webnovel

Swords Of Resistance: Endless War [Indonesia]

Sebuah kisah fantasi di Alam Semesta paralel tentang pertarungan politik dari para Raja dan Penguasa. Dimulai dari peperangan, intrik politik, hingga drama kehidupan. Cerita ini hanya fiksi belaka. Kesamaan nama tokoh, tempat, kejadian, dan sebagainya hanyalah kebetulan dan atau terinspirasi dari hal-hal tersebut.

VLADSYARIF · Fantasy
Not enough ratings
96 Chs

Bab 65, Terjebak Di Tengah Hutan

Satu minggu pasca penembakan di Den Haag. Simone menghampiri Vivi dan memeluk anak tirinya. "Maafkan aku Vivi yang baru bertemu denganmu. Aku ada urusan dengan keluargaku, sehingga aku baru sempat mampir ke makam Juliette dan bertemu denganmu."

"Sudahlah, tidak apa-apa. Aku sudah ikhlas akan kepergian ibuku. Kau juga harus ikhlas dengan ayahmu dan juga ibuku," balas Vivi.

"Aku sudah mengikhlaskan kepergian mereka dan aku berharap mereka semua diberikan tempat terbaik oleh Tuhan. Aku juga minta maaf, karena aku akan tinggal di Berlin dengan Athena."

Vivi tersenyum tipis mendengarnya, "Sudah sewajarnya kau tinggal dengan Puteri Athena, mengingat dia adalah anak kandungmu sendiri. Dia sangat membutuhkan kehadiran dirimu, Mom."

"Yah, kau benar, Vivi. Aku sudah menjadi ibu yang buruk," kata Simone dengan ekspresi wajah penuh penyesalan.

"Namun bagiku kau adalah ibu yang baik setelah ibuku," puji Vivi seraya membelai lembut wajah cantik Simone.

"Mungkin sudah saatnya aku bertindak sebagai seorang ibu yang baik."

"Tidak ada kata terlambat. Terlebih aku dengar kau akan mengadopsi dua dari empat Anak Kanselir Leopold yang dikandung oleh Nyonya Elizabeth."

"Yah, begitulah. Aku akan menjadi seorang ibu, walaupun hanya sebagai ibu tiri."

"Tapi kau bukanlah ibu tiri yang jahat seperti dalam kisah Cinderella."

"Terima kasih, Vivi. Terima kasih telah menjadi anak yang hebat. Aku sangat senang kau mau menerimaku sebagai ibu tiri."

"Terima kasih juga untukmu, Mom. Yang telah menyusuiku, membelajariku banyak hal, dan menemani ibuku hingga saat terakhirnya," balas Vivi tersenyum lebar menatap Simone.

Brigadir Jenderal Frederick Edward berjalan menghampiri Simone dan Vivi yang tengah berpelukan. "Aku benar-benar turut berduka cita atas tragedi yang menimpa kalian berdua. Terlebih khususnya Simone, di mana kau kehilangan Ayah yang kau sayangi, dan pendamping hidup yang kau cinta. Semoga Tuhan memberikan tempat terbaik untuk mereka berdua."

"Terima kasih, Brigadir Jenderal."

"Aku dengar kau akan tinggal di Berlin dengan Athena. Yah, aku rasa sudah sepantasnya kau hidup dengan anak kandungmu. Dia sangat membutuhkan kasih sayangmu, setelah dia selama delapan belas tahun hidup dalam didikan keras Puteri Juliana Battenberg. Untuk Vivi, kau tak perlu mengkhawatirkannya. Aku dan Monica sudah mengangkatnya sebagai anak. Jadi tak perlu khawatir dengan Vivi." Brigadir Jenderal Frederick Edward memegang pundak Vivi. "Kau tak perlu canggung denganku dan istriku. Mengingat sekarang aku adalah ayahmu dan Monica adalah ibumu."

"Tapi, kau adalah atasanku," balas Vivi dengan ekspresi wajah yang terlihat polos.

