webnovel

Come On!

Agha tidak berhenti membaca dan menelisik isi buku yang diberikan Isaak untuknya. Sudah beberapa jam sejak dia mengantarkan Mina yang telah terlelap kembali ke ranjangnya, lalu mulai membaca buku tersebut dan kini sudah setengah perjalanan. Dia mulai mengetahui jika ada banyak klan Aul di Medea, salah satu yang menarik atensinya adalah klan Abhimaya.

Pemuda itu tercenung membaca perihal sejarah tentang klan yang disebut-sebut menghilang sejak beberapa tahun silam akibat konflik berkepanjangan dengan klan-klan Aul lainnya di Medea. Berbeda dengan klan Kalangga yang memilih untuk hidup dan mengunci diri di antara tebing dan lembah atau klan Shankara yang memilih jalan bertarung demi mempertahankan kelompoknya.

Jemarinya bergerak, menyisir setiap kata di buku itu dan menemukan keterangan jika klan Abhimaya kini dipimpin oleh seorang perempuan bernama Nara Abhimaya. Cukup menarik karena dirinya baru mengetahui jika klan Aul bisa dipimpin oleh seorang wanita. Kebanyakan, meski masuk dalam kategori Alpha, seorang wanita tetap tidak bisa memimpin sebuah klan. Wanita yang masuk di kategori itu hanya bisa menempati posisi tertinggi sebagai kepala keluarga kecil atau penasehat.

Agha meneguk salivanya, lantas bersandar pada sandaran kursi. Pikirannya semrawut. Banyak hal yang belum diketahui olehnya, tentang siapa pun dan tentang dunia ini. Meski terlahir di Medea bukan berarti dirinya mengetahui secara keseluruhan dunia yang ditinggalinya itu. Sejak kecil, dia bahkan tidak bersekolah di sekolah umum akibat konflik yang terjadi. Hanya ayahnya dan Isaak yang mengajar dan mendidik dirinya.

"Abhimaya?" Pemuda itu bergumam sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. "Mungkin Athar tahu sesuatu soal klan ini."

Belum saja Agha menutup buku itu, sebuah halaman menarik atensinya. Letaknya tersembunyi dengan kondisi kertas yang tidak utuh lagi—telah robek dan tersisa sedikit lembaran. Dia memegang dan menelisiknya. Satu kata yang menarik perhatiannya.

"Timur?" Kening Agha berkerut. "Haruskah kita ke timur?"

***

Pagi telah menyingsing. Sang bola api terbit di ufuk timur dan mulai memberanikan diri muncul di tengah kemelut kehidupan. Burung-burung beterbangan meninggalkan sarang demi mencari makanan, diiringi dengan pentrichor dari embun yang bahkan belum mongering sepenuhnya.

Mina telah bersiap dengan baju dan tasnya. Dia menunggu di teras, menggantungkan kedua kakinya seraya mengedarkan pandangan. Agha dan Isaak keluar rumah beberapa menit kemudian.

"Kau yakin ke timur?" tanya Isaak sembari membenahi kerah bajunya. Dilihatnya Agha mengangguk. "Aku belum pernah ke sana, tapi jika menurut buku itu benar, ya sudah."

Gadis 14 tahun yang melihatnya lantas berdiri. "Timur?"

Dua laki-laki itu menoleh. Salah satunya mengangguk.

"Setidaknya kita menemukan petunjuk ke mana kita akan pergi," ucap Agha. "Mungkin klan Abhimaya bisa membantu kita menemukan Abbe."

"Aku tidak yakin, Agha," sambung Isaak. "Masalahnya, klan itu terkenal tertutup, bahkan lebih mengunci diri jika dibandingkan dengan klan Kalangga."

Sementara itu, Mina mengerutkan kening. "Abhimaya? Apa itu?" tanyanya sembari berkacak pinggang.

"Salah satu klan Aul di Medea," jawab Isaak. "Mereka bersembunyi dari peradaban dan bocah pintar ini menemukan arah ke sana semalam."

"Aku bukan bocah, Athar!" celetuk pemuda 20 tahun di sampingnya.

Isaak terkekeh. "Oh, ayolah, kamu masih bocah, kecuali ciuman itu."

"Diam!"

Agha mengentakkan kakinya, lantas lebih dulu menuruni tangga menuju ke bawah pohon. Mina yang melihatnya mengendik, lalu menatap Isaak di depannya. Pria itu turut mengendik dan menyusul Agha di bawah sana setelah mengunci pintu rumah. Mina menyusul keduanya beberapa menit kemudian.

