webnovel

Pintu Kayu Nomor 599

Svard menginjak pedal rem mobil ketika lampu lalu lintas memerintahkannya untuk berhenti sejenak. Pria itu menghela, melirik Sera yang tengah berkaca pada cermin kecil di tangannya. Wanita itu memeriksa tampilannya, barangkali ada yang belum kembali ke wujud asli usai melakukan penyamaran mengejutkan di hadapan Andrea.

Ya, penyamaran seroang Seraph tidak pernah tidak membuat Svard terkejut. Sera contohnya, tiba-tiba saja ia berada di Lucelence dan mendekati Andrea sebagai wanita tua. Lebih tidak disangka lagi, Sera mengaku sebagai ibu Svard, dimana itu sungguh sebuah kebohongan besar.

"Andrea pasti akan bertanya padaku setelah ini," ujar Svard menyindir. Sera tampak masa bodoh, merapikan kembali perkakas riasnya ke dalam tasnya. "Biarkan saja dia bertanya, hitung-hitung kau mendekatinya pelan-pelan."

"Apa kau sedang mendukungku sekarang?"

"Ya, katakanlah begitu. Menjadi pembangkang rupanya tidak buruk, aku merasakan kebebasan meski tetap dihantui oleh hukuman dan hukuman dari makhluk gila itu."

Svard tersenyum miring, kembali melajukan mobilnya. "Kau akan merdeka sepenuhnya ketika aku mati, maka sudah sewajarnya kau mengusakan kematianku."

"Berhentilah mengucapkan kalimat-kalimat seperti itu. Aku menemui Andrea bukan karena ingin kau mati."

"Lalu apa lagi? Jika kau ingin meyakinkanku bahwa Andrea adalah reinkarnasi Klara, maka kau memiliki tujuan yang sama denganku, untuk mengakhiri kehidupan bodoh ini."

Sera menghela, "Ya, terserah kau saja yang menilai. Tapi Svard, aku rasa ini akan sangat sulit untukmu."

"Memang itu sulit. Sejak kapan hidupku mudah?"

"Aku hanya tidak sanggup membayangkan bagaimana rasanya kehilangan dan merelakan orang yang kau cintai pergi untuk kedua kalinya. Sebelum Andrea atau siapapun mengakhiri kutukanmu, kau akan sangat mencintai mereka selayaknya kau mencintai Klara. Itu menyakitkan."

Svard mengangguk, "Semoga aku sudah mati rasa saat itu terjadi. Atau haruskah aku mengubah diri menjadi psikopat yang tak memiliki perasaan."

"Bahkan seorang psikopat pun dapat melunak hatinya karena seorang wanita. Kau benar, sepertinya Andrea memang Klara."

"Terima kasih sudah meyakinkanku," ujarnya, membelokkan mobil ke sebuah jalan kecil di pinggir hutan kota nan sepi. Tidak ada satu pun kendaraan atau orang yang melintas di jalan itu, hanya mereka. Hingga beberapa meter kemudian, Svard memelankan laju mobilnya. Seberkas cahaya ungu violet terang muncul membentuk garis melengkung setengah lingkaran.

DRLING!

[Notifikasi sistem pintasan digital]

[Tujuan: Sorovein Residence, Malmo]

"Bawa aku kesana."

DRLING!

[Permintaan akses diterima]

DRLING!

Svard kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan semula, dan tak sampai lima menit kemudian mereka telah sampai di jalan jalan komplek perumahan tempat mansion itu berada.

"Kira-kira apa yang akan terjadi padaku setelah ini? Apakah Dia akan murka? Mempersulitku lagi?"

Sera menggeleng, melepas sabuk pengamannya. "Lihat saja nanti, aku tidak bisa memprediksi apa pun. Tapi jujur saja, perasaanku tidak enak setelah melihat gadis itu."

Sera lantas keluar terlebih dahulu. Svard menyusul kemudian, langsung menuju kamarnya dan memeriksa lima ruangan di lantai yang sama.

Kali ini, sesuatu tampak berbeda yang mengakibatkan Svard harus berhenti lebih lama.

Pintu ruangan dengan nomor 599 yang terletak paling ujung di sayap kanan menunjukkan 'perangai' anehnya. Ia bercahaya merah terang menyala, dengan lidah-lidah api merambati setiap jalur dalam ukiran pintu kayu itu ke atas. Ukiran dan lidah api itu hanya muncul sewaktu-waktu. Di saat 'normal' nya, pintu itu hanya pintu kayu datar tanpa ornamen apapun, termasuk angka 599 itu.

