Maximilian dan Maria yang telah berjalan kaki sepanjang puluhan kilometer, berhenti di tepi sungai yang airnya begitu jernih untuk beristirahat, mengingat hari mulai gelap, dan hawanya mulai dingin.
"Aku merasa bersyukur kau mau menemaniku menjalankan misi ini ke pedalaman Aceh," kata Maximilian yang sedang merakit tenda untuk kekasihnya.
"Aku merasa tidak cocok di Medan. Jadi, aku ingin ikut kau menjalankan misi ini," balas Maria yang sedang mengumpulkan ranting untuk dijadikan api unggun.
Maria dan Maximilian duduk di dekat api unggun sambil membakar jagung dan ikan.
"Walaupun aku tidak pernah ikut kepanduan. Namun aku sering bersama Ayah, Athena, dan Beatrix hidup di alam liar ketika masih kecil. Ayahku tidak segan-segan meninggalkan kami untuk bertahan hidup selama satu minggu di hutan."
[Kata Kepanduan di sini bermakna Pramuka.]
"Padahal menyenangkan ikut kepanduan. Bukan hanya pengalaman di alam, namun kau bisa memiliki banyak teman, dan kenalan," kata Maria.
"Aku tidak begitu tertarik dengan kepanduan," balas Maximilian dengan ekspresi wajah bosannya. "Aku lebih suka dengan berkuda dan menjelajahi hutan. Kau tak harus menjadi anggota kepanduan untuk menjelajahi alam."
"Yah, kau ada benarnya juga," kata Maria.
Maria menatap ke arah barat laut, tepatnya ke arah hutan pinus yang lebat dan gelap gulita. Dia mendengar suara kepakan sayap yang berasal dari arah barat laut.
"Kau merasakan kedatangan mereka, yah," kata Maximilian. "Mi-go ini benar-benar meresahkan, dan telah membunuh banyak dari Orang di kawasan ini."
[Mi-go, makhluk dalam Mitologi Kthulhu karya H. P. Lovecraft yang berbentuk seperti serangga bersayap, dengan kepalanya yang berbentuk jamur, sedangkan capitnya berbentuk seperti kepiting. Bisa dikatakan Mi-go adalah perpaduan antara Kepiting, Jamur dan Serangga bersayap.]
Dari arah barat laut, puluhan ekor mi-go yang terbang melewati pepohonan yang berdaun rindang, tinggi dan gelap.
Maximilian menembakkan kilatan petir berwarna hitam untuk memusnahkan gerombolan Mi-go yang dia lihat. Tubuh mereka hancur lebur ketika kilatan petir hitam itu menyambar mereka. Maria mengendalikan air sungai dan mengubah air sungai tersebut menjadi puluhan tombak es yang menusuk para mi-go. Gerombolan mi-go telah mati dan tubuh mereka segera lenyap ketika mereka berhadapan dengan Maximilian dan Maria.
"Walaupun mereka berjumlah puluhan, namun mereka cukup merepotkan sebenarnya," kata Maximilian menyerang para mi-go yang tersisa dengan kilatan petir hitam, sambil menyantap jagung bakar.
"Apakah kita akan bermalam di sini atau melanjutkan perjalanan?" tanya Maria.
"Kita akan melanjutkan perjalanan. Dan untuk serangan mi-go. Anggap saja mereka adalah para monster yang selalu menyerang para Petualang, seperti yang terjadi dalam kisah-kisah di novel, manga ataupun anime," jawab Maximilian.
"Bagaimana jika aku membuat sebuah bongkahan es dan menelusuri sungai ini dengan menaikinya?" usul Maria kepada kekasihnya.
"Terlalu mencurigakan, mengingat kita sedang berada di wilayah tropis yang tidak memiliki musim dingin apalagi es dan salju. Akan sangat merepotkan jika kita berhadapan dengan Tentara Aceh. Misi kita di sini adalah untuk membunuh Valmor Muslimi yang bersembunyi di pedalaman Aceh."
