webnovel

syarat jatuh cinta

Ivana11 · Teen
Not enough ratings
10 Chs

mimpi buruk

Senyum rangga mengembang ketika ia menemukan selin yang berdiri di depan kelasnya. Walaupun ia tahu, ia akan mati di tangan selin. Tetapi rangga tidak tahan untuk mengganggunya lagi.

Selin yang sedang kesal, membuatnya hampir berteriak karena ada seseorang meniup lubang telinganya. Namun, wangi yang tak asing baginya, ia langsung menoleh cepat. Rangga pun tersenyum bahgia, matanya pun hingga terpejam.

Tanpa sempat rangga mengelak, rambutnya telah berada di tangn selin. Selin pun lupa akan hukuman yang ia jalani, fokusnya hanya ingin menyiksa rangga.

"Rangga kamu nyebelin! Kurang ajar! Gara gara kamu aku nggak ikut ulangan matematika!"

"aduhh, iya maaf! Ampun lin, lin ampunin gue, km mau buat aku botak?"

"bodo amat! Syukur bisa botak!!"

"jangan nanti aku jelek."

"udah jelek dari lahir!!"

"eee.... tapi, jelek-jelek giini kamu juga sayang." Mendengar kalimat yang diucapkan rangga, membuar selin semakin ingin membunuh rangga.

Tanpa mereka sadari, kegaduhan mereka mengundang para guru yang sedang mengajar untuk keluar dari kelas. Kerana mereka berada tepat di depan kelas selin, maka wajah menyeramkan bu rina lah yang pertama kali terlihat.

"hmm" dehaman keras dari bu rina membuat keduanya tersadar. Selin segera melepaskan jambakannya dari kepala rangga.

Setelah selin melespaskan, rangga pun Rangga meringis kecil merasakan kepalanya yang berdenyut.

"Tadi saya nyuruh kamu apa, selin?" Suara dingin Bu rina otomatis membuat selin mengangkat kembali kedua tangannya.

"Ma ... af, Bu."

"Ada apa ini, Bu?" tanya Bu Dilara, guru Sosiologi yang sedang mengajar di kelas sebelah. Namun, raut herannya seketika berubah maklum saat menemukan Rangga berdiri di samping selin.

"Rangga, ngapain kamu di sini?" Bu Dilara menatap Rangga, anak walinya yang sudah mendapat masalah lebih dari sepuluh kali selama sebulan ini.

"Nemenin selin, Bu," sahut Rangga dengan ringan.

"Nemenin Iris ngapain? Dihukum?"

"Iya Bu, kasihan Iris kalau sendirian, nanti kesepian." Rangga menjawab polos, lantas kedua tangannya ikut ia ulurkan ke atas selin memejamkan matanya pasrah.

"Bu rina, permisi, boleh dua anak ini saya yang urus?" izin Bu Dilara yang langsung dihadiahi anggukan oleh Bu rina.

selin tidak tahu harus bersyukur atau justru sedih. Bu Dilara mempunyai hati yang jauh lebih hangat daripada wanita berwajah masam di depannya. Namun, keberadaan Rangga di sebelahnya sama sekali tidak menjamin keselamatan hidup selin. Sebaliknya, cowok itu membawa malapetaka dalam urusan hukuman.

"Rangga, selin, ikuti saya."

"Baik, Bu." Iris menurunkan tangannya, lalu berjalan lesu mengekor Bu Dilara.

Sementara itu, Rangga justru tersenyum puas. Setidaknya, selama sehari penuh ia akan berada di dekat selin.

Benar dugaan selin, diseret Bu Dilara sama sekali tidak membawanya pada keberuntungan. Membersihkan toilet berdua dengan Rangga adalah hukuman terakhir yang Iris inginkan.

Bukan hanya bau pesing toilet yang menyiksanya, tapi juga coretan- coretan di bilik toilet cewek.

Petugas tadika mesra mungkin rajin menghapus tulisan-tulisan tersebut dengan tinner, tapi tetap saja, tak ada yang bisa menjamin bahwa tembok toilet bebas coretan hari ini.

selin menghela napas berat, teringat dengan kata makian yang berbaris dengan namanya di dalam sana.

"Ayo Selin , kita harus semangat!" Rangga mengangkat ember dan pel di tangannya, membuat selin tersadar. Ia menghembuskan nafas dengan keras lalu mendelik ke arah Rangga.

