webnovel

Di Rumah Sakit

Malam itu adalah malam yang tidak menyenangkan bagi Richard karena melihat kondisi sahabatnya yang ditemukannya di pinggir jalan, tanpa mengetahui informasi apa yang terjadi pada sahabatnya itu.

Ia berjalan mondar-mandir di depan ruang UGD, tidak tahu harus berbuat apa lagi sambil menunggu pria yang baru saja ia tolong. Dia masih bersikeras untuk menyalahkan dirinya sendiri setelah apa yang terjadi kepada sahabat baiknya itu.

Karena dia berpikir, seharusnya itu tidak akan terjadi jikalau dirinya selalu bersama dengan Nicholas, namun karena kesalahpahaman yang terjadi membuatnya merasa bersalah saat menemukan Nicholas di pinggir jalan dengan tidak sadarkan diri.

Sudah hampir 15 menit tapi suster yang membawa Nicholas ke ruangan UGD itu belum juga keluar. Perasaan khawatir memburu di wajahnya, beberapa kali dia mencoba duduk di kursi tunggu di lorong, tetapi itu tidak bisa membuat dirinya tenang.

Berjalan mondar-mandir di lorong sambil menggigit jempolnya, tangan yang lain menyilang di dadanya. Suara sepatu darinya membuat seluruh lorong agak bising, oleh karena itu, untungnya di lorong yang digunakan untuk menangani Nicholas tidak banyak pasien di sana.

Karena sebagian besar kamar UGD selalu menyendiri dari kamar lain.

[Suara telepon berdering]

Dengan panik, tangan Richard yang gemetaran itu merogoh saku celana depannya, untuk mengambil ponselnya. Karena suara nada dering yang begitu keras terdengar akan sangat mengganggu siapapun yang berada di area sekitar lorong.

"Sialan," umpat Richard seketika saat melihat jika panggilan yang masuk dalam ponselnya adalah Laura Reiss, ibu Nicholas.

Raut berkecamuk sudah terukir di wajahnya Richard yang begitu panik saat ingin memutuskan untuk mengangkat teleponnya atau tidak.

Karena jika dia mengangkat telepon dari Laura, dia juga harus punya alasan yang jelas. Karena pasti Laura akan menanyakan keberadaan anak tunggalnya itu.

Tetapi jika dia tidak mengangkat telepon dari Laura, pasti dia akan lebih khawatir tentang situasi putranya yang tidak memberinya kabar sama sekali.

"Sial!" Richard mengutuk sebelum akhirnya memutuskan untuk mengangkat telepon dari Laura.

[Halo, Richard Apakah Nicholas bersamamu?]

"Ahh, haha ​​Nicolas, ahh ya, dia tidak sadarkan diri,"

Mata Richard langsung terbelalak lebar, saat dia dengan tidak sengaja mengatakan hal tersebut kepada Laura.

[Hah? Bagaimana? Tidak sadar] suara khawatir muncul dari balik suara Laura di ponsel Richard.

"Ahh, maksudku dia istirahat di kamar, dia lelah, dan dia mengatakan bahwa Tante menelepon, meminta untuk memberi tahu dia bahwa malam ini akan menginap di rumahku," kata Richard begitu lancar ketika tiba-tiba muncul ide Cukup brilian di kepalanya.

[Ah, seperti itu. Ya, sudahlah, aku akan membereskan makan malam,]

Richard langsung terdiam begitu Laura mengatakan ini,

Astaga, jangan bilang mereka punya janji makan malam? Sial, aku berbicara seperti itu pada Laura. Pasti dia akan memikirkan anaknya. Aduh, apa yang harus saya katakan ini. Batin Richard berusaha berpikir keras ketika dia berada dalam situasi yang membingungkan baginya.

"Ah, dia juga bilang, kalau dia merindukanmu, dan minta maaf padamu jika sekarang dia ternyata tidak bisa pulang untuk menemuimu. Dia bilang dia juga mencintaimu," kata Richard dengan mata berkaca-kaca saat berkata pada Laura. .

Karena dia tahu jika hubungan Laura dan Nicholas kurang mulus. Mereka berdua jarang bertemu. Meski tinggal di rumah yang sama, padatnya jadwal pekerjaan Laura membuat Laura tidak memiliki waktu yang berharga bersama putranya.

