2 Partner in Bed

Menjadi food bloger tidak pernah jadi impian Chelsea. Apalagi menjadi seorang koki pastri yang bekerja di salah satu hotel terkenal Australia.

Namun, itulah yang terjadi dalam hidup gadis dua puluh lima tahun itu. Dia menggeluti dunia kue dan pastri lalu mulai memanfaatkan bakatnya di bidang kudapan manis itu untuk mencari uang. Kini, tiga tahun setelah kelulusannya dari akademi kuliner populer di Melbourne, Chelsea mampu menopang hidupnya sendiri sekaligus mendulang popularitas dari aktivitasnya sebagai bloger makanan.

"Jadi, berapa lama Mbak Miss mau tinggal di Indonesia?"

Lamunan Chelsea buyar. Mata hijau gadis itu menatap penjual buah-buahan di Pasar Gede Solo. Tangannya yang berdiam diri kembali aktif memilih buah pisang.

Gadis itu menyunggingkan senyum tipis ke wanita penjual buah. Kaus pas badan si penjual makin menegaskan bentuk tubuhnya yang berisi. Wajah berkulit sawo matang yang berminyak itu menampilkan raut muka hangat bersahabat. Ditambah logat khas lokal yang medok membuat Chelsea tak tahan untuk tidak tersenyum.

"Baru juga datang, Bu," jawab Chelsea ramah dalam bahasa Indonesia fasih.

Penjual buah itu terkesima. "Mbak Miss pinter bahasa Indonesia," pujinya tulus.

"Aku belajar di sekolah."

Chelsea tidak berbohong. Sejak sekolah, dia memang sudah mempelajari bahasa Indonesia sebagai salah satu mata pelajaran, sebelum dihapus dari kurikulum di tahun 2019. Dia mahir percakapan dasar dan mengerti sedikit obrolan nonformal dari turis-turis yang berkunjung ke negaranya. Kefasihannya berbahasa Indonesia juga mempermudah komunikasi dengan pengunjung blog yang berasal dari negara tropis itu.

"Wah, apik tenan kuwi." Si penjual berbicara dalam bahasa Jawa medok. Dimasukkannya beberapa butir apel dan jeruk ke kantong plastik belanjaan Chelsea yang sudah dipenuhi buah pisang. "Buat bonus. Seneng ketemu bule bisa ngomong Indonesia."

Chelsea mengulurkan dua lembar uang dua puluh ribuan yang disambut ramah si tukang buah. "Terima kasih."

Kemudian, dia beranjak pergi meninggalkan kios mungil itu. Langkahnya santai menikmati keriuhan pasar tradisional di wilayah Jebres. Sebentar lagi Imlek. Lampion-lampion merah dan emas bergelantungan menghiasi area pasar. Ramai suara orang berbicara dalam model linguistik yang jauh dari keseharian Chelsea membuat jiwa gadis itu seolah tersiram embun. Sejuk.

Destinasi ketiganya berwisata setelah Lombok dan Bali itu menawarkan keragaman budaya yang jauh berbeda dengan tempat sebelumnya. Sama-sama ramah, tetapi dengan karakteristik penduduk yang sangat berbeda.

Chelsea meneruskan langkah. Tinggi tubuhnya menyaru sempurna dengan penduduk lokal meski wajah blasterannya masih terlihat jelas. Cuaca di bulan Februari sedikit gerah akibat mendung tebal di langit. Dia tergoda melepas kemeja yang melapisi tank top ketatnya. Namun, Chelsea tidak ingin menarik perhatian setelah melihat mayoritas orang di pasar mengenakan pakaian tertutup.

Gadis itu berjalan kaki kembali ke hotel tempatnya menginap. Tidak jauh. Hanya tujuh menit melalui jalan yang diperolehnya dari penyedia aplikasi peta digital. Dari Monumen Patung Slamet Riyadi, dia berbelok ke kiri dan berjalan seratus meter lagi menuju salah satu hotel bintang lima di wilayah Surakarta.

"Hei, baru pulang?"

Langkah gadis itu terhenti. Matanya mengerjap. Sesosok pria tinggi-terlalu tinggi untuk ukuran orang lokal-berdiri tepat di hadapannya, menghambat perjalanan Chelsea masuk hotel.

Darah gadis itu berdesir. Teringat pengalaman malam sebelumnya. Di tempat tidur. Bersama pria yang kini tengah berdiri menghadangnya.

"Baru belanja buah," jawabnya datar mencoba menyembunyikan perasaan.

"Jauh-jauh ke luar?" Pria itu menjejeri langkahnya. Kepalanya mengedik isyarat untuk berjalan bersama.

"Sambil melihat-lihat daerah sini. Baru tiba kemarin, belum sempat keliling."

Mereka berjalan memasuki lobi bernuansa tradisional yang sangat kental. Lantainya berpola lingkaran dengan warna cokelat, hitam, dan krem. Meja-mejanya dari kayu yang dipelitur mengilap, dihiasi taplak berbatik dan patung-patung kayu tokoh mitologi Jawa berukuran kecil. Bahkan petugas sekuriti dan resepsionis juga mengenakan seragam batik menawan.

Mereka mengabaikan resepsionis karena sudah melakukan pemesanan kamar. Selama perjalanan dari pelataran hotel hingga kamar di lantai tiga, Chelsea beberapa kali melirik pria di sampingnya.

