webnovel

Backburner

Flashback.

Saat itu aku masih mahasiswi semester 3 saat bertemu dengannya dan dia seorang mahasiswa musik semester 5. Dia sudah cukup lama tinggal disana sejak semester 1. Bisa dibilang aku adalah penghuni kos cewek yang jarang keluar dibanding anak kosan cewek lainnya, karena kosan cewek hanya ada 2 kamar jadi kami jarang keluar untuk kumpul bareng dengan anak kosan lain dan aku terlalu malas untuk ikut bergabung. Mereka jarang ada yang mengenalku. Tapi aku sering melihatnya berkumpul dengan anak-anak entah itu mengobrol hingga pagi atau karaoke hingga tengah malam. Untung saja suaranya lumayan enak kalau tidak sudah aku protes dia dari lama.

Pernah suatu malam ibu kos datang mengetuk pintu kosku untuk mengajakku berkumpul dengan anak-anak lainnya. Saat itu tidak semua orang datang hanya aku dan 6 orang mahasiswa semester 5 yang berkumpul di halaman, dan saat itu aku mengenalnya. Orang itu mengenalkan dirinya kepadaku. Namanya Theodore, seorang mahasiswa jurusan musik dan ternyata mereka ber 6 berada di jurusan yang sama. Jujur aku takut untuk berkumpul dengan anak-anak semester atas, aku takut terlihat canggung. Namun, berkumpul dengan mereka tidak buruk juga. Sejak saat itu aku lebih sering berkumpul dengan mereka jika ada waktu luang. Entah itu mengobrol ringan yang kemudian beralih ke obrolan konspirasi yang aku tidak paham, karaoke ataupun bercerita horor yang buat kami berkidik sendiri dan berakhir duduk merapat menempel satu sama lain karena ketakutan.

Aku kadang sering mengobrol berdua dengannya, kadang dia juga menemaniku mengerjakan tugas hingga tengah malam. Dia bahkan mau menemaniku mengerjakan tugas padahal dia baru saja pulang kuliah. Kami juga sering jalan-jalan berdua atau keluar makan. Aku sangat bersyukur dapat bertemu mereka, mereka menjagaku dan memperlakukanku seperti adik mereka sendiri. Mereka selalu menjagaku dan selalu memperingatkan ku untuk berhati-hati dalam bergaul dan bertemu dengan laki-laki. Bahkan kak Mikha melarangku untuk bertemu laki-laki yang baru aku kenal jika tidak memberi tahunya lebih dulu. Dan aku sangat bersyukur dengan itu karena aku dipertemukan oleh orang-orang baik yang menjagaku. Namun rasa nyaman itu berubah, aku merasakan gelenyar aneh pada hatiku terhadapnya, terhadap Theodore. Aku mulai menyukainya, aku suka semua afeksi yang dia berikan kepadaku. Dia selalu menanyakan bagaimana hariku, menemani aku jika aku kesepian, dia selalu excited saat mendengarkan ceritaku, candaan garingnya, dan perdebatan tidak jelas kami. Aku sangat menyukainya.

Namun rasa suka itu tidak pernah aku ungkapkan, aku terlalu takut untuk mengatakannya. Cukup aku memendamnya saja seperti yang biasa aku lakukan. Seiring berjalannya waktu kami jadi semakin dekat. Kami sering keluar bersama entah sekedar jalan-jalan atau keluar membeli makan. Perhatiannya padaku tidak pernah berubah, kami sering menyempatkan waktu sekedar bertemu di halaman untuk bertukar cerita satu sama lain atau mendebatkan hal-hal tidak penting. Aku masih ingat bagaimana khawatirnya dia saat aku bilang aku mengikuti kegiatan ospek yang diadakan di gedung yang terkenal angker di fakultas kami. Dia selalu mengirimkan pesan menanyakan kabarku dan bersikeras menyusulku jika terjadi sesuatu hal yang aneh.

Dia kadang menemaniku di luar untuk menunggu teman kamar sebelah ku pulang karena aku takut sendirian. Dia bahkan menunggu dan menjagaku di luar dengan yang lainnya waktu aku bilang aku ketakutan karena anak kamar sebelahku jarang pulang dan aku sendirian disana. Hubungan kami baik-baik saja selama itu hingga waktu pergantian semester baru dan datang penghuni baru kosan cewek, dia Windy mahasiswi yang berada di semester yang sama dengannya .

Sejak saat itu hubungan kami renggang tidak seintens dulu. Aku mulai disibukan dengan tugas dan organisasi dan dia yang disibukkan dengan magangnya. Kami jadi jarang bertemu bahkan untuk berkirim pesan saja itu bisa dihitung jari. Kini dia lebih dekat dengan anak baru itu, bahkan perlakuannya romantis sekali. Ingin marah rasanya dia begitu mudahnya melupakanku. Namun aku sadar aku bukan siapa-siapa baginya, aku hanya figuran yang lewat dalam hidupnya. Hingga aku mendengar ucapannya yang menganggap aku adiknya saat anak baru itu bertanya hubunganku dengannya. Ah..aku hanya dianggap adik, seharusnya perasaanku tidak lebih dari itu.

