1 Sebuah Temu

"Tidak ada yang tahu bagaimana semesta bekerja. Kadang mempertemukan kita dengan rasa yang benar di waktu yang salah dan mempertemukan kita dengan rasa yang salah di waktu yang kita anggap benar."

💙*💙*💙

Sebuah suara bergema di ruang makan. Menghentikan sejenak hembusan angin disekitar. Terdengar tenang namun menakutkan.

"Kalo kamu nggak segera menikah. Ayah dan ibu sepakat untuk menyerahkan semua saham perusahaan ini pada paman kamu." kata laki-laki separuh baya pada seorang yang telah berdiri di ambang pintu.

"Nak, duduk dulu. Kita bicarakan baik-baik. Mau sampai kapan kamu lari? Ibu hanya ingin yang terbaik." Sebuah suara perempuan paruh baya ikut menimpali.

Sementara itu, seorang yang telah berdiri di ambang pintu berbalik dan menghela napas. Berjalan menuju meja makan dan duduk diam.

Dia membuang pandangan. Seolah ingin menghindari sesuatu.

"Ayah tau ini cukup memberatkanmu. Tapi kamu tau sendiri, satu-satunya yang kami miliki cuma kamu. Perusahaan ini butuh pewaris dan kamu belum juga menikah. Ingat nak, menikah itu termasuk Sunnah Rasul." suara laki-laki paruh baya itu mulai melembut.

Perempuan disampingnya menatap lirih ke arah yang diajak bicara. Dia hanya membuang muka. Terlihat enggan menatap.

"Umur kamu nggak lagi muda nak. Ibu nggak ingin meninggalkanmu dalam keadaan sendiri. Apa kamu nggak iri melihat orang lain yang sudah berkeluarga bahkan punya anak?" tatapan lirih itu meminta jawaban.

Lama dia termenung, pikirannya tidak berada di tempat. Banyak pertanyaan yang lalu lalang di pikirannya. Salah satunya adalah yang didengarnya tersebut.

Akhirnya dia membuka suaranya yang terkunci beberapa saat lalu.

"Baiklah jika itu yang diinginkan. Saya nggak ingin lari lagi. Tapi beri saya waktu tiga bulan untuk meyakinkan diri" tegasnya menatap wajah laki-laki paruh baya di depannya.

Laki-laki paruh baya tersebut menoleh pada istrinya dengan tersenyum dan kembali menatapnya lalu berkata, "Baiklah".

Perdebatan itu berakhir sudah. Dia mengalah. Ada benarnya juga yang dikatakan perempuan paruh baya yang merupakan ibunya tadi. Mau sampai kapan dia lari.

-

Meja bundar tersebut terlihat berantakan dengan jejeran file bertumpuk diatasnya. Seorang laki-laki sedang duduk di kursi goyangnya. Bergerak gelisah sesekali memijat kepalanya yang terasa berdenyut.

Di pandangnya kaca transparan yang tidak jauh dari tempat dia duduk. Di lihatnya gedung-gedung bertingkat, langit biru berawan dan sesekali terlihat burung terbang bebas lepas tanpa beban.

"Kenapa melamun begitu? Ada masalah hidup apalagi?" tanya suara laki-laki yang memecah keheningan.

Dia menoleh ke arahnya. Menghela nafas kesekian kalinya.

"Lagi-lagi di suruh nikah. Bodohnya aku malah mengiyakan terus cuma minta waktu tiga bulan." Jawabnya sambil memijat kepalanya yang berdenyut.

"Iya sih, kamu bodoh." komentar laki-laki yang sudah duduk di sofa samping meja.

"Terus mau nyari dimana?" Tanya laki-laki tersebut.

"Mana aku tahu" Jawabnya singkat

Kemudian laki-laki tersebut memberinya saran, "Ikut saja program Ta'arufnya Ustad Zulkifli."

"Nggak semudah itu", Dia melirik sebentar kemudian tatapnya kembali menuju pada kaca transparan tadi.

Jam dinding di ruangan tersebut berdetak pelan sama seperti jantungnya saat ini. Sebelum percakapan itu berlanjut lebih jauh. Azan zuhur di sebuah masjid telah berkumandang menghentikan mereka.

Tanpa banyak bicara, selepas azan mereka keluar ruangan menuju masjid yang tak jauh dari tempat mereka.

Baginya Masjid adalah tempat terbaik untuk melepas segala kegundahan hati. Kerisauan dan kelelahan duniawi. Dalam lirih doanya, dia hanya meminta di beri yang terbaik dan memohon untuk segera dipertemukan.

