webnovel

Surga Kecil

Alexandrite, seorang gadis remaja, dijual oleh bibinya ke tempat prostitusi. Demi membayar utang bibinya, Alexa harus menjual dirinya pada para lelaki hidung belang. Namun satu bulan berlalu, Alexa tiba-tiba ditebus dan dibeli oleh seorang pengusaha muda, lalu dipekerjakan sebagai pelayan di kediamannya. “Kenapa Tuan menjadikan saya pelayan di tempat ini?” “Apa kau berharap lebih baik ada orang lain yang menggantikan posisimu sekarang? Lalu kau tetap ada di sana, di tempat pelacuran itu?” Alexa tampak bisa melihat masa depannya yang samar di tempat ini. Tapi apakah dia akan bisa bertahan menghadapi perlakuan dingin dari tuannya? Berapa tahun yang dia butuhkan untuk melunasi semua utangnya? ---- Cover by Kyp005

Mischaevous · Urban
Not enough ratings
493 Chs

Kenapa?

Enak.

Masakan gadis itu terasa pas di mulutnya, entah mengapa. Masakan yang mungkin tidak seenak buatan para kokinya yang telah belasan tahun berkutat di dapur, namun tentu saja menikmati masakan yang nyaris sama setiap hari selama beberapa tahun membuatnya lumayan bosan. Masakan buatan Alexa jauh lebih sederhana, tapi selalu ada sesuatu yang baru hingga dia tak pernah bosan sejauh ini dan membebaskan gadis itu untuk terus membuatkan makanan untuknya.

"Kau belajar memasak di mana, Alexa?"

Akhirnya pemuda itu angkat bicara setelah bermenit-menit berkutat di dalam kediaman. Dia yang menyuruh gadis itu menemaninya mengobrol dan justru dialah yang tak tahu harus bicara macam apa dengan keberadaan