webnovel

Surga Kecil

Alexandrite, seorang gadis remaja, dijual oleh bibinya ke tempat prostitusi. Demi membayar utang bibinya, Alexa harus menjual dirinya pada para lelaki hidung belang. Namun satu bulan berlalu, Alexa tiba-tiba ditebus dan dibeli oleh seorang pengusaha muda, lalu dipekerjakan sebagai pelayan di kediamannya. “Kenapa Tuan menjadikan saya pelayan di tempat ini?” “Apa kau berharap lebih baik ada orang lain yang menggantikan posisimu sekarang? Lalu kau tetap ada di sana, di tempat pelacuran itu?” Alexa tampak bisa melihat masa depannya yang samar di tempat ini. Tapi apakah dia akan bisa bertahan menghadapi perlakuan dingin dari tuannya? Berapa tahun yang dia butuhkan untuk melunasi semua utangnya? ---- Cover by Kyp005

Mischaevous · Urban
Not enough ratings
493 Chs

Makan Siang

Keesokan harinya, karena Alexa sempat membeli roti, keju, dan ham, dia tetap membuatkan sarapan berupa roti sandwich. Saat membuatnya, mau tak mau, dia terus kepikiran soal makan malam kemarin. Apabila kali ini tuannya menolak masakannya, maka Alexa akan berhenti memasak.

Pada jam sarapan, satu piring berisi dua tangkup sandwich diletakkan di atas meja makan ketika Skylar sedang menuruni tangga. Di samping piring terdapat segelas susu hangat. Tanpa mengatakan apapun, pemuda itu duduk di kursinya dan mulai makan, mengabaikan Alexa yang ada di dapur dan diam-diam berharap mendapatkan komentar akan masakannya.

Tapi harapannya sedikit pupus ketika Alexa melihat tuannya sedang sibuk dengan ponselnya sejak turun dari lantai 52. Dia tahu kalau pemuda tersebut memang sibuk, sehingga tidak bisa menyalahkan juga. Alexa pun tidak berani bertanya apakah masih diperbolehkan menggunakan dapur dan memasak setiap harinya atau tidak, karena jika dilihat dari sisi lain, bisa jadi Alexa dianggap sedang meminta uang lebih dengan alasan membeli bahan.

Lagi-lagi, pemuda itu pergi dari ruang makan tanpa mengatakan apapun. Alexa hanya menghela napas panjang. Sudah tidak ada lagi bahan yang tersisa selain beberapa lembar roti, keju, dan ham. Tentu saja tidak cukup jika dijadikan makan siang.

Setelah selesai sarapan dan mencuci semua peralatan makan, Alexa kembali mengerjakan tugasnya bersih-bersih bagian ruangan yang lain. Berhubung dia tidak merasa memiliki tugas memasak makan siang, sehingga gadis itu melakukan pekerjaannya dengan lebih santai.

Kegiatan mencuci pakaiannya baru selesai pukul setengah satu siang, mendekati jam makan. Dia baru memindahkan pakaian kering ke keranjang untuk disetrika, ketika Skylar turun dari lantai 52 dengan raut kebingungan. Pemuda tersebut mengarahkan pandangannya pada meja makan yang kosong, begitu pula pada dapur yang masih bersih. Tidak terlihat ada kegiatan di sana sama sekali.

Alexa yang baru keluar dari ruang laundry pun menarik perhatiannya. Dia menoleh dan menatap gadis yang sedang membawa keranjang berisi pakaian. "Mana makan siangnya?"

Gadis yang sedang ditatapnya pun menunjukkan wajah bingung. Sepasang mata coklatnya berkedip beberapa kali, kemudian menjawab, "Um … bahannya sudah habis. Hanya tersisa roti untuk membuat sandwich…" Alexa terus menunduk dan menghindari tatapan tuannya. Dari gerak-geriknya, dia terlihat sedikit takut.

Skylar menepuk dahinya dan menghela napas panjang. Tentu saja uang 50 pounds tidak bisa membeli banyak barang. Apalagi, kemarin dia juga tidak sempat mengatakan pada gadis itu agar terus membuatkannya makanan, alih-alih memesan dari bawah. Skylar yakin gadis itu merasa takut menghabiskan uangnya karena khawatir dimarahi.

Tapi, meskipun misalnya gadis itu membelanjakan semua uangnya, Skylar pun tidak yakin dengan uang 50 pounds bisa membeli persediaan bahan makanan selama tiga hari. Tidak heran jika bahannya sudah habis hanya untuk membuat makan malam dan sarapan.

"Tak apa. Buatkan sandwich sekarang. Kutunggu di meja makan."

"Ah, baik akan saya buatkan."

Gadis itu meletakkan keranjang pakaian di samping sofa, kemudian bergegas menuju dapur. Sementara Skylar, meski dia mengatakan akan menunggu di meja makan, tapi dia berbalik dan naik ke atas. Langkahnya santai menuju ruang kerja di lantai atas untuk mengambil sesuatu.

Hidungnya bisa mencium aroma roti bakar dan juga telur ketika menuruni tangga. Alexa baru memindahkan roti-roti ke atas piring ketika Skylar sudah masuk ke ruang makan dan duduk. Tangannya terus menggeser layar ponsel sambil menunggu makanannya datang.