Selepas sholat para jemaah bubar termasuk sahabat karibnya. Tak terkecuali dirinya. Seperti biasa laki-laki yang bingung dengan keinginan orangtuanya itu selalu menyempatkan waktu untuk membaca Al-Qur'an.

Alif Syahputra Rasdjaya. Anak tunggal dari seorang pengusaha property terbaik di kota tersebut. Yang saat ini menjabat sebagai Direktur Pengembangan Bisnis dan Pemasaran. Sekalipun dia merupakan anak tunggal yang bisa saja menjadi Direktur Utama, dia lebih memilih memulai karirnya dari bawah. Bahkan dia sempat menjadi karyawan biasa sebelum akhirnya naik pangkat berkat usahanya sendiri.

Diawalinya dengan basmalah dia membaca Al-Fatihah dengan suara kecil nan merdu, meneduhkan bagi siapa saja yang mendengar. Tanpa disadarinya, dari balik hijab tepat di posisi para makmum. Seorang perempuan yang hendak melepas mukenanya terdiam sejenak menikmati bacaannya.

Bergugam "Masya Allah".

Di dengarnya sampai selesai barulah perempuan itu berdiri dan keluar dari masjid.

Setelahnya dia pun bergegas keluar dari masjid menemui sahabat karibnya, Antoni. Mereka sudah bersama sejak kecil. Selain sebagai sahabat Antoni juga menjadi asisten pribadinya.

Dari seberang jalan terlihat seorang perempuan berjilbab biru tua sedang terburu-buru berhenti tepat di depan rambu lalu lintas. Serta terlihat seorang laki-laki dengan susah payah mendorong kursi rodanya saat menyebrang untuk menghindari lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Tanpa bicara sepatah katapun, perempuan itu terlihat berjalan pelan disamping laki-laki berkursi roda tersebut untuk memastikannya menyebrang jalan dengan selamat.

Sesampainya di seberang jalan, Laki-laki dengan kursi roda tersebut menyadari kebaikannya dan mengucapkan terima kasih. Dia membalasnya dengan senyuman.

Alif sejenak takjub dengan apa yang dilihatnya. Dia pun ikut tersenyum. Kemudian dia kembali ke kantor bersama Antoni.

Saat berada dalam lift, perempuan yang tadi dilihatnya sedang berlari menuju mereka. Sebentar lagi pintu lift akan segera tertutup. Perempuan itu mencoba menjangkaunya. Alif pun menahan pintu lift tersebut agar dia bisa masuk..

Dia tersenyum lega ke arah Alif dan berkata, "Terima kasih, Pak".

Suara tersebut tak asing baginya, tapi di mana dan kapan dia tidak ingat pernah bertemu dengan perempuan ini.

"Sama-sama" balas Alif.

"Mau ke lantai berapa mbak?" tanya Antoni.

"Oh itu lantai 15" jawab perempuan tersebut.

"Oh kalo begitu kita sama" balas Antoni.

Beberapa saat kemudian mereka sudah sampai di ruangan. Perempuan itu masih terlihat terburu-buru. Dia langsung berlari meninggalkan Alif dan Antoni. Alif hanya menggelengkan kepala dan tersenyum tipis.

Saat sudah berada dalam ruangannya, seorang karyawan datang dan berkata, "Permisi Pak, karyawan yang dipindahkan dari kantor cabang sudah datang."

"Oh iya, suruh masuk saja." Balas Alif.

"Baik Pak."

Tidak lama setelahnya masuk seorang perempuan.

"Bismillah"

Alif dan Antoni menoleh ke arah suara.

"Eh mba yang tadi ya" tunjuk Antoni saat menyadari perempuan tersebut.

Perempuan tersebut sedikit terkejut. Dia melihat sebuah papan nama di atas meja bertuliskan "Director Of Business Development and Marketing".

"Silahkan duduk mba" Antoni mempersilahkan.

Dia mengangguk sambil tersenyum kemudian duduk.

"Terima kasih Pak." balasnya.

Kemudian perempuan tersebut memperkenalkan dirinya, "Oh iya maaf. Perkenalkan nama saya Asyifa Nur Imani biasa dipanggil Asyifa."

Nama tersebut terasa tidak asing bagi Alif. Tapi siapa, dia tidak tahu.

Alif mengerutkan keningnya dan bertanya "Asyifa?"

"Iya Pak" jawab Asyifa.