Untungnya, Richard mengetahuinya, dan terkadang mengeluh kepada Nicholas tentang ibunya dan pekerjaannya. Dan dengan berat hati, dia harus mengatakan ini pada Laura.

[Ah, iya aku tahu, salamkan juga padanya, aku juga sayang dia dan sebentar lagi aku akan mengambil cuti panjang, jadi aku bisa punya banyak waktu bersamanya.] Kata Laura dengan suara agak gemetar, dan Richard sadar akan hal ini, jika Wanita yang di telepon itu sedang menangis dalam diam.

"Ah ya Tante Laura aku harus pergi dulu, aku harus segera ke kamar mandi,"

[Ah, baiklah kalau begitu, sampai jumpa.]

"Selamat jumpa,"

Richard menutup telepon dan bergegas duduk di kursi tunggu di lorong rumah sakit.

Tatapannya kosong menatap ke depan ketika dia selesai berbicara dengan Laura, Ibu Nicholas.

Dia harus mengatakan agar Laura tidak mengkhawatirkan Nicholas, dan itu adalah ide terbaik saat itu.

"Dengan keluarganya, Nicholas?"

Richard segera mengangkat kepalanya, ketika mendengar suara wanita itu bertanya padanya.

Ia segera bangkit berdiri, "Ah, ya saya, Bagaimana kondisinya, suster?" Richard bertanya begitu penasaran menunggu jawaban dari perawat yang ada di depannya sekarang.

"Bisa dikunjungi sekarang, dia mengalami serangan panik, dia sudah merasa lebih baik sekarang, untungnya, segera dibawa ke sini, jika tidak, mungkin dia akan mengalami peningkatan darah yang akan membuat situasi menjadi lebih parah, jadi tolong perhatikan lagi, dia tidak boleh terlalu tegang dan takut akan sesuatu, agar serangan panik tidak terulang kembali,"

Perawat itu berkata untuk menjelaskan kepada Richard kondisi di Nicholas.

"Ah, baiklah. Terima kasih," jawab Richard tanpa tersenyum mencoba mengingat semua yang baru saja dikatakan oleh perawat. Richard dengan cepat meninggalkan perawat dan menuju ke ruangan yang digunakan untuk merawat Nicholas.

Sebelum memasuki ruangan, dia mengintip dulu dari luar ruangan. Ekspresi khawatirnya mulai berkurang, dia mendorong pintu kaca di depannya, lalu perlahan memasuki ruangan.

Ketika dia memasuki ruangan, dia melihat Nicholas yang tidak sadarkan diri. Wajahnya pucat, sudah kembali normal.

Kemudian mata Richard terfokus pada pergelangan tangan Nicholas, dia mendekat untuk memastikan pergelangan tangan temannya.

"Astaga! Jangan bilang perawat tidak bisa memasukkan jarum infus di pergelangan tangan Nicholas," kata Nicholas sambil melihat plester bundar putih, yang berada di pergelangan tangan dari Nicholas.

Bukan hanya satu, tapi empat tusukan gagal dia masukkan ke pergelangan tangan Nicholas, karena Nicholas sekarang tidak menggunakan infus, tapi dia menggunakan alat untuk bernafas saja.

"Aduh, dia pasti curiga dengan ini."

Kata Richard sambil berusaha mencari tempat sampah di ruangan tersebut. Memastikan jika apa yang dia pikirkan, itu benar.

Tatapannya berhenti di sudut sebelah pintu, ada sampah kecil. Richard bergegas ke sana dan membuka tutupnya.

"Benar, tebakanku. Rasanya aku harus segera meninggalkan rumah sakit ini." Richard bergumam dengan agak panik. Ia harus berpikir dengan percaya diri terlebih dahulu untuk mencari solusi atas kejadian yang terjadi sekarang.

"Kurasa, kita berdua harus lari dari rumah sakit ini." Katanya sambil melirik ke arah Nicholas. Dengan segera Richard membuang suntikan yang baru saja dia ambil dari tong sampah, lalu dia bergegas menuju ke tempat dimana Nicholas berada.

Richard berjalan mondar-mandir di depan ranjang pasien yang di tempati oleh Nicholas.

"Baiklah aku sudah memutuskan! Aku haru segera membawa Nicholas pergi dari sini!"