webnovel

Sweetest Love

[Mature 21+] *** Kesalahpahaman yang tak berujung membuat Cecilia memilih menyerah pada hubungannya dengan Bara. Apalagi pria itu memiliki sepupu cantik yang sering menempelinya ke mana-mana seperti lintah. Cecilia mencoba bangkit seorang diri setelah hubungannya kandas, lalu ujian kepergian sang ibu untuk selama-lamanya. "Cecil, bisa kita mulai semuanya dari awal?" Bara datang dengan segala penyesalannya. Ditambah lagi permohonan ibu Bara sebagai sahabat ibunya yang menginginkan Cecilia menjadi menantunya. Apakah Cecilia bisa menerima Bara kembali dan memulai semuanya dari awal? Atau Cecilia malah bertemu dengan pria baru dan menyerahkan hatinya pada pemilik baru tersebut? ________________________ Start, 13 Oktober 2019 End, 08 September 2020 ---------------------------------- Cover cangtip by @tiadesign_ on Instagram.

dmliza_cess · Urban
Not enough ratings
408 Chs

Bab 3

Bara keluar dari ruangannya dengan rahang mengeras menahan amarah. Ibunya benar-benar keterlaluan. Bara telah mengikuti kemauan sang ibu untuk menjemput Iva, sepupunya di bandara tadi pagi. Dan sekarang saat jam pulang kantor ibunya ingin dia kembali menjemput perempuan itu di mall? Yang benar saja. Ibunya kira Bara pengangguran yang tidak punya kerjaan? Dia itu sibuk. Banyak dokumen-dokumen yang menumpuk untuk ia bubuhi tandatangan. Dan dokumen itu lebih penting daripada perempuan bernama Iva itu.

Saat sudah berada didalam mobilnya, ponsel Bara berdering. Dia hanya melirik sekilas. Benar sekali tebakannya. Kalau yang menelpon adalah Kinan, ibunya. Dengan enggan Bara menggeser tombol hijau. "Iya, Ma. Bara udah dijalan. Bentar lagi sampai."

Panggilan diputus secara sepihak oleh Bara. Walaupun ibunya selalu saja membuatnya kesal dan sakit kepala. Tapi Bara sangat menyayangi wanita yang telah melahirkannya itu hingga selalu menuruti kemauan sang ibu meski dengan hatinya yang menggerutu.

Butuh waktu sekitar 30 menit untuk Bara sampai ditempat tujuan. Dan seperti kata ibunya, kalau Iva sudah menunggunya di depan lobi mall. Padahal disini banyak taksi berjejer. Kenapa harus merepotkan dirinya hanya untuk menjemput? Heran.

Bara membunyikan klakson mobilnya saat sudah berhenti di depan lobi mall. Dan perempuan bernama Iva itu langsung bergegas naik. "Maaf ya, Bar, ngerepotin. Aku mau aja naik taksi. Tapi Tante Kinan nggak kasih izin."

Bara hanya diam kemudian menjalankan mobilnya membelah jalanan ibukota. Jam-jam seperti ini sudah pasti macet dimana-mana. Dan niat Bara untuk segera pulang ke apartemennya harus tertunda demi mengantar perempuan disebelahnya.

"Besok-besok nggak usah keluar kalau cuma ngerepotin orang."

Iva yang duduk disebelahnya hanya menunduk diam. Dia sudah menolak untuk pulang dijemput Bara. Tapi tantenya selalu saja punya alasan agar Iva tetap pulang sama Bara.

"Sebenarnya salah aku apasih, Bar?" Iva memberanikan diri menatap Bara. Walaupun orang yang ditatapnya sama sekali tidak menoleh. "Sejak malam itu kamu jaga jarak sama aku. Kamu perlakukan aku seolah-olah aku ini penyakit yang mesti dihindari."

Bara mendengkus. Kamu itu penyakit mematikan. Batin Bara.

***

Bara mendesah lega saat tubuhnya sudah terhempas di atas kasur apartemennya. Dulu ibunya sangat melarang keras Bara pindah ke apartemen pemberian ayahnya. Karena menurut ibunya rumah sebesar itu akan terasa sepi jika Bara yang notabennya adalah anak tunggal harus pindah. Tapi Bara tetap pada keputusannya. Dia ingin hidup mandiri. Matanya pun sudah mulai lelah melihat kemesraan orang tuanya yang tidak mengenal tempat.

Dering ponsel dari saku celananya kembali menyentak Bara yang sebentar lagi akan masuk ke alam mimpi. Bara berdecak jengkel. Tidak bisakah dia istirahat sebentar saja? Dia lelah seharian harus bolak-balik kesana kemari menuruti perintah ibunya.

"Siapa lagi sih?!" sentaknya sambil melihat nama pemanggil. Matanya terpaku pada nama dilayar ponsel.

Iva.

Dengan kasar Bara melempar ponselnya ke dinding. Persetan dengan semuanya. Dirinya lelah harus menahan amarah yang selama ini dia coba redam. Tapi perempuan itu seolah sengaja memancing emosinya. Belum puas dia mengganggu hidup Bara selama ini? Ingin rasanya Bara berteriak ditelinga Iva kalau dirinya benci pada situasi seperti ini.

Tanpa memperdulikan ponselnya yang berderai dilantai, Bara tengkurap dikasur. Mencoba menghilangkan rasa kesal dan marah yang bercampur aduk dihatinya. Kepalanya rasa mau pecah mengingat masa lalu bersama perempuan bernama Iva itu.