webnovel

Ragu Tapi Butuh

Eliza segera menghampiri Mia, "Kak, kok gak kasih kabar mau ke sini?"

"Tadi lagi ada urusan dekat sini, sekalian mampir saja."

"Ooh, masuk yuk Kak."

Mia mengikuti Eliza masuk ke dalam rumah, dia melihat ada gelas di ruang tamu. "Siapa tadi El?"

"Ooh itu sepupu teman aku, dokter internsip juga."

"Buat apa dia ke sini sendiri?"

"Tadi dia kira sepupunya main ke sini, ternyata gak ada. Makanya dia pergi lagi," ujar Eliza mengarang cerita.

"Dia gak masuk?" tanya Mia lagi sambil melirik gelas yang ada di meja.

"Masuk sebentar saja sih, cuma tanya sepupunya terus pergi lagi."

"Ooh…"

"Kakak mau minum?"

"Gak, gak usah. Oh ya kata Eric, besok kamu mau balik ke Jakarta?"

"Iya Kak, besok sore. Rencanya besok saya mau mampir ke rumah kasih kunci mobil sekalian kunci rumah."

"Ehmm, ya sudah. Terus nanti kamu ambil spesialisnya jadi di Jakarta?"

"Jadi Kak, biar dekat sama Bapak Ibu juga. Karena sudah lama jauh dari mereka."

"Ooh.., Eric juga bakalan balik sih. Gak betah dia di Jerman katanya."

"Oh ya? Kenapa dia gak cerita sama aku ya?"

"Kapan kalian komunikasi terkahir?"

"Tadi subuh, hampir tiap hari kok kita mengobrol."

"Hemmm, aku juga gak mengerti sama Eric. Susah banget disuruh terbuka tentang kesehatannya, ini juga aku tahu dari Mamah."

"Terus kesehatannya gimana sih Kak? Eric gak pernah cerita sama aku, dia hanya bilang kalau kondisinya sekarang lebih baik."

"Kata Mamah sih gak banyak berubah, padahal dia sudah kemo, sudah terapi yang lain juga. Eric minta pulang terus."

"Terus kapan dia mau balik ke Indonesia?"

"Mungkin awal bulan depan, nanti dia juga akan dirawat di Jakarta."

Eliza tidak menjawab lagi, pikirannya yang sempat tenang untuk beberapa waktu lalu kini menjadi kacau kembali.

***

Pulang dari rumah Eliza, Dirga langsung menuju rumah Karin. Kebetulan Karin juga sedang tidak kemana-mana. Begitu melihat mobil Dirga mesuk ke pekarangan rumah, Karin langsung ke luar.

"Halo cantik…" sapa Dirga dengan senyum penuh di wajahnya.

"Ada apa nih? Jangan bilang mau minta bantuan?"

"Ya ampun Rin, negatif melulu pikirannya."

"Biasanya kan begitu, kalau lagi baik pasti karena ada maunya," gerutu Karin.

"Enggaklah, aku mau ucapin terima kasih saja."

"Terima kasih buat apa?"

"Yak arena informasi kamu kemarin dong sayang…"

Jadi kemarin Karin mengabari Dirga tentang Eliza yang akan pulang ke Jakarta, dan juga memberikan alamat tempat tinggal Eliza pada Dirga.

"Sudah ketemu sama Eliza?"

"Sudah. Dan aku juga sudah dapat alamatnya di Jakarta, jadi bisa dibilang tahapan ini masih berkelanjutan Rin," ujar Dirga bahagia.

" Memangnya kamu bisa ke luar kota? Sekarang saja susah banget cari waktu buat ketemu."

"Bulan depan aku akan sering bolak-balik ke Jakarta. Jadi sekalian deh…"

"Hemmm, eh tapi bisa jadi peluang kamu dapatkan Eliza lebih besar loh."

"Besar gimana maksud kamu?"

"Jadi, kemarin itu aku banyak cerita sama Eliza tentang pasangannya. Ternyata pasangannya itu terkena kanker paru stadium lanjut."

"Oh ya? Terus…"

"Aku bilang sama Eliza, buat berpikir panjang. Dia masih muda, karirnya akan bagus apalagi dia sedang proses ambil spesialis, pastinya karirnya akan lebih baik lagi ke depan. Kalau dia memutuskan menunggu pasangannya sembuh, mau sampai kapan? Terus kalau dia tetap menikah dengan pasangannya itu, apa mungkin dia bisa fokus sama karirnya? Pasti enggak kan?"