"Kenapa kau baru menjelaskan misi kita sekarang? Kenapa tidak dari awal?" tanya Maria yang terlihat sedikit kesal.
"Aku diperintahkan untuk menjelaskan misi ini ketika memasuki wilayah Aceh," jawab Maximilian dengan santai.
Sepasang kekasih itu berjalan menyusuri hutan Aceh yang begitu gelap gulita, dan bernuansa mencekam. Baik Maximilian maupun Maria, mereka berdua memiliki kemampuan pendengaran yang begitu tajam serta kemampuan sensor yang kuat, sehingga mereka bisa bergerak tanpa harus mengandalkan penglihatan mereka.
Suara tawa perempuan yang melengking terdengar begitu keras ketika Maximilian dan Maria berjalan di atas rawa yang gelap. Di pepohonan di sekitar rawa tersebut muncul burong, sesosok kuntilanak asli Aceh. Mereka adalah segerombolan iblis perempuan berpakaian serba putih dengan bercak merah darah, dengan rambutnya yang panjang terurai berwarna hitam legam.
Para burong berdiri menatap Maximilian dan Maria yang berjalan di atas rawa yang merupakan wilayah Kerajaan mereka.
Maximilian menghentikan langkah kakinya, begitupula dengan Maria yang ikut berhenti. Di hadapan Maximilian. Burong berwarna merah darah dan berukuran besar berdiri di hadapannya. Dia tertawa dengan suara yang melengking dengan tatapan matanya yang tajam.
"Kalian berdua cukup berani melewati Kerajaanku tanpa izin," kata sang Ratu Burong.
"Kami hanya ingin lewat dan tidak ada niatan buruk untuk mengganggu kalian," balas Maximilian. "Jadi, Yang Mulia Ratu Burong. Izinkan kami melewati Kerajaan kalian."
Ratu burong tertawa dengan keras mengejek kedua pemuda-pemudi berdarah biru tersebut. "Bagaimana jika aku menolak?"
Maria menodongkan pedangnya ke arah ratu burong. "Mari kita bertarung sebagai sesama bangsawan perempuan," jawab Maria menatapnya dengan tajam.
Seketika para burong segera menghampiri mereka berdua dan mengepungnya.
"Kalian semua. Jangan ganggu aku. Ini adalah pertempuran antara dua perempuan," tegas sang Ratu kepada seluruh bawahannya.
Ratu Burong segera menyerang Maria. Ratu burong memiliki kemampuan untuk memanjangkan kukunya dan menyerang lawannya. Maria menangkis serangan sang Ratu dengan pedangnya. Ratu Burong menghempaskan Maria hingga dia terpental sejauh belasan meter. Namun yang dihempaskan oleh Ratu burong hanyalah bayangan es dari Maria.
Maria berdiri di belakang Ratu Burong dengan menodongkan pedangnya ke arah leher sang Ratu. "Kau bergerak sedikit. Maka aku akan membunuhmu."
Para Burong terlihat marah. Mereka segera mendekati Maximilian dan Maria, dan bersiap untuk menyerang kedua Manusia tersebut.
"Tenanglah semua," kata sang Ratu Burong untuk menenangkan seluruh Rakyatnya. "Biarkan mereka berdua lewat. Ayo kembali." Sang Ratu Burong perlahan menghilang dari pandangan Maria dan Maximilian. Ratusan burong yang mengelilingi Maximilian dan Maria secara perlahan ikut menghilang.
"Kalian berdua memiliki kesungguhan, dan keberanian yang hebat. Silahkan lanjutkan perjalanan kalian," suara sang Ratu Burong terdengar begitu lembut walaupun terasa dingin.
Maximilian dan Maria menunduk hormat ke sekeliling mereka.
