27 Percaya

Julia membuang tubuhnya begitu saja di atas tempat tidur berseprei warna pink motif bunga sakura. Tak lama berselam, matanya telah tertutup rapat. Ia bahkan mengabaikan barang-barang di sekitar tempat tidur yang sangat berantakan.

Ia juga mengabaikan Chichi-kucing kesayangannya-yang saat ini sedang mengerang manja serta melilit kakinya. Rasa kantuk juga lelah benar-benar menguasai dirinya saat ini.

Yang ia harapkan saat ini hanyalah tidur dengan pulas. Terlebih hari juga sudah sangat larut. Namun, baru beberapa detik ia memejamkan mata, bayangan wajah Ana yang sangat cantik seketika terlintas di matanya.

Julia membuka matanya seketika. Wajahnya menegang. Begitu pula dengan degup jantungnya yang semakin kencang.

"Astaga! Kenapa wajah Ana muncul dalam tidurku?" gerutunya kesal.

"Tenang, Julia. Tenang. Kamu hanya kelelahan. Dan dua hari ini kamu selalu bersama Ana. Wajar jika wajahnya tergambar jelas di otakmu."

Julia mengambil air minum yang ada di mejanya. Ia juga terus berusaha mengatur degup jantungnya yang semakin cepat setiap mengingat wajah Ana. Semburat merah juga tergambar jelas di wajahnya.

"Aish!! Kenapa kebayang wajah bule sialan itu terus sih?! Kenapa wajah dia berputar di depan mata aku coba?!!" teria Julia frustasi.

Ia meneguk air putih di tangannya. Meneguknya dengan lahap. Sehingga tak tersisa setetes pun. Namun, sejuk air putih yang diminumnya tak berhasil memadamkan bara api asmara yang menyelimuti hatinya.

Julia melangkah ke cermin panjang yang terletak di samping lemari. Ia menatap pantulan tubuhnya dengan kesal.

"Ya Tuhan, Julia!! Apa kamu semudah itu untuk menerima gombalan dari seorang wanita?"

Ia mengacak rambutnya kasar. Yang dapat disimpulkan sekarang adalah, Ana berhasil membuat Julia menjadi orang gila.

***

Julia berjalan melewati koridor. Sekilas dari belakang tubuhnya terlihat seperti nenek tua. Bungkuk dan tanpa tenaga. Jika diperhatikan lagi, penampilannya juga berubah 180 derajat. Berantakan.

Ratusan pasang mata memperhatikan setiap langkahnya dari parkiran hingga koridor. Namun gadis yang terkenal sebagai jalang di kampusnya ini justru mengabaikan tatapan sinis mereka.

"Julia!!!" seru seorang dari belakang. Tak lama, tangan orang itu menyapa punggungnya dengan pukulan yang ringan.

"Ha?" Julia mengangkat kepalanya dan menatap lawan bicaranya itu dengan tampang bodoh.

"Hei! Apa yang terjadi? Kenapa penampilanmu seperti ini?" Gian langsung menembakkan beberapa pertanyaan . Terdengar jelas bahwa gadis itu khawatir dengan keadaan sahabatnya.

Mata Julia menatap Gian dengan sayu. Kini terlihat kedua mata indah yang menjadi pujaan Kak Ardian itu menghitam sempurna, seperti panda di Negeri Bambu.

"Julia, katakan sesuatu. Apa yang terjadi padamu? Kenapa penampilanmu seperti ini?"

"Seseorang berhasil membuatku gila," jawab Julia lirih.

"Siapa? Siapa yang telah membuatmu seperti ini?"

"Dewi fakultas kedokteran."

Seketika tangan Gian langsung menarik pergelangan tangan Julia. Ia membawa gadis itu menjauh dari puluhan pasang mata yang menatap tajam ke mereka, apalagi setelah julukan 'Dewi Fakultas Kedokteran' menggema di sana.

Gian menyeret Julia menuju ke taman belakang fakultas. Sebuah taman yang berdekatan dengan kebun tanaman herba milik mahasiswa fakultas farmasi.

Julia duduk di salah satu gazebo, sedangkan Gian berdiri tepat di depannya. Sorot mata gadis itu menatap tajam ke arah Julia yang lemah.

"Sekarang katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi."

Julia menundukkan pandangannya. Ia bahkan menggigit bibir bagian bawah yang berwarna pink pucat itu. Wajahnya nampak bingung dan juga gelisah.

"Julia! Katakan padaku apa yang sudah dilakukan Ana padamu?"

Julia hanya diam. Ia sungguh tidak tahu harus bagaimana? Harus dari manakah ia bercerita? Apakah dari permintaannya pada Ana, dari ajakan Ana untuk berlatih, atau dari jebakan Ana yang membawa ke rumah keluarganya?