"Sepertinya nama itu tidak asing tapi dimana ya." Dia berpikir sejenak.

"Ah, sudahlah lupakan. "

Asyifa menyodorkan berkas yang dibawanya.

"Jadi sebelumnya anda menjadi Manager untuk bidang Property?" Tanya Alif.

"Iya Pak" jawab Asyifa.

"Sepertinya anda cukup berprestasi ya. Hanya dalam kurun waktu 3 tahun sudah dapat menempati posisi tersebut" komentar Alif.

"Kebetulan sebentar lagi ada proyek besar yang harus ditangani bidang Property dan saya sangat membutuhkan bantuan anda" lanjutnya.

Alif kemudian sudah berdiri di depannya sambil tersenyum ramah, "Baiklah. Semoga anda betah bekerja di sini. Asisten saya akan mengantarkan anda ke ruangan".

Seperti yang tidak diketahui banyak orang. Dia sudah berusaha untuk tidak menyentuh tangan seorang perempuan lagi sejak bertemu dengan Ustad Zulkifli beberapa tahun lalu yang menjelaskan tentang larangan tersebut. Namun itu cukup sulit diterapkan pada beberapa klien dari negara berbeda.

"Baik Pak. Terima kasih" balasnya ramah sambil merapikan berkas yang dibawa tadi.

Antoni tersenyum dan langsung menyodorkan tangan hendak menjabat tangan.

"Selamat ya, Asyifa Nur Imani. Semoga ini yang terbaik."

Asyifa sejenak terdiam sampai akhirnya merapatkan kedua tangannya di depan dada.

Dengan tersenyum dan menunduk dia berkata, "Iya Pak, Terima kasih. Maaf"

Antoni salah tingkah. Untuk pertama kalinya dia bertemu dengan seorang perempuan yang tidak ingin bersentuhan tangan dengan laki-laki. Sedangkan di sudut ruangan Alif memperhatikan, hal tersebut sesuatu yang sulit ditemukan pada zaman sekarang ini. Sebuah senyum pun lahir di bibir Alif.

"Hehehe.. Maaf saya tidak tahu kalau anda tidak mau berjabat tangan dengan yang bukan muhrim" Antoni masih salah tingkah.

"Mahram" kata Asyifa dan Alif serentak.

Mereka saling berpandangan sejenak sampai akhirnya membuang muka.

"Muhrim itu orang yang sedang melaksanakan ihram dalam ibadah haji. Sedangkan mahram adalah orang yang tidak bisa dinikahi karena sebab tertentu. Seperti Ayah, Ibu, Saudara Perempuan atau laki-laki." Alif menjelaskan.

Antoni hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Beberapa saat kemudian dia mengantarkan Asyifa menuju ruangannya.

-

Sore harinya sebuah Mobil Suzuki APV Luxury Putih berhenti tepat di depan rumah Asyifa. Dari dalam mobil turun tiga orang perempuan. Akhirnya pintu pagar terbuka, menampilkan sebuah rumah minimalis dengan bagian teras yang terdapat dua kursi dan satu meja kayu.

Mereka bertiga sudah berada di dalam rumah. Salah seorang dari mereka langsung menaiki tangga menuju lantai 2. Sedangkan yang lain memilih duduk di sofa panjang ruang tamu tersebut.

"Aku ke atas dulu ya" Katanya saat berada di tengah tangga.

Diatas terdapat tiga buah kamar. Satu berada di ujung kanan. Dan dua lainnya saling bersebelahan di ujung kiri. Perempuan itu hafal betul kamar mana yang harus dimasukinya.

Dia membuka pintu kamar dengan pelan dan benar saja Asyifa yang masih mengenakan pakaian lengkap terlihat nyenyak di atas ranjangnya.

Di dekatinya perlahan dan duduk di samping ranjang. Melihat ketenangan Asyifa, sifat isengya muncul. Dia menutup wajahnya dengan selimut. Mencoba menggoyangkan tubuhnya beberapa kali. Sementara Asyifa hanya menggeliat dan berbalik membelakangi.

Merasa tidak berhasil, dia meneriakinya, "Woy... Banguuuuuuun.. Sahuuuuur... Oooy.. Yuuuhuuuuu"

"Bangun dong.. Isssh.." kesalnya.

Tetap saja Asyifa tak bergeming.

"Dari dulu sampe sekarang masih aja sama. Kalo capek, susah banget dibangunin. Mau rumah ini di bom, tetap aja dia tidur" dengusnya kesal.

"Apa harus pakai cara itu ya?" pikirnya yang tersenyum licik.