"Terima kasih, Yang Mulia Ratu, dan Rakyatnya. Semoga kebaikan menyertai kalian semua," kata mereka berdua secara bersamaan.
Setelah memberikan hormat kepada penguasa dan penduduk burong di rawa gelap. Mereka berdua melanjutkan perjalanannya menuju ke arah barat pedalaman Aceh.
Mereka berdua tiba di atas sebuah bukit dengan sebuah pembangkit listrik tenaga uap berukuran kecil yang berdiri dengan begitu kokohnya untuk menerangi kampung tersebut. Di bawah bukit tersebut, berdiri sebuah perkampungan yang bercahaya terang.
"Berdasarkan informasi dari Dinas Intelijen Aceh, Valmor Muslimi bersembunyi di kampung tersebut," kata Maximilian yang tengah mengawasi kampung Jafar dengan menggunakan teropong. "Sejauh mata memandang yang kau lihat adalah perkebunan opium dengan kualitas yang baik. Aku tak menyangka Valmor Muslimi yang diburu oleh Pemerintah Serbia akan mengasingkan diri di Aceh, sekaligus membangun kerajaan bisnis-nya."
Dari atas bukit, Maximilian melihat ada banyak orang yang menjaga perkebunan opium tersebut. Mereka terlihat sangat gagah dengan dilengkapi perlengkapan militer yang komplit, dan bersenjata berat layaknya Tentara di Negara-negara Europa.
"Perdagangan opium dilakukan secara ilegal sehingga harga di pasar gelap sangatlah tinggi. Karena ulah mereka, banyak orang-orang yang terjerat dalam lingkaran setan yang tiada akhir," kata Maximilian.
Mereka berdua berjalan menuruni perbukitan. Setiap kali orang bersenjata yang ditemui oleh mereka berdua, akan segera dilumpuhkan. Seorang Penjaga telah dilumpuhkan oleh Maria dan orang tersebut dibuat mengalami kedinginan hingga kulitnya membiru karena tak tahan dengan dingin di bawah titik beku.
Seorang Penjaga yang melihat rekannya dibekukan oleh Maria, segera melepaskan tembakannya ke arah kedua penyusup tersebut.
Maximilian segera menjentikkan jarinya dan mengeluarkan api berwarna biru yang menyambar dua orang penjaga yang tengah terlibat baku tembak dengan mereka. Kobaran api biru tersebut juga membakar beberapa rumah penduduk. Suara sirine berbunyi dengan sangat keras. Para Penduduk kampung tersebut segera bangun dan mengambil senjata AK-47 mereka.
Valmor Muslimi yang tengah melukis dibuat kaget akan suara sirine yang begitu kerasnya. Salah seorang Pemuda Gayo berjalan menghampir Lelaki Albania berbadan tinggi besar juga kekar, berkulit putih pucat, dengan jenggotnya yang panjang, dan lebat.
"Tuan Valmor. Kita diserang oleh musuh."
"Kenapa kau kemari? Di mana senjatamu?" tanya Valmor yang masih sibuk dengan aktifitas melukisnya.
Pertanyaan yang dilontarkan Pemuda dari etnis Gayo tersebut menjadi boomerang bagi dirinya. Dia segera pamit meninggalkan Valmor yang masih disibukkan dengan aktifitas melukisnya.
Baku tembak terjadi cukup sengit. Beberapa penjaga kebun opium berjatuhan.
Maria dan Maximilian menyebar ke seluruh penjuru. Mereka terlibat pertarungan jarak dekat dengan para Penjaga perkebunan opium tersebut.
Maria membekukan setiap musuh yang dia temui, kemudian dia menebas kepala mereka.
Maximilian membakar setiap musuh yang dia temui. Kilatan petir juga Maximilian luncurkan untuk menghancurkan setiap musuhnya. Maximilian mengendalikan tanah untuk menghancurkan ladang opium yang begitu luas, walaupun tidak menghancurkan seluruh ladang opium yang ada.