Julia terus menggigit kecil bibir bawahnya, bahkan kini mulai meninggalkan bercak-bercak merah.

"Julia! Hentikan sikapmu itu! Kamu bisa terluka!" Suara Gian kini meninggi. Terlihat jelas ia marah pada sikap diam Julia.

Gian menyejajarkan wajahnya dengan wajah Julia. Ia menarik pelan wajah Julia yang menunduk. Lalu mengusap permukaan bibir itu pelan.

"Say something, please..."

Perlahan, Julia memberanikan diri menatap kedua mata sahabatnya itu. "Gian... Bagaimana ini?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Kenapa? Apa ada yang salah?"

Julia menggeleng. Ia menggeretkan masing-masing permukaan giginya hingga menghasilkan geretan yang lirih. "Aku rasa, aku sungguh menyukai seseorang. Hatiku berdegup kencang saat kedua manik matanya menatapku lekat...."

***

Jam perkuliahan telah berakhir. Julia nampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Gian dan Desi nampak memperhatikannya dengan sorot mata penuh selidik. Bahkan sesekali kedua sahabat itu saling melempar pertanyaan melalui kode mata mereka.

"Julia, apa kamu mau makan dulu di kantin?"

"Tidak. Kita makan di fakultas kedokteran saja."

"Kamu yakin?"

"Ya. Lagipula aku ingin bertemu Ana. Power bank-nya terbawa olehku."

Seketika Desi melebarkan matanya, menatap Julia dengan tajam. "Kenapa power bank Ana bisa terbawa olehmu? Apa kalian kemarin bertemu?"

"Ti-dak...Ti-dak... Ka-kami tidak bertemu!"

Desi dan Gian saling melirik, memberikan isyarat yang kemudian diikuti senyuman lebar.

"Jadi princess kita kemarin habis bertemu dengan Ana ya," ucap Gian menggoda.

"Rasanya baru kemarin ada yang mengumpati Ana dan bersumpah tidak berkencan, tapi hari ini sudah dicari saja." Kali ini ganti Desi yang menggoda dengan sebuah kedipan mata penuh rasa genit.

Julia merasa pipinya menghangat. Serangan demam tiba-tiba? Atau mungkin....

Julia menunduk dengan semburat merah bagai strowberi di kedua pipi chubby-nya.

"Tidak begitu."

"Lalu?"

"Kemarin..." Lagi-lagi Julia menggantungkan kalimatnya. Bagian bawah bibirnya ia gigit kecil-kecil hingga menambah luka baru.

Tangan Gian reflek memukul pelan bibir Julia. Menghentikan aksi bodoh gadis di depannya itu.

"Ana menjadi pelatih taekwondoku."

"Benarkah?"

Julia menganggukkan kepalanya cepat.

"Julia, apa orang yang kamu maksud tadi itu Ana?"

Julia menaikkan kepalanya. Menatap kesal ke arah Gian yang memberikan pertanyaan penuh selidik itu.

"Tidak! Orang yang kuceritakan tadi bukan Ana."

Gian terkekeh. Begitupula Desi yang tersenyum kecil. Sikap Julia sungguh jelas jika apa yang dia katakan dengan apa yang terjadi merupakan hal yang berlawanan.

"Oh, tidak ya? Baiklah. Padahal aku hampir memberikan informasi penting untukmu." Gian menaikkan sebelah alis matanya sambil tersenyum jail.

"Informasi apa?"

"Kenapa kamu bertanya? Bukannya kamu tidak menyukai Ana?"

"Sudah kubilang, aku ingin mengembalikan power bank miliknya!"

"Ah, begitu. Hanya mengembalikan power bank? Titipkan saja pada teman kelasnya. Kamu tidak perlu mencarinya," tegas Gian.

"Kenapa aku harus menitipkannya?"

"Karena hari ini Ana tidak ke kampus."

"Tapi semalam dia mengatakan padaku untuk menemuinya di kantin fakultas kedokteran. Aku yakin Ana akan menepati janjinya. Jadi kita makan di fakultas kedokteran aja ya," ucap Julia diiringi mata yang membulat cerah dan wajah sumringahnya.

Gian memutar bola matanya dengan wajah kesal. "Pada akhirnya informasiku sia-sia," gumamnya.

Julia menoleh pada Gian. "Ha? Ada apa, Gian? Kamu bilang apa?"

"Tidak. Aku tidak mengucapkan apapun," elak Gian dengan wajah yang menahan kesal. Desi yang berdiri di sampingnya hanya terkekeh pelan.

"Sepertinya dia sungguh menyukai Ana. Lihatlah, tingkahnya sangat aneh," ujar Gian berbisik.

"Ya. Kamu benar. Sebentar lagi dia akan menjilat ludahnya sendiri," balas Desi dengan tawanya yang terdengar merdu.

***

avataravatar
Next chapter