"Yang penting kau bisa memposisikan dirimu dengan profesional. Atau kau juga bisa ikut dengan Simone. Mengingat sebenarnya Simone dan kakakku masih terikat dalam ikatan pernikahan. Bukankah Kanselir Leopold jauh lebih cocok untuk menjadi ayahmu, daripada diriku." Brigadir Jenderal Frederick Edward tersenyum menatap Simone.

Simone tahu bahwa senyuman itu senyuman yang mengejek dirinya. Di mana Brigadir Jenderal Frederick Edward menganggap bahwa Simone adalah orang ketiga dalam rumah tangga Kanselir Leopold.

"Aku tahu bahwa sebenarnya kalian masih saling suka dan terlibat hubungan cinta segitiga. Bukankah Elizabeth menganggapmu seperti adiknya sendiri. Pasti enak yah, punya kakak yang sangat penyayang seperti Elizabeth. Mengingat Perempuan Huguenot itu juga sudah aku anggap seperti kakakku sendiri dan aku sering mengirimnya uang untuk keperluan Charla dan Charlamagne. Dua keponakan yang sangat aku sayangi."

"Bagaimana Vivi? Apakah kau mau ikut dengan Ayah barumu atau diriku?" tanya Simone memegang kedua pundak Anak Tirinya.

"Jangan khawatir denganku. Aku bisa mengajukan mutasi untukmu. Kau harus melangkah lebih jauh untuk membuat ibu kandung dan juga ayahmu bahagia akan segala pencapaianmu. Aku percaya kau bisa sampai ke Berlin dengan baik. Jangan khawatir. Karirmu bisa semakin bagus jika kau menikah dengan para Bangsawan ataupun Politikus dan Pebisnis. Kau masih muda dan jalanmu masih sama panjangnya denganku. Aku berkata demikian, bukan berarti aku mau mengusirmu. Sebagai atasanmu, aku juga ingin kau memiliki karir yang bagus," jelas Brigadir Jenderal Frederick Edward.

"Aku akan memikirkannya dengan matang, Brigadir Jenderal," balas Vivi.

"Baiklah, aku pergi dulu ke Berlin. Athena dan yang lainnya tengah menunggu kedatanganku." Simone mencium kening Vivi.

"Hati-hati di jalan, Mom," kata Vivi menatap kepergian Simone.

.

.

Simone memasuki kereta api dari arah Bonn menuju ke Berlin. Dia duduk di kursi dekat jendela sambil menyenderkan badannya, sementara di samping dan di depannya adalah tiga Anak perempuan yang dilihat dari usianya adalah para Mahasiswa. Ketiga Mahasiswa tersebut terlihat tengah membicarakan rencana mereka ke depannya setelah lulus. Ada yang ingin bekerja di instansi Pemerintah, ada yang ingin berbisnis, dan ada juga yang ingin merantau ke wilayah Hindia Belanda untuk menjadi Guru di sana.

"Anak-anak dengan masa depan yang cerah," gumam Simone tersenyum tipis memperhatikan ketiga Mahasiswa tersebut.

Perempuan berambut pendek berwarna merah dan bermata biru yang duduk di samping Simone meliriknya, "Bolehkah kita saling mengenal. Namaku Christine Louise Daschner. Aku adalah Mahasiswa semester akhir dari Universitas Bonn. Sedangkan ini temanku, namanya Dorota Silwia Walkowicz, dan yang ini Silvia Ernest Steinhäuser."

"Dorota Walkowicz, bisa dipanggil Dorota," kata perempuan berkacamata dengan rambut hitamnya yang lurus yang panjang yang duduk di depan Simone.

"Silvia Ernest Steinhäuser, bisa dipanggil Silviastein" kata perempuan berambut pirang pendek yang duduk di samping Dorota.

"Namaku Aphrodite Louise Simone Wilhelmina van den Bosch, bisa dipanggil Simone," balas Simone tersenyum ramah kepada ketiga Mahasiswa tersebut.

"Bukankah, Nyonya Simone itu ibu kandung dari Puteri Athena," kata Dorota.

