webnovel

Sweet Pea

Awal mula kedatangan Azalea sebagai salah satu keluarga Abimanyu benar-benar membuat Carka merasa dunia kesenanganya hancur dan melebur. Cakra yang menginginkan Aza untuk pergi, dan Aza yang menginginkan Cakra untuk selalu menemaninya. Ini kisah mereka, sepasang saudara tiri dengan benang merah yang tidak terdeteksi.

planeturanus · Urban
Not enough ratings
2 Chs

Cakra dan Aza

"Woi Aza! Keran di kamar mandi lo nyala!" teriak laki-laki itu dari kamarnya.

Ya, itu sudah jadi kebiasaan Azalea jika dia melupakan sesuatu maka Cakra harus mengingatkannya. Jika tidak ingin kejadian seminggu yang lalu terjadi, dapur hampir gosong saat Cakra membiarkan Azalea memasak air. Tidak, Cakra tidak ingin itu terjadi lagi.

"Aku lupa!" gadis itu segera berlari ke kamarnya yang terletak tepat di sebelah kamar Cakra.

"Lupa terus lo, masih muda udah pikunan." gerutu Cakra dari dalam kamar. Dia tengah bersiap-siap untuk bersekolah, dan sekarang dia sedang mengancing kemejanya.

Suara air dari kamar mandi sebelah sudah tidak terdengar, tak lama Cakra kembali meringis saat mendengar teriakan dari gadis itu. "Air nya!"

Cakra memekik dan segera berlari menyusul Azalea menuju dapur yang berada di lantai bawah, tidak jangan sampai gadis itu membuat dapur terbakar.

"Za, sampai kapan sih lo nyusahin gue terus hah?!" Cakra terlihat kesal pada kecerobohan Azalea kali ini. Kesabaran pemuda itu mulai menipis, "Bisa ngga sih lo ngelakuin pekerjaan rumah tuh yang bener?!"

Mendengar kemarahan sang saudara membuat Azalea hanya bisa menunduk, bagaimanapun juga tak bisa di pungkiri ini memanglah kesalahanya. Jika saja dia tidak pelupa seperti ini, maka Cakra tidak selalu memarahi nya.

"Cakra, maafin Aza.."

Cakra meraung kesal, bagaimana bisa orang tuanya memutuskan untuk

mengadopsi gadis yang bahkan tidak bisa mengerjakan pekerjaan dapur seperti ini? Bahkan Cakra lebih pintar memasak daripada Azalea.

Cakra menatap Azalea yang masih menunduk, raut wajah yang sangat menyesal, dan Cakra melihatnya disana. Kalau sudah begini, Cakra tidak bisa untuk melanjutkan amarahnya, atau sang Ibu bisa melayangkan tongkat sapu ke bokongnya.

"Halah udahlah, lain kali hati-hati."

Mendengar perkataan Cakra, sedetik kemudian Azalea mendongakan kepalanya. Raut wajahnya tidak sesedih tadi, kali ini ada senyum disana.

Azalea mengangguk antusias, "Makasih, Cakra."

Tidak menjawab lagi, Cakra berjalan mendekati meja pantry. Seolah sudah menjadi kebiasaannya di setiap pagi, Cakra langsung membuat sarapan untuknya dan Azalea. Tidak susah, Cakra hanya membuatkan sandwich untuk sarapan pagi ini.

Andai kedua orang tuanya sekarang tidak bekerja, maka dia tidak akan sibuk seperti ini untuk menjaga Azalea.

"Lo bakal ngapain kalau gue lagi di sekolah nanti?" sepertinya pertanyaan ini wajib Cakra lontarkan pada gadis itu.

Menghentikan kunyahan, Azalea tampak terlihat berpikir sebentar sebelum menjawab, "Belajar." jawab Azalea kemudian kembali mengunyah sandwichnya.

"Oke, jangan ke dapur, jangan dekat-dekat sama kompor. Kalau ada apa-apa lo bisa telpon gue. Ingat, jangan bikin gue tambah susah."

"Aku paham, Cakra."

Setelah mengatakan itu Cakra kemudian pergi menuju sekolah seperti biasa, walau termasuk keluarga dari kalangan sangat mampu. Tapi Cakra selalu bersikeras untuk menaiki bus sekolah yang selalu lewat di perumahannya setiap pukul 7 pagi.

Setidaknya Azalea tidak akan lupa untuk menelponnya, gadis itu masih terlalu baik untuk mengingat hal seperti itu. Ya, semoga saja dia tidak membuat kekacauan saat Cakra meninggalkannya sendirian di rumah.

"Woi Wala, ngapa dah pagi-pagi udah kusut tuh muka."

"Gue udah bilang jangan manggil gue setengah-setengah gitu, Javas." jawab Cakra tegas.

Laki-laki yang di panggil Javas itupun tertawa melihat reaksi Cakra yang menurutnya sangat membosankan. Benar-benar sensi sekali.

"Sensei bener lu bjir, yodah cepet tolol."

Javas merangkul Cakra dan mereka berjalan menuju kelas dalam diam, tanpa sekatapun karena Cakra sedang malas untuk berbicara. Bahkan jikapun Javas mengoceh, bisa dipastikan Cakra akan semakin mengamuk. Walau tidak bisa dipungkiri cara bicara seoang Javas Bagaskara sangat amat frontal.

"Si Cakra kenapa, kusut gitu?" seorang laki-laki menghampiri mereka, di kemeja bagian kanan dadanya terdapat sebuah name-tag bertuliskan 'Elang Nathaniel'. Dia sedang bertanya kepada Javas, tapi payahnya suaranya sangat nyaring hingga Cakra bisa mendengar.

Javas mengedikan bahu dan berlalu menuju tempat duduknya. Dan Cakra pun duduk tepat di samping Elang. Kelas masih terlihat sepi akibat jam masuk yang masih tersisa 30 menit lagi.

"Woi, Cak. Lo udah sering absen basket. Alesannya apaan sih?" tanya Elang yang saat ini sudah duduk di sampingnya.

Cakra tak menjawab, dan hanya menelungkupkan wajahnya di antara dua tangannya ke meja. Dia sangat malas untuk bicara sekarang.

"Cakra ngape?" satu teman mereka datang kembali dan menanyakan hal yang sama saat melihat Cakra.

"Tau dah." jawab Elang sekenaknya, dan di balas Alan dengan mengangguk lalu berlalu duduk di bangkunya.

"Heh anak pak Abimanyu, kemarin dicariin sama pelatih. Lu bolos mulu." kata Alan kemudian, kali ini Cakra mengangkat kepalanya untuk membalas perkataan Alan.

"Gue lagi ngga mau latihan." setelah itu dia kembali membenamkan wajah nya di meja.

Mendengar itu membuat Javas membalikkan tubuhnya dengan cepat, "Anjing? Lupa lo kalau bentar lagi tanding buat angkatan terakhir? Nyari mati lu, tolol?" maki Javas dengan kesalnya.

Cakra kembali bangkit dan mendengus kasar. "Gue tau." jawabnya lalu pergi meninggalkan teman-temannya yang masih diam memandangi dia dalam diam.

Melihat itu membuat Alan dan Elang bertukar pandang, melirik Javas secara bersamaan sebelum menggeleng pelan. Elang mengedikkan bahu, "Lagi ada masalah kali dia, ntar aja kita tanyain."