Skylar baru menurunkan ponselnya ketika Alexa datang membawa makan siangnya. Piring dan gelas berisi jus diletakkan di meja. Makan siangnya kali ini tidak seistimewa biasanya, seperti makanan yang selalu dibawakan pelayan hotelnya kemari.

Tapi Skylar merasa ini lebih baik. Dia sudah bosan dengan makanan hotelnya. Pengulangan menu pasti membuat siapapun bosan, tak peduli seenak apa makanannya.

"Masih ada sisa apa lagi di dapur?" tanyanya mendadak.

"Hanya keju…" balas Alexa pelan.

Pemuda itu hanya mengangguk pelan, kemudian menyodorkan sebuah kartu berwarna hitam pada Alexa. Sebuah pandangan bertanya diberikan, karena gadis itu tidak paham maksud Skylar yang memberikan sebuah kartu. Jika tebakannya tidak salah, itu adalah sebuah kartu kredit yang pernah Skylar berikan pada pramuniaga saat acara belanja besar-besaran mereka minggu lalu.

"Belanja gunakan kartu ini. Tidak ada batasan transaksi, kau bebas memakainya untuk membeli bahan-bahan di supermarket. Aku sudah tidak akan menyuruh pelayan mengantar makanan dari bawah. Mulai sekarang kau bertanggung jawab menyediakan makanan tiga kali sehari."

Kalimat panjang lebar itu diucapkannya dengan santai, kemudian mulai memakan roti yang sudah disediakan.

Bagi sebagian besar orang, mungkin keputusan Skylar ini sedikit gila. Bagaimana bisa dia memercayakan sebuah kartu kredit tanpa batas transaksi pada orang lain? Biarpun orang itu adalah pelayannya, tapi Alexa bekerja di sana belum satu bulan. Apakah dia tidak takut kartunya akan disalahgunakan untuk membeli hal-hal tak masuk akal?

Awalnya, Skylar memang memiliki pemikiran demikian. Tapi dia tahu benar kalau gadis yang sedang bekerja padanya itu terlalu takut untuk melakukan hal-hal yang terlalu ekstrem. Memandang matanya saja masih tidak berani, mana mungkin gadis itu mau membelanjakan uangnya dengan jumlah tak masuk akal.

"Catat pin-nya baik-baik. Kalau lupa, kau tak akan bisa melakukan pembayaran, dan aku tidak mau menyebutkannya dua kali."

Skylar benar-benar mengabaikan ekspresi terkejut dari pelayan di depannya, tapi dia tak menyadari binar di sepasang mata coklat itu. "Simpan baik-baik kartunya. Kalau sampai hilang, kau benar-benar akan berurusan dengan polisi," tambahnya setelah menyebutkan angka-angka pin.

Kali ini, kalimat ancamannya bukan bualan semata. Jika kartu kredit hilang, urusannya akan panjang.

"Kau bisa beli makan siang sekalian saat belanja dengan kartu itu."

Skylar merasa tidak enak jika membiarkan gadis itu sampai tidak makan siang karena semua sisa bahan makanan diberikan padanya siang ini. Meski dia tahu manusia tidak akan mati hanya karena tidak makan siang, Skylar tahu pekerjaan gadis itu cukup banyak dan membutuhkan tenaga untuk melakukannya. Jadi, makan siang adalah sesuatu yang tidak boleh dilewatkan. Lagipula, dia juga ingin tahu apa yang akan dibeli oleh Alexa menggunakan kartu kreditnya. Dia akan memeriksa pada saat tagihan datang nanti. Apakah gadis itu benar-benar memanfaatkan uangnya dengan rakus atau tidak.

"Terima kasih banyak."

Alexa membungkuk singkat dan pergi dari sana. Dia membereskan keranjang pakaian yang terlantar dan membawanya ke ruang setrika. Tak ingin membuang waktu, Alexa naik ke kamarnya dan mengganti pakaian. Kartu akses naik dan kartu kredit dia masukkan ke dalam saku mantel, memastikan tidak melupakan apapun. Setelahnya, dia mengambil syal dan mantel lalu membawanya turun tanpa dikenakan.

Di lantai 51, Alexa meletakkan syal dan mantel di atas sofa, lalu menyempatkan diri mencuci piring milik tuannya yang sudah selesai.

Sepanjang kegiatannya di sisa hari ini, Alexa melakukannya sambil terus tersenyum. Harus dia akui, dari semua pekerjaan yang harus dilakukan di tempat ini, Alexa sangat senang dengan tanggung jawab memasak setiap harinya.

Sejak kecil, dia punya mimpi bisa sekolah memasak dan menjadi koki handal. Tentu saja, bekerja di dapur adalah hal yang paling membuatnya bersemangat. Dia akan memastikan menyajikan makanan-makanan enak untuk tuannya sebagai rasa terima kasih, meskipun dari segi rasa, mungkin tidak seenak hasil masakan koki di bawah.

Kira-kira malam ini dia akan masak apa?

Membayangkannya saja, senyum kembali terpulas di wajahnya.