Sekian detik berpikir dia mengambil tindakan brutal. Menarik paksa Asyifa dari atas ranjangnya. Akhirnya Asyifa jatuh tersungkur. Untung saja kepalanya tertutup selimut kalau tidak sudah pasti kepalanya akan bengkak.

Kaget tentu saja. Saat mimpinya sedang indah, dia dipaksa sadar dengan cara yang tidak benar. Jilbabnya jadi berantakan, dia kesulitan bernafas.

"Aww" dia meringis.

Mencoba keluar dari balik selimut. Ya, begitulah Asyifa yang mudah tertidur saat lelah dan sulit dibangunkan.

Sedangkan si pelaku utama sudah berdiri di dekat pintu dengan tertawa keras. Hanya satu orang yang berani membangunkannya dengan cara kasar seperti itu. Siapa lagi kalo bukan sahabatnya. Perempuan berjilbab pasmina, Cahyani Raudah biasa di panggil Cahya yang saat ini sedang cengengesan di atas penderitaannya.

Diperbaikinya jilbab yang lepas dan rambut yang sedikit keluar. Dia merasakan sakit pada lengannya seperti terbentur sesuatu.

Sementara itu, Cahya mencoba mengatur napasnya karena tertawa.

"Habisnya dibangunin susah banget sih Bun. Maaf ya" duduk mendekat dan memeluknya.

"Aku ngantuk" katanya yang kembali menutup mata.

"Asyifa Nur Imani. Bangun bego ini udah mau magrib tau" Melepas pelukan dan menampar pipinya pelan berulang kali sampai memerah.

"Aduh sakit tau. Iya bangun. Ini bangun" katanya sambil memegangi pipinya yang merah.

"Di bawah udah ada Salsa dan Tiwi. Turun yuk, makan. Laper nih" kata Cahya memegangi perutnya.

Asyifa beranjak ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya. Dia kemudian turun mengikuti Cahya. Tepat di tengah tangga perempuan berjilbab merah tua yang tak lain sahabatnya Pratiwi Aliza biasa di panggil Tiwi memandanginya dengan binar bahagia.

Tiwi merengek "Emaaaak.. Laper".

"Sama.. Aku juga nih" lanjut perempuan bergamis yang juga sahabatnya. Salsabila Anum biasa di panggil Salsa.

Dikarenakan rumahnya yang minimalis. Maka hanya butuh satu belokan ke kanan dari ujung tangga untuk sampai di dapur.

Dia membuka kulkas, mengeluarkan sebungkus ayam instan. Menghidupkan kompor, menaruh wajan dan minyak. Setelah panas dia langsung menggoreng ayam tersebut.

Sedangkan Tiwi sudah duduk manis di meja makan. Salsa sibuk membuatkan minuman mereka dan Cahya membantu menyiapkan makanan.

Tiwi kembali merengek "Maaak.. Cacingku sudah pada demo nih. Mereka menuntut upah minimum yang nggak kunjung diberikan"

Cahya menimpali "Siapa suruh cacing digaji"

"Sejak kapan cacing digaji sih? Emang kerjanya ngapain?" tanya Salsa polos.

Pertanyaan konyol yang mengundang tawa seisi dapur. Sedangkan Salsa hanya bisa ikut tertawa dengan kepolosannya.

"Anak siapa sih kalian ini" katanya menggelengkan kepala.

"Anak Bunda" jawab mereka kompak. Mereka kembali tertawa.

Suasana yang benar-benar Asyifa rindukan di setiap hari lelahnya. Baginya mereka adalah penenang dan pereda setelah sholat. Tertawa bersama mereka seperti obat yang mampu menghentikan rasa sakit dan tingkah konyol mereka mampu membuatnya melupakan beban hidup sejenak.

Dalam lirihnya, Azan Magrib pun berkumandang.

Dia berdiri mengajak mereka "Sholat yuk"

"Maaf Bunda, lagi dapet" sahut Cahya

"Aku juga mak" sambung Tiwi

"Aku belum habis" balas Salsa

"Ya udah.. Tinggal sebentar ya"

Dia pun bergegas menuju ruang sholat yang berada di samping kanan ruang tamu. Dia memang sering sholat di rumah sesuai hadist yang pernah dia baca. Tetapi bukan berarti perempuan tidak diperbolehkan sholat di masjid. Lagipula, masjid agak jauh dari rumahnya.