"Terus Eliza bilang apa?"

"Dia gak bilang apa-apa sih, malah dia bilang gak ada terpikir untuk meninggalkan pasangannya. Tapi yang aku lihat, dia lagi bimbang. Ya kalau kamu pintar ambil jalan, kamu bisa masuk ke hidup Eliza lewat jalan ini."

"Ehmmm, kalau aku ambil jalan ini salah gak sih menurut kamu?"

"Aduh, jangan tanya itu dong Ga. Aku gak tahu…"

"Kenapa aku jadi gak tega sama pasangannya ya?"

"Terus mau mundur?"

"Ehmmm, ya jangan dong. Aku sudah merasa ketemu sama apa yang aku cari selama ini."

"Ah, kamu mah gak konsisten."

"Menurut kamu gimana? Kalau kamu ada di posisiku, kamu lanjut atau stop?"

"Ehmmm, lanjut saja. Sekalian kita lihat alur, kalau misalnya Eliza memberi jalan ya masuk."

"Oke, aku akan tetap lanjut. Terima kasih adikku sayang, kalau begitu akui pamit dulu ya…"

"Loh, gitu doang? Ucapan terima kasihnya gak pakai acara traktir atau apa gitu…"

"Sori sayangku, aku sudah ditunggu di kantor. Lain kali ya…"

Karin belum menjawab, Dirga sudah pergi saja.

***

Eliza masih memiliki waktu dua minggu sebelum dia mulai masuk masa pendidikan dokter spesialis. Dia banyak mengisi waktu dengan membaca dan pergi ke toko bukun untuk membeli segala buku yang berhubungan dengan paru. Tabungannya juga sudah mulai menipis karena membayar segala keperluan dengan biaya yang jumlahnya tidak sedikit.

Kemungkinan seiring waktu berjalan nanti, Eliza juga akan membutuhkan biaya yang banyak. Dia tidak mungkin bergantung pada orangtuanya terus, sehingga dia memutuskan untuk membuka praktik dokter di rumahnya sendiri.

"Kamu yakin mau buka praktik di rumah?" tanya Pak Budi ketika mereka sedang duduk di ruang keluarga.

"Iya Pak, karena kan nanti aku juga gak terlalu padat sekali jadwalnya. Masih bisalah 1 atau 2 jam untuk buka praktik di sore hari."

"Ya terserah kamu sih, kita dukung saja. Terus rencananya kamu buat dimana?"

"Di gudang samping rumah deh Pak, Eliza lihat ruangannya pas. Nanti biar Eliza cari orang untuk membersihkan dan menata menjadi layak ruang praktik."

"Ehmmm bagus juga sih," ujar Pak Budi mengangguk-angguk.

"Kamu masih punya uang untuk renovasi gudang dan melengkapi peralatan praktik dokter kamu nanti El?" sambung Ibu Fadila.

Eliza berpikir sesaat, tabungannya jelas tidak cukup untuk itu semua. Kalau harus meminta pada orangtuanya juga tidak enak. "Masih cukup kok Bu, masih ada," ujar Eliza berbohong.

"Yakin? Itu gak sedikit loh, untuh biaya pendaftran, biaya sekolah, belum biaya untuk beli ini dan itu lagi nanti. Kamu yakin masih punya uang?"

"Yakin Bu, aku sudah perhitungkan kok semua."

"Hemm ya sudah. Maksud Ibu kalau dana kamu sudah minim, Bapak sama Ibu ada tabungan sedikit. Kamu bisa pakai dulu."

"Iya Bu, nanti kalau dananya kurang aku pasti bilang kok."

"Gak usah sungkan ya El, kamu itu masih tanggung jawab Bapak dan Ibu kok."

Eliza mengangguk lemah, dia tidak ingin dirinya menjadi beban untuk orangtuanya lagi. Eliza berencana akan bicara pada Eric mengenai masalah ini, karena jauh-jauh hari Eric juga sudah setuju untuk membantu Eliza. Entah kenapa, masalah dana Eliza lebih terbuka pada Eric dibanding orangtuanya sendiri.