"Yah, aku ibu kandungnya. Aku ingin pulang ke Berlin dan hidup dengan anakku. Terlebih istri pertama Kanselir Leopold sedang hamil tua dan dia meminta kepadaku untuk anak yang tengah dia kandung. Aku tak menyangka akan menjadi ibu kembali dan aku benar-benar senang," ungkap Simone.

"Padahal usiamu itu empat puluh tahun. Namun kau terlihat cantik dan anggun layaknya anak remaja," puji Christine.

"Benarkah aku berusia empat puluh tahun. Padahal usiaku masih tujuh belas tahun," kata Simone sedikit tertawa dan diikuti tawa ketiga Mahasiswa tersebut.

"Ah, Nyonya Simone bisa saja," kata Silviastein. "Kira-kira apa rahasia awet mudamu? Aku benar-benar penasaran."

"Yang penting makan makanan yang bergizi, dan sehat, rajin olah raga, serta jangan terlalu banyak pikiran. Dan juga bertindaklah layaknya anak muda walaupun usiamu sudah tidak muda. Aku sering bermain dan berkumpul dengan anak-anak muda di Monschau. Sehingga kebanyakan orang mengiraku masih muda."

"Saran dari Countess Simone memang wajib dicoba," kata Dorota dengan penuh optimisme.

Menembus gelapnya malam, kereta dari Bonn itu berjalan menuju Berlin. Suasana di dalam kereta api begitu hangat dengan banyaknya orang yang saling kenal dan saling berbagi cerita walaupun mereka baru pertama kali bertemu. Ada orang-orang yang berbagi kisah tentang percintaan, bahkan sampai urusan rumah tangga.

Simone tengah duduk terdiam merenungi tentang perjalanan hidupnya selama empat puluh tahun. Sementara ketiga Mahasiswa yang duduk di sekitarnya tengah sibuk dengan perangkat elektronik mereka masing-masing. Christine tengah membaca sebuah artikel, sementara Dorota, dan Silviastein tengah sibuk bermain game.

"Beruntungnya mereka yang memiliki masa muda yang indah. Di mana mereka menjalani dunia yang penuh kebebasan tanpa adanya beban psikologi yang berat," gumamnya memperhatikan ketiga Mahasiswa tersebut.

Simone memperhatikan seorang Lelaki yang masih muda yang merupakan salah seorang Petugas Kereta Api. Terlihat dari wajahnya, Pemuda tersebut sangat kelelahan. "Sepertinya orang itu terlihat kelelahan. Mungkin dia tengah kerja lembur menggantikan temannya yang tidak masuk. Semoga pemuda itu tetap sabar dan memberikan pelayanan terbaik."

Simone mengeluarkan sebuah botol minuman yang berisikan susu cokelat dari dalam tasnya. "Hey, kau Petugas Kereta Api, kemarilah."

Pemuda itu menatap Simone dengan wajah bingungnya. Dia lalu menghampirinya, dan bertanya, "Ada apa, Nyonya?"

Simone memberikan sebotol minuman yang terbuat dari ramuan tradisional. "Kau pasti sangat kelelahan dalam menjalani kerja lembur ini. Minumlah, agar kau bisa memberikan pelayanan terbaik bagi para Penumpang Kereta Api."

"Terima kasih, Nyonya," kata Pemuda itu.

Kereta Api perlahan berhenti mengingat di jalur Kereta Api Dreitälerblick tertutup oleh longsoran tanah.

Pemuda yang bernama Torsten Schellscheidt itu segera bergegas menuju ke ruangan Masinis. "Apa yang terjadi?"

"Kenapa berhenti?" tanya Dorota.

"Katanya ada longsor," jawab Silviastein.

Simone merasa heran adanya longsor di kawasan Dreitälerblick, mengingat di sini hutannya masih sangat terjaga. Selain itu, sebelumnya dia merasakan adanya aktifitas sihir hitam di sekitar kawasan tersebut, tepatnya empat kilometer sebelum kereta api yang tengah dia tumpangi berhenti.

Orang-orang yang penasaran membuka kacanya. Terlihat di depan longsoran batu, tanah yang disertai pohon menutup jalur kereta api.

