webnovel

Diperlakukan Sebagai Ratu

Eliza bangun sedikit lebih siang, karena tadi dia baru bisa tidur sekitar jam 3 dini hari. Dia melihat ke sekeliling, Eric sedang sarapan sendiri, Ibunya tidak ada.

"Ric…" panggil Eliza dengan pelan.

"Hei El, sudah bangun? Tidur jam berapa kemarin, tumben kamu bangun siang?" tanya Eric sembari tersenyum.

Eliza merasa malu, dia tersenyum, merapikan tempat tidurnya dan pergi ke kamar mandi. Eric juga tersenyum melihat Eliza salah tingkah. Saat ke luar kamar mandi, Ibu Eric belum juga datang. Eric masih sendiri di sana.

"Tante kemana Ric?"

"Tadi katanya mau beli sarapan."

"Sudah lama?"

"Ya sekitar 15 menit yang lalu…"

"Ooh, gimana keadaan kamu. Kelihatannya sudah segar, sudah bisa makan sendiri…"

"Ya gimana El, tungguin kamu buat suapin aku lama banget bangunnya, keburu lapar…" goda Eric sambil tersenyum.

"Iihh… apaan sih. Kemarin malam aku gak bisa tidur, baru tidur itu subuh. Makanya bangun kesiangan."

"Iya, bercanda kok sayang."

"Mau disuapin lagi gak?"

"Enggak, aku sudah kenyang. Oh ya El, gimana persiapan internship kamu? Kapan kamu berangkat ke Magelang?"

"Harusnya sih lusa ke sana, lihat lokasi sekalian cari tempat tinggal."

"Harusnya?"

"Iya, tapi kemarin Tante minta aku tinggal di rumah Tante yang di Magelang itu, yang di daerah Muntilan."

"Oh iya, bagus dong. Kamu tinggal di sana saja."

"Tapi aku gak enak Ric, aku gak mau merepotkan."

"Merepotkan siapa? Rumah itu juga kosong kok, paling Mamah suruh orang untuk bersihin tiap hari. Di sana nyaman kok El."

"Beneran gak apa-apa?"

"Ya enggak lah, sudah kamu tinggal di sana saja ya."

"Iya, makasih ya Ric. Kamu selalu bantuin aku kalau lagi kesusahan gini."

"Ngomong apa sih El, sudah sewajarnya kok."

"Tapi aku gak pernah bantuin kamu loh, kamu yang selalu ada saat aku butuh. Mulai dari awal aku kuliah sampai sekarang," ujar Eliza pelan.

"Apa sih El, aku saja gak ingat semua itu kok. Aku itu sayang banget sama kamu, aku gak mau kamu susah. Apapun akan aku lakukan untuk kamu El. Ini saja aku merasa gak berguna, karena aku pasti gak bisa ikut antar kamu nanti ke Magelang."

"Jangan gitu Ric, ini kan karena keadaan. Nanti kan kamu bisa datang ke sana kalau sudah baikan."

"El, seadainya sakitku ini parah gimana?"

"Ngomong apa sih Ric, engggak mau dengar kamu bicara seperti itu ah…"

"Seandainya… kan aku hanya berandai-andai. Seandainya aku sakit parah, kamu masih di sampingku kan?"

Eliza menatap mata Eric, "kamu akan baik-baik saja Ric, besok juga kamu pasti sembuh. Kalau kamu sakit, aku gimana? Kamu gak boleh sakit Ric…" ujar Eliza dengan mata yang berkaca-kaca.

Eric tersenyum dan mengelus rambut Eliza, "aku juga maunya seperti itu El. Aku mau sehat terus, supaya bisa menjaga kamu 24 jam. Tapi apapun nanti yang terjadi sama aku, kamu harus tetap di sampingku ya," pinta Eric dengan suara yang sangat lembut.

Eliza tersenyum dan mengangguk.

Ceklek… terdengar suara pintu terbuka, Eliza dan Eric menoleh kearah pintu bersamaan.

"Cie… yang sudah dijenguk dokter pribadinya, sudah segar saja nih… " kelakar Mia yang masuk dengan membawa bungkusan.

Eliza tersipu, apalagi posisi tangan Eric masih mengelus-elus rambutnya. Dia berdiri dan mundur.