Aku mulai mengurangi interaksi dengannya, aku memilih menghindarinya karena aku melihatnya nyaman dengan orang baru itu. Dia tidak pernah mengirim pesan pagi atau sekedar bertanya kabar,dia bahkan hanya mengirim pesan sekali, bertanya kapan aku pulang karena Windy sendirian di kosan. Kadang dia memintaku menemani Windy atau mengantar Windy keluar kalau dia tidak ada. Awalnya aku menerimanya karena aku sadar posisiku, tapi aku sudah muak dengan semua itu. Getir langsung memenuhi dadaku setelah membaca pesan terakhirnya, sepenting itu kah dia, sampai dia melupakanku. Aku hanya menjawab "iya aku pulang sekarang" saat dia memintaku pulang karena Windy sendirian. Aku langsung mematikan handphone ku, sakit rasanya dilupakan begitu saja namun aku bisa apa. Setelah mengirim pesan itu aku tidak langsung kembali ke kosan, aku memilih datang ke kosan Tara dan menumpahkan semua air mataku disana. Persetan dengan Windy dan Theo aku tidak peduli lagi.

Tara tidak mengatakan sepatah kata apapun dia hanya memelukku dan mengelus punggungku, dia sudah tau semuanya. Dia membiarkan aku mengeluarkan semua bebanku padanya.

"La udah ya, nggak usah nangis." Ucapnya sambil menatapku sendu.

"Nggak usah ditangisi La, buat apa ? aku tau kamu mendem perasaan sukamu buat dia selama ini. Tapi kamu harus sadar kamu bukan satu-satunya buat dia, kamu jadi salah satu diantara itu. Udah ya berhenti kamu nyakitin diri sendiri buat ada di antara mereka."

Aku hanya menangis mendengar perkataannya, memang sudah waktunya aku mundur. Memang baiknya perasaan ini aku pendam saja dan cukup aku saja yang tahu, biar aku saja yang merasakan sakitnya.

"Cari bahagiamu sendiri La, tanpa dia." Ucap Tara.

Ya akan aku cari bahagiaku. 

Jam 10 malam aku baru kembali ke kosan. Aku melihat mereka berdua mengobrol, bercanda gurau di tempat yang biasa aku tempati. Aku langsung berjalan masuk ke dalam tidak memperdulikan mereka yang menatapku. Bahkan saat dia memanggilku aku tidak menghiraukannya, cukup dengan semua itu aku sudah tidak peduli.

Esoknya setelah aku pulang kuliah aku melihatnya duduk di tempat itu. Aku sengaja pura-pura tidak melihatnya, terserah aku sudah lelah dengan semua ini. Dia memanggil namaku tapi aku terus berjalan menghiraukannya. Saat mendak mencapai pintu depan dia tiba-tiba dia memegang tanganku dan menarik menjauh dari sana. Aku hanya diam saat dia menarikku, aku terlampau lelah untuk mengeluarkan tenagaku. 

"Kamu kemana aja sih kemarin katanya langsung pulang, kok jam segitu baru pulang ?." Tanyanya menelisik.

"Aku ada kerja kelompok kak, maaf." Aku berbohong, mana ada kerja kelompok kalau menangis sih iya.

"kenapa chat aku ngga di bales, aku telepon juga ngga di angkat."

"Hpku mati kak, ngga sempat ngecas."

"kalo gitu ngabarin lah La, kan aku nggak bingung kasian Windy kasihan dia sendirian." Disini dia mulai meninggikan suaranya.

"Kenapa nggak kamu aja kak, kenapa harus aku. Emang aku siapamu sampe aku harus effort buat nemenin Kak Windy pas kamu ngga ada?."

"Aku juga punya kehidupanku sendiri kak, aku bukan babysitter mu buat jagain kak Windy 24/7. Aku udah diem loh kak selama ini kamu suruh aku ini itu buat Kak Windy. Sekarang udah cukup kak aku ngga mau lagi. Tolong kak jangan libatin aku dalam hubunganmu sama dia." Jawabku.

"Laira bentar nggak gitu maksudku."

"Udah ya kak, aku lagi nggak enak badan aku mau masuk. Bisa lepasin tanganku." Karena dia sedari tapi masih menggenggam erat tanganku. Dan setelahnya dia langsung melepaskannya, dia menatapku dengan pandangan yang tidak bisa aku artikan.

"Permisi kak Theo." Aku langsung meninggalkannya dan tanpa sadar liquid bening itu turun ke pipiku.

"Laira, kamu nggak papa ?." Tanya Windy.

"Iya kak ngga apa-apa, aku masuk dulu ya permisi." Aku langsung menutup pintu kamarku dan menangis dalam diam.

Sejak saat itu aku terus menghindarinya. Aku jarang berada di kosan aku memilih keluar atau ke kosan Tara, dimanapun yang penting aku tidak akan bertemu dengannya. 

Bulan terus berlalu aku sudah mulai bisa melupakannya sedikit, ditambah dengan adanya libur semester aku sangat senang karena dapat tidak bertemu dengannya. Hingga saat aku kembali masuk kuliah dan diberi tahu bahwa dia sudah pindah dari sana. Saat itu aku memantapkan diriku untuk benar-benar berhenti dan melupakannya.

Flashback end.