Dariusz Trzeciak, Sang Masinis Kereta Api, tengah menghubungi Pos terdekat. "Aku Dariusz Trzeciak. Masinis dari kereta api Bonn-Berlin. Jalur Kereta Api Dreitälerblick, tertutup oleh longsor sepanjang dua puluh meter."

"Baiklah, kami akan segera menuju ke lokasi dalam waktu lima belas menit."

Dariusz menghembuskan nafasnya dengan penuh rasa lega sebagai bentuk rasa syukur atas respon cepat dari Pos Harztor. "Syukurlah, Pos Hartzor merespon dengan sangat cepat."

Di luar ruangan masinis terdengar suara keributan. Di dengar dari suaranya itu suara Torsten tengah ribut dengan salah seseorang. Pintu ruangan masinis dibuka secara paksa dan dua orang bersenjata sambil menenteng tubuh Torsten yang babak belur dan mereka berdua menodongkan senjata ke arah Dariusz.

"Angkat tanganmu!" perintah salah seorang Lelaki berbadan kekar berambut cokelat kemerahan dan bermata biru yang bernama Luis Kleinmann.

Dariusz hanya bisa menuruti perintah orang tersebut. Sementara Torsten yang tergeletak di bawah, tubuhnya tengah diinjak oleh seorang lelaki berkulir putih pucat, dengan matanya yang memancarkan cahaya berwarna biru gelap dan berkepala botak yang merupakan rekan dari Luis Kleinmann. Dia adalah seorang vampir bernama Eraric Sarkis Karmarian.

Eraric berjalan menghampiri Dariusz dan memukul kepalanya dengan senapan M-16 sehingga membuatnya jatuh tersungkur.

"Yang penting kau jangan membunuhnya, Eraric," kata Luis.

"Jangan khawatir, Luis," balas Eraric dengan nada dingin.

Perlahan di sekitar kereta muncul kabut yang begitu tebal dan suasanapun mendadak menjadi dingin. Suara lolongan serigala terdengar begitu menggema dan saling bersahutan sehingga membuat atmosfer menjadi semakin mencekam dna horror.

"Ibu, aku takut," kata salah seorang anak lelaki yang masih kecil seraya memeluk ibunya.

"Jangan khawatir, Nak. Semua akan baik-baik saja," kata sang ibu menenangkan anaknya yang ketakutan.

Dorota melepas kacamatanya dan memperhatikan keadaan sekitarnya. Matanya memancarkan cahaya berwarna biru langit, sedangkan kulitnya menjadi semakin putih dan pucat layaknya sebuah mayat.

"Jadi kau adalah seorang vampir, yah," kata Simone.

"Aku sudah tidak sabar ingin menghabisi para werewolf sialan itu!" tegas Dorota.

"Kita harus tenang, Dorota. Mengingat musuh bukanlah sembarangan orang. Minimalnya kita harus menunggu Tentara untuk menyelamatkan kita. Aku tahu kau tidak sabar. Tapi kau harus mengetahui kondisi di sekitar kita," kata Simone menenangkan Dorota.

"Mereka bukanlah Werewolf, tetapi Chimera. Mengingat Hesse, Polandia, Bavaria, Swabia, dan Inggris tengah melakukan pengembangan Chimera," kata Silviastein menunjukkan punggung tangan kanannya yang dipenuhi oleh bulu yang begitu lebat dan tebal, yang merupakan ciri khas dari Ras Werewolf.

"Aku tidak menyangka bahwa selama ini kau adalah Werewolf, Silvia." Dorota tersenyum tipis memperhatikan keadaan fisik Silviastein.

"Front Saxon telah membunuh pamanku dalam sebuah insiden di Braunschweig. Dengan bertemu mereka di sini. Aku akan membalaskan dendam kematian pamanku!" Tatapan mata yang tajam dan penuh amarah Silvia terlihat cukup mengerikan. Tubuhnya terlihat begitu bergertar seperti tengah bersiap-siap untuk membunuh para musuhnya.