"Sudah santai saja El, jangan pergi. Nanti aku habis diomelin si Eric lagi," tambah Mia.

Lagi, Eliza hanya tersenyum. Dia tahu Mia hanya bercanda. Dari cerita Eric, Mia itu memang suka bercanda tapi kalau sedang marah atau emosi, suka tidak terkontrol. Hal itu yang membuat Eliza tidak terlalu dekat dengan Mia, dia takut perkataan atau tindakannya membuat Mia marah nanti.

***

Sekitar jam 10 siang, Eric dapat kunjungan dari dokter spesialis dalam. Kebetulan Eliza mengenal dokter tersebut, salah satu dokter yang pernah membimbingnya ketika co-ass dulu. Dokter paruh baya itu tersenyum ketika melihat Eliza, kemudian melanjutkan pemeriksaaan. Setelah selesai, dokter tersebut memanggil Eliza untuk berbicara di luar.

"El, bisa ikut saya sebentar?"

"Oh iya Dok, boleh."

Eliza mengikuti dokter itu ke luar ruangan.

"El, kamu siapanya pasien?" tanya Dokter itu saat sampai di luar.

"Ehmmm, saya saudaranya Dok."

"Ohh, kamu tadi sudah dengar apa yang saya tanyakan pada pasien, dan bagaimana riwayat pasien kan?"

"Iya Dok."

"Kamu sudah bisa menyimpulkan dong, sakitnya kearah mana?"

Eliza mengangguk.

"Saya sih belum bisa kasih tahu pada pasien langsung, karena nanti juga masih di rujuk ke Dokter spesialis paru untuk lebih pastinya. Tapi saya minta kamu coba pelan-pelan kasih tahu dia, biar nanti gak kaget. Karena dia masih muda, takut nanti mentalnya belum siap terima, jadi tambah drop. Saya kasih tahu ini, karena kamu juga dokter, sudah lebih paham lah dibanding pasien itu sendiri."

"Iya Dok, aku juga sudah tebak sih sakitnya apa. Tapi semoga saja tidak terlalu parah."

"Ya semoga saja. Ya sudah, saya lanjut dulu ya."

"Iya, makasih ya Dok."

Eliza masih diam mematung. Dia membayangkan kondisi terburuk akan terjadi pada Eric, dia tidak bisa terima.

***

Senin pagi Eliza berangkat ke Magelang di antar oleh Mia. Eric bersihkeras tidak membiarkan Eliza berangkat sendiri. Eric terlalu khawatir Eliza tidak bisa sendiri, sementara Eric masih dalam pemulihan. Jam 9 pagi Eliza dan Mia sampai di Magelang. Mereka langsung ke rumah yang akan menjadi tempat tinggal Eliza dalam setahun ini.

Rumah itu terletak di tengah kota, tidak terlalu besar tapi cukup nyaman. Perabotannya juga lengkap, semua terlihat terawat.

"El, anggap saja seperti rumah kamu sendiri ya. Masalah bersih-bersih gak usah dipikirin, karena setiap hari ada yang datang buat bersihin dalam dan pekarangan rumah. Di sini aman kok, gak takut kan tinggal sendiri?"

"Enggak Kak, nyaman kok."

"Bagus deh, terus…" Mia merogoh sesuatu dari tasnya, "ini kunci mobil dan STNK, kamu pakai ini saja kalau mau kemana-mana," tambah Mia lagi.

"Hah? Ini…" Eliza terkejut.

"Iya, ini mobil Eric. Dia yang suruh tadi kasih mobil ini buat kamu."

"Terus Kakak pulang naik apa?"

"Gampang, nanti aku naik taksi online saja."

Eliza tidak bisa berkata-kata lagi, Eric dan kelurganya benar-benar memperlakukannya dengan baik. Bahkan sudah sangat baik. Eliza tidak tahu lagi harus berkata apa, dia merasa tidak akan mampu membalsanya.

"Ya sudah El, aku pulang dulu ya. Kalau misalnya ada gangguan atau kamu kurang sesuatu, kamu bilang saja sama Ibu yang bersih-bersih di sini, itu di dapur ada nomor kontaknya."

"Oh iya Kak, makasih banyak ya Kak."

"Iya, gak usah sungkan. Santai saja."