* "Janganlah kalian melarang istri-istri kalian untuk ke masjid, namun shalat di rumah mereka (para wanita) tentu lebih baik."(HR. Abu Daud) Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadist ini shahih. *

Mereka sudah duduk manis dan sibuk dengan hp masing-masing sampai sebuah suara mengejutkan mereka.

"Assalamu'alaikum"

"Astagfirullah hal adzim" Salsa terperanjat

"Ya Allah" Cahya pun sama

"Astagfirullah.. Kaget gue" Tiwi mengelus dada.

Dia hanya bisa tertawa kecil melihat reaksi mereka.

"Jawab dulu dong salamnya. Hpnya taruh di sini dulu" katanya menyodorkan sebuah keranjang kecil.

Yap, peraturan terbaik di rumah ini.

Saat berkumpul bersama, maka tidak ada yang boleh memegang ponsel. Jika sampai ada yang berani, maka akan dikenakan sanksi membayar denda sebesar 100 ribu.

Mereka sudah duduk di sofa. Cahya menyandarkan tubuhnya pada Tiwi.

"Eh gimana hari ini? Lancar?" tanya Cahya penasaran.

"Iya gimana?" sambung Salsa

"Alhamdulilah." jawabnya tersenyum lega.

"Syukurlah" seru mereka bersamaan.

"Asyik. Akhirnya bisa sekantor juga. Selamat datang di kantor baru ya Bu Manajer." Seru Cahya.

"Tadi kok aku nggak lihat kalian berdua ya?" tanya Asyifa.

"Oh tadi kita lagi ketemu klien Bun. Jadi nggak ada di kantor." Jawab Cahya.

Cahya dan Tiwi merupakan karyawan lama di perusahaan tersebut tetapi pada bidang pemasaran. Sedangkan Salsa dia sedang sibuk mengurus bisnis butiknya.

Cahya kemudian mengajak Asyifa "Eh iya bun, kita jalan yuk. Sekalian mampir ke kafe"

Tiwi menimpali "Ide bagus tuh. Sudah dua bulan loh kita belum kesana"

"Boleh. Aku juga mau belanja bulanan" dia pun mengiyakan.

Sebelumnya mereka sudah mengambil kembali ponselnya masing-masing.

"Kalo begitu ayo. Tunggu apalagi" seru Tiwi yang sudah berdiri menuju pintu.

"Tunggu aku" Salsa menyusulnya.

"Aku yang bawa mobil ya" kata Tiwi menoleh sesaat sebelum membuka pintu.

"Oke" Cahya mengacungkan ibu jarinya.

"Aku ganti baju dulu sama ambil tas di atas" pamitnya berjalan menuju ke atas.

Saat pintu terbuka, terlihat seorang perempuan berusia sekitar dua puluh tahun memakai jilbab pasmina hitam, jas putih seperti seorang dokter lengkap dengan stateskop di leher hendak membuka pintu.

"Eh ada kak Salsabila dan kak Pratiwi." sapa perempuan tersebut.

"Assalamu'alaikum. Apa kabar?" lanjutnya sambil mencium punggung tangan mereka.

"Wa'alaikumsalam. Alhamdulillah baik dek." balas Salsa lembut

"Wa'alaikumsalam.. Baik kok. " balas Tiwi.

Tiwi kemudian memujinya "Wah.. Makin cantik aja nih calon dokter"

Sementara yang dipuji hanya bisa tersipu malu.

"Sudah pulang Nisa?" tanya Asyifa dan Cahya bersamaan.

"Iya kak" jawab perempuan yang merupakan adiknya.

Khairunnisa Imani biasa di panggil Nisa. Seorang mahasiswa kedokteran semester lima.

Nisa pun masuk dan menyandarkan diri di sofa panjang tanda lelah. Terlihat jelas dari raut wajahnya yang kusam dan bibirnya yang kering. Seharian sudah dia berada di kampus.

"Kakak mau keluar dulu sebentar. Kamu jaga rumah ya" pinta kakaknya.

Dia menoleh dan berkata, "Ngapain di jagain sih kak, emang dia nggak bisa jaga diri sendiri apa!?"

Mendengar hal tersebut. Asyifa langsung menjitak kepalanya.

"Aww" dia meringis memegangi kepala dan memandangi kakaknya.

"Nih anak nggak pernah serius. Udah ah, kakak pergi dulu. Assalamu'alaikum" berjalan keluar setelah memukul kepala adiknya.

Nisa menyahut dengan tidak semangat "Wa'alaikumsalam".

🍁****🍁

avataravatar
Next chapter