Di atas sebuah menara, Valmor berdiri dengan begitu gagah berani dengan menatap kedua orang pemuda yang tengah berbuat kekacauan di wilayah kekusaanya. Matanya berwarna biru dan memancarkan cahaya, menatap tajam Maximilian, dan Maria yang ada di bawahnya.
"Jadi, akhirnya Dhampir itu menampakkan dirinya," kata Maximilian mengarahkan pedang-nya ke arah Valmor.
Maria menebaskan pedang-nya. Namun Valmor menghindarinya, sehingga hembusan angin tersebut menghancurkan menara di mana Valmor berdiri sebelumnya.
Valmor berlari ke arah Maximilian dan memberikan sebuah pukulan yang telak mengenai perutnya. Tetapi Maximilian juga memberikan pukulan ke arah wajah Valmor. Kedua lelaki itu saling jual beli serangan dan saling menangkis serangan masing-masing.
Maximilian menembakkan kilatan petir untuk membunuh Valmor. Namun lelaki dari ras dhampir itu membalikkan kilatan petir yang Maximilian tembakkan.
[Dhampir, Ras gabungan antara Manusia, dan Vampire]
"Matamu yang bercahaya di tengah kegelapan. Sudah pasti kau seorang adalah dhampir," kata Maximilian.
"Kau benar. Ayahku adalah seorang manusia dan ibuku adalah seorang vampir," balas Valmor.
Kini giliran Valmor yang menembakkan kilatan petir. Maximilian hanya berlari untuk menghindari setiap serangan dari Dhampir yang tengah dia lawan.
Mereka berdua bertarung dalam jarak dekat dengan saling jual beli pukulan dan tendangan di atap sebuah rumah. Pertarungan antara mereka berdua terjadi dengan sangat epik.
Maria hanya memperhatikan pertarungan antara kedua lelaki tersebut sambil duduk santai menikmati secangkir teh hangat.
"Sepertinya aku tidak perlu membantu Maximilian."
Maximilian mencekik leher Valmor. Begitupula dengan Valmor yang balas mencekik lawannya. Maximilian berteriak dengan keras dan mengendalikan panas tubuh Valmor, sehingga dengan cepat tubuh Valmor langsung memerah layaknya sedang direbus. Panas tubuh Valmor meningkat dengan cepat hingga tubuhnya meledak karena badannya yang semakin memanas secara tidak wajar.
Maximilian terbatuk-batuk dan nafasnya sesak, setelah membunuh lawannya yang terlihat cukup tangguh.
"Kalau saja aku tidak mengendalikan panasnya, mungkin aku sudah mati. Ini adalah pertarungan antara hidup dan mati," gumam Maximilian yang tengah tertunduk terbatuk-batuk.
Maria berjalan menghampiri Maximilian sambil memberikan sebotol air putih. Maximilian segera menerima air putih tersebut dan meminumnya.
"Terima kasih, Maria."
.
.
Maria dan Maximilian segera bergerak dengan cepat meninggalkan kampung tersebut, sebelum diketahui oleh otoritas Pemerintah Republk Aceh. Tidak seperti dalam perjalanan yang berjalan dengan santai. Kini mereka berdua harus berlari dengan cepat menuju ke titik penjemputan, di mana mereka akan dijemput oleh sebuah tim yang menaiki Helikopter.
Maximilian dan Maria tengah menunggu di atas sebuah pohon yang begitu tinggi sambil menyalakan sebuah lampu berwarna merah. Maximilian langsung tertidur dengan bersandar di dahan pohon. Sementara Maria tengah membuat kode morse dengan lampu berwarna merah. Sebuah Helikopter yang terbang rendah mendekati puncak pohon tersebut. Sambil menggendong Maximilian, Maria segera berjalan memasuki Helikopter tersebut dan dengan segera Helikopter tersebut meninggalkan wilayah Republik Aceh.