Svard perlahan mendekat, hingga matanya dapat menangkap dengan jelas keseluruhan bentuk ukiran kayu dengan lidah api di pintu itu.

"Andrea? Klara?"

****

Hultgren Student Apartment

Gothenberg, Swedia

Andrea membuka pintu apartemennya lesu, menampakkan Hellen yang tengah bersantai sembari memainkan ponselnya di atas kasur. Gadis itu lekas beranjak ketika melihat Andrea.

"Hei! Bagaimana hari ini? Apakah itu menyenangkan?"

"Ya, lumayan. Setidaknya lolos tahap dua."

"Benarkah? Astaga kau keren sekali!" Hellen bertepuk tangan heboh, bahkan lebih heboh dari Andrea sekali pun.

"Tadi aku sempat menghubungi Marcel dan dia mengirimiku beberapa video saat kau tampil presentasi. Itu keren sekali!"

"Biasa saja, Hellen. Seleksi ini masih panjang dan aku sudah lelah." Andrea akhirnya membaringkan diri di kasur, tujuannya sejak berjam-jam lalu.

"Ayolah, jangan menyerah! Aku mendukung..."

DING DONG!

"Siapa itu? Sebentar!" Hellen membuka pintu apartemen, rupanya seorang kurir pengantar makanan. "Apakah Andrea Stenstorm yang memesannya?"

"Bukan, Nona." Kurir itu memeriksa catatan pemesanan di ponselnya. "Tapi ini memang untuk Andrea Stenstorm di unit 17D. Pengirimnya Calle Svard."

"Oh, baiklah. Terima kasih."

Hellen menutup pintunya kemudian, membawa dua kantung kertas berisi banyak makanan ke dalam. "Andrea, Calle Svard..."

Hellen membulatkan matanya, "Apa? Andrea! Kau dekat dengan Calle Svard?!" pekiknya begitu sadar penuh siapa yang mengirim makan malam itu.

"Hah? Ada apa dengannya?"

"Ini... Calle Svard mengirimkanmu makanan. Kau... kau mendekatinya di hari pertama? Astaga, kau cerdas sekali, Andrea. Aku bangga padamu!"

Andrea tak menjawab, masih sibuk memeriksa belasan porsi makanan yang rupanya memang benar dibelikan oleh Svard dari kartu ucapan di dalamnya.

"Selamat malam dan selamat makan. Ajaklah Hellen dan berbincang dengannya sebelum tidur. Tertanda, Calle Svard..."

"Dia tahu namaku? Bagaimana bisa?"

Andrea terdiam sejenak, berpikir. Ini sungguh aneh, sebelumnya seorang wanita yang rupanya adalah ibu dari CEO itu mengetahui namanya di pertemuan pertama, lalu kini, anaknya mengetahui keberadaan bahkan nama Hellen padahal mereka sama sekali belum bertemu, atau sekedar Andrea yang bercerita.

"Lama-lama orang ini seperti penguntit."

"Penguntit?" Hellen setengah tertawa, "Dia adalah pria berpendidikan dan kaya raya. Untuk apa dia menjadi seorang penguntit?"

"Aturannya adalah jangan menilai orang dari luarnya saja, Hellen. Kita tidak kenal siapa dia."

"Tapi kau mengenalnya, kan?"

"Ya, aku memang mengenalnya, tapi tidak seperti ini cara mengakrabkan diri dengan seseorang," ujar Andrea kesal, memasukkan kembali satu per satu makanan yang diperiksanya ke dalam kantung kertas. "Jangan makan makanan ini, kita tidak tahu apakah ada racun atau tidak di dalamnya."

"Astaga, kau ini berlebihan sekali, Andrea. Bagaimana mungkin... astaga aku tidak mengerti lagi..."

"Aku bercanda, tapi mungkin juga serius. Jangan terlalu terobsesi dengan pria tampan, Hellen. Svard mungkin punya segalanya, tapi... arrghhh!"

"Kau kenapa?" Hellen ikutan panik, Andrea tiba-tiba memegangi kepalanya.

Andrea menggeleng, meringis, kepalanya tiba-tiba ngilu seperti dipukul sesuatu. "Kepalaku... sakit sekali."

"Ya ampun. Berbaring saja, kau mungkin kelelahan seharian ini. Tekanan darahmu juga selalu rendah." Hellen menggiring Andrea ke tempat tidurnya. "Sebaiknya kau makan dan minum obat atau vitamin."

"Nanti saja."

"Ck! Berhenti keras kepala. Lihatlah, Svard bahkan mengirim makanan tepat pada waktunya. Jangan berburuk sangka. Kau harus memakannya, setidaknya sedikit untuk berterima kasih."