***

Isaak menutup atas maniknya, berusaha menghalau sinar matahari di depannya. Sesekali dia menoleh ke sekitar, mendapati Mina dan Agha yang berjalan di dekatnya. Dua remaja itu sepertinya mulai kelaparan meski tidak mau membuka mulut supaya menghentikan perjalanan barangkali sejenak untuk mengisi perut.

Pria 30 tahun itu mafhum bagaimana rasa penasaran membutakan segalanya. Dua remaja itu bahkan belum tahu apa yang menunggu mereka di depan sana. Mengingat betapa Agha menyakinkan dirinya untuk keluar dari kerangkeng Arsen Kalangga, membuat Isaak berpikir dua kali lipat jika bocah yang dulu dididiknya itu, kini sudah tumbuh dewasa. Dan lagi, Mina van Chastelein, anak perempuan yang hanya tahu soal negeri dongeng, kini menapaki sendiri dunia yang bahkan belum pernah didatanginya.

Isaak mendesah. Mulai sekarang, dia harus lebih berhati-hati dan memasang tameng demi melindungi dua kelinci yang baru saja keluar dari lubang mereka itu.

"Kau kenapa?" tanya Agha yang sejak tadi memperhatikan Isaak.

Pria itu menggeleng. "Tidak. Bukan apa-apa," katanya.

"Apa kita bisa mendapatkan makanan?" Suara Mina menghentikan langkah dua lelaki di dekatnya. Gadis itu merengut menatap mereka. "Aku lapar."

Isaak tertawa kecil. Dia meraup wajahnya. Kemudian, manik kuningnya mengedarkan pandangan, menelisik setiap area yang mungkin bisa mereka gunakan untuk beristirahat setelah tiga jam perjalanan. Namun, matanya melihat sesuatu yang aneh di arah ke mana mereka akan pergi. Dia mengernyit, meneguk saliva dengan sempurna. Sepersekian detik selanjutnya, pria itu menarik lengan Mina dan Abbe bersembunyi di balik sebuah pohon dengan banyak ilalang kering di sekitarnya—cukup untuk menutupi ketiganya.

"Ada apa?" tanya Mina sembari mendongak. Kepalanya ditundukkan langsung oleh Isaak.

Sementara itu, Agha menajamkan pandangannya. Mata Aulnya sangat berguna di saat seperti ini, bisa mendeteksi sesuatu yang asing sebelum mereka berhasil mendekat. "Mereka siapa?" bisiknya pada Isaak.

Pria 30 tahun itu turut menajamkan mata melihat ke arah sebuah rombongan berkuda yang tengah menembus padang rumput ilalang. Jubah mereka hitam, persis seperti rombongan yang dilihatnya keluar dari barrier pelindung Kalangga saat menculik Abbe. Namun, Isaak belum yakin jika merekalah penculiknya.

Rombongan itu berhenti tidak jauh dari lokasi Isaak, Mina, dan Agha bersembunyi. Salah satunya tampak mengeluarkan sesuatu seperti jam sebesar genggaman tangan. Mata merahnya terlihat jelas mengedarkan pandangan, sebelum akhirnya dia memberitahu kepada kelompoknya untuk menuju ke arah barat.

"Rumahnya ada di sana," katanya.

Beberapa menit kemudian, mereka memacu kuda meninggalkan lokasi tersebut menuju ke arah yang ditunjuk pria yang memegang kompas tadi. Mina, Agha, dan Isaak lantas keluar dari persembunyian. Ketiga pasang manik tersebut memandangi ke arah perginya rombongan.

"Bukankah mereka menuju ke rumahmu?" tanya gadis bermata cokelat itu.

Isaak terdiam. Jelas menurutnya, ini bukanlah pertanda baik dari awal perjalanan mereka. Seharusnya, dia menyadari sejak awal jika kelompok itu benar-benar ada.

"Isaak?"

Panggilan Mina mengurai lamunan pria tersebut. "Kenapa?" tanyanya.

"Hm? Harusnya aku yang tanya, kau kenapa?" balas gadis itu.

Isaak menggeleng. "Tidak. Tidak apa-apa."

Sementara itu, Agha yang sejak tadi mengamati gerak-gerik Isaak merasa ada yang berbeda dengan pria tersebut. Pria itu seperti tengah menyembunyikan sesuatu. Namun, di tengah rasa penasaran soal kelompok berkuda tadi, Agha lebih memilih untuk berbalik ke timur melanjutkan langkah.

"Ayo! Aku tidak mau mati kelaparan jika kelompok itu kembali dan mengekori kita," ajaknya tanpa sekalipun menoleh ke belakang.

***