Bertemu saat sedang berlibur di Bali, mereka punya kesamaan minat sangat besar di bidang kuliner. Tomi Rahardian Putra, pria asal Surakarta asli yang bertemu Chelsea di Bali. Profesi pria itu juga seorang koki dan bertanggung jawab menangani urusan perdagingan di hotel tempat Chelsea menginap sekarang. Seorang rottiseur berwajah tampan, berkulit terang, dengan rambut hitam bergelombang, dan sepasang mata gelap yang menyorot tajam.

"Terima kasih sudah mau ikut denganku ke Solo." Tomi menunggu Chelsea membuka kamar hotel.

"Aku memang akan berkunjung ke kota ini. Itinerariku memasukkan kota ini sebagai tujuan penjelajahan setelah Bali." Chelsea menyelipkan kartu akses pembuka pintu. "Kebetulan kau menawarkan jadi teman perjalanan. Kenapa tidak kupercepat saja kedatanganku ke sini?"

"Hanya teman perjalanan?" Tomi mengernyit.

Chelsea meletakkan belanjaannya di atas meja. Aroma lavender lembut menguar di kamar yang. Gadis itu melirik Tomi yang mengekor di belakang.

"Tak kembali ke kamarmu sendiri?" tanya Chelsea heran. "Katamu, kau punya kamar yang disediakan pihak hotel untuk istirahat para kokinya."

"Fasilitas itu hanya untuk executive chef." Tomi melemparkan diri ke ranjang tunggal berukuran King. "Aku hanya seorang rottiseur, koki yang bertanggung jawab ke masakan daging."

Chelsea tersenyum tipis. Tidak di hotel tempatnya kerja, tidak di hotel tempat Tomi bekerja, aturan tetap sama. Koki eksekutif yang berhak mendapat fasilitas utama.

"Jadi, urusanmu di Bali sudah selesai?" Chelsea mengalihkan pembicaraan. Harapannya itu terjadi secara halus. Namun, Tomi sepertinya menyadari keengganan Chelsea membicarakan interaksi intim mereka.

"Ya, sudah selesai. Hotel di Bali hanya meminjamku satu bulan. Setelahnya, aku kembali bekerja di Solo." Tomi menjelaskan alasan keberadaannya di Pulau Dewata itu.

Hotel tempatnya bekerja memang memiliki cabang di beberapa daerah Indonesia. Pertukaran pegawai sering terjadi. Kebetulan, Tomi yang memiliki kemampuan di bidang masakan Eropa diminta membantu cabang Bali untuk festival kasih sayang.

Saat itulah, dia bertemu dengan Chelsea. Seorang bloger makanan yang sangat sibuk memotret makanan pesanannya dibanding langsung menyantap. Pertemuan tak disengaja di sebuah bistro daerah Kuta. Tomi yang sedang istirahat dari jadwal kerjanya terkesima dengan pengunjung bistro di meja sebelahnya.

Tinggi tubuh Chelsea tergolong mungil untuk perempuan Barat. Raut mukanya sangat bule, dengan kulit pucat, wajah berbintik-bintik, dan rambut cokelat. Tomi mengagumi cara gadis itu memegang kamera profesional. Seolah benda elektronik itu sudah menjelma jadi perpanjangan tangannya.

"Capek?" Pria itu meraih pinggang ramping Chelsea. Diistirahatkannya kepala ke lekukan bahu gadis itu.

Chelsea tahu apa maksud pertanyaan Tomi. Namun, dia sedang tidak dalam suasana hati bagus melayani hasrat pria itu. Semalam memang menyenangkan, juga malam-malam yang mereka habiskan di Bali. Sekarang gadis itu butuh ruangnya sendiri.

"Nanti saja," tolak Chelsea halus. Meski begitu, dia tidak melepas pelukan Tomi. Panas tubuh pria itu menenangkannya.

"Aku akan datang larut malam."

Chelsea menoleh. "Lembur kerja?"

"Ada satu pesta seorang pemilik pabrik tekstil dan garmen terbesar di Solo. Pertunangan putra tunggalnya. Dapur akan sangat sibuk."

Chelsea mengangguk. Kesibukan dapur membuatnya rindu. Namun, dia masih ingin menuntaskan agenda liburannya.

"Akan kutunggu." Chelsea berbalik lantas mendaratkan kecupan ringan di pipi Tomi. "Sekarang, bisakah kau melepasku sebentar? Aku mau mandi."

"Tak ingin ditemani?" Tomi mengangkat alis. Menggoda.

Chelsea terkekeh. "Tidak, Tuan. Aku sedang ingin berendam sendirian. Tanpa gangguan sama sekali."

Tomi masih berusaha membujuk. "Kujamin, gangguanku kali ini sangat menyenangkan."

"Nanti malam," tolak Chelsea sangat tegas. "Tidak ada bujukan dan rayuan. Kau boleh gunakan kamar ini, tapi dilarang keras ke kamar mandi."

"Itu terdengar lebih ke sesi memuaskan diri sendiri," gerutu Tomi.

Chelsea terkekeh. Didorongnya dada berotot pria di depannya. "Itu privasiku. Sekarang, bisakah kau memberiku waktu bebas? Aku benar-benar rindu berendam air hangat."

avataravatar
Next chapter