"Lo di toilet cowok, gue di toilet cewek." selin melirik toilet cowok dengan pandangan horor.

"Gue mau ke toilet cewek juga, lo juga harus bantuin gue di toilet cowok." selin merentangkan kedua tangannya dengan sigap, membuat sebelah alis Rangga naik.

"Nggak!" selin berseru panik. "Ini toilet cewek, Ga, mana boleh cowok masuk toilet cewek!"

selin tahu, alasannya sama sekali tidak membantu, karena setiap kali toilet dibersihkan, siswa memang dilarang masuk. Biasanya, mereka akan dialihkan pada toilet di lantai yang lain.

Rangga mengangkat sebelah alisnya, lalu tertawa geli.

"lis, lo lupa ya? Gue udah sering dihukum ngebersihin toiler termasuk toilet cewek."

"Oke, gue bantuin lo, asal lo nggak masuk toilet cewek." Dahi Rangga makin berkerut, nyaris mustahil selin mau berkorban begini.

"Yaelah, memang kenapa, sih? Masa, iya, udah dihukum masih harus pisah juga? Cukup ruang kelas yang memisahkan kita, bilik toilet jangan."

Pada situasi normal, selin pasti sudah menjulurkan lidahnya, mau muntah. Namun, kali ini selin hanya menggigit bibirnya berusaha mencari alasan, tapi hanya satu alasan yang masuk akal.

"Di dalam toilet cewek, kan, banyak bekas itu ."

"Bekas itu apaan?"

"Itu loh .."

"Itu apaan?" tanya Rangga makin tidak sabar.

"Ih, roti Jepang, Rangga!" Wajah selin sontak memerah karena kalimatnya sendiri. Rangga akhirnya tertawa keras.

"Ya amplop, yeay kira gue nggak tahu yang begituan? Itu mah tiap dapet, nyuruh gue yang beliin."

"Bodo amat, pokoknya kalau sampe lo masuk, gue bakal minta nomor Kak saga!" kalimat selin membuat Rangga sontak berbalik, Saga yang selin maksud adalah teman seangkatan Rangga, yang kebetulan satu SMP dengan selin. Yang kebetulan juga, selin taksir waktu SMP. Yang kebetulan lagi, nih, jauh lebih pintar daripada Rangga, lebih kalem, dan lebih segala-galanya.

Gimana Rangga nggak sewot?!

"Hm," cowok itu mengelus dagunya, pura-pura berpikir. "Kalau gitu, jangan heran ya, kalau si Saga-Saga itu muntah paku besoknya? Yaaa, minimal banget nih, roda vespanya ilang, deh."

"Ck, kenapa ngomong ama lo susah, sih?!" selin berseru gemas, cewek itu sampai mengentak-entakkan kakinya di atas lantai.

"Gampang, kok, dari tadi juga lo ngomong sama gue."

"Rangga nyebelin banget siiih!"

Rangga menyengir lucu. "Kan, udah aku bilang sayang, yang nyebelin itu yang ngangenin."

Selin menjambaki rambutnya, semakin frustrasi.

"Menyebalkan memang!"

Dia cewek, tapi tidak pernah menang argumen dengan cowok satu ini. Melihat Iris yang semakin kesal, Rangga pun tersenyum puas.

Cukup untuk hari ini.

"Iya udah, gue di toilet cowok, lo di toilet cewek, ya."

Selin mengangkat kepalanya dramatis, sedikit terharu karena akhirnya Rangga mengalah.

"Dan..." Rangga menggantung kalimatnya sejenak, sebelum melanjutkannya dengan serius, "jangan pernah bawa-bawa Saga atau siapa pun itu, gue nggak suka.

"Tak ada kemarahan, seluruh kalimat yang Rangga katakan terdengar lembut membelai telinga selin. Sebelum masuk ke toilet cowok, Rangga menyempatkan diri mengacak-acak rambut selin.

"Nggak ngerti lagi, kenapa coba gue bisa sayang sama nenek lampir kayak lo."

Mendengar ocehan Rangga, selin menekuk bibirnya. Namun, senyumnya tak pelak mengembang setelah cowok itu hilang di balik pintu. Kalimat Rangga barusan semacam penyemangat untuk Iris dalam menghadapi tekanan-tekanan berikutnya.

Selamat menatap pintu toilet di hadapannya, lalu mengembuskan napas pelan.

Selamat datang di mimpi buruk, selin!...