pernah bisa berbuat apapun, Cuma bisa merekam jejak mereka, dan akan ku ingat sampe kapanpun.

Hari ini kakekku gak tau kenapa, beliau marah besar sama zeandra tanpa sebab, padahal zean tidak melakukan kesalahan apapun, tapi beliau tiba-tiba marah besar dan menjerit sambil maki zean, katanya anak nakal bla…bla…ku tusuk pisau mati kamu nanti, aku yang kenal betul dengan kakekku, karna itu rasanya beliau tidak pernah begitu, itu bukan beliau banget, aku syok setengah mati, gak ku sangka bisa-bisanya kekek begitu, ya ALLAH, pertanda apa ini, janganlah kau ambil kakekku terlebih dahulu, aku belum sempat lama merawatnya, firasatku sudah tidak enak lagi, semoga ini bukan akhir dari hidupnya.

Benar saja firasatku sedikitpun tidak meleset, malamnya sehabis magrib aku memanggil kakekku tuk makan malam, kakek tidur aja tidak menjawab, pas aku masuk kemar dan menghampirinya mendapatkan pemandangan yang ….., kakek tertidur tak bergerak sama sekali persis kayak orang ngorok, tonjolan ditenggorakannya mulai naik turun, aku yang melihatnya menangis merasakan rasa sakit yang amat tersiksa bagiku, kakekku lagi sakaratul maut, lama sekali mulai magrib dan tengah malam baru beliau menghebuskan nafas terakhir, saat kakekku sudah seperti itu semua anak-anaknya sudah berkumpul melihat ayahnya tuk yang terakhir kali, Cuma ibu aku yang mengaji yang lainnya hanya bisa menagis sambil meratap dan meraung-raung, rasa jijik mulai menghampiri aku.

Acara pemakaman sudah selesai, mulailah orang berdatangan untuk takziah kerumah kakek, dalam waktu yang singkat keluarga aku sempat merawat dan menjaga kakek, walaupun nenek gak pernah kami rawat karna beliau duluan berangkat sebelum kakek, lebih kurang 2 bulan kami bersama, selama kami pulang ke rumah kakek, rumahnya sudah mulai terang, sudah ada penerangan, kami cangkok lampu dari rumah samping rumah adik sepupu ayah yang zhalim juga orangnya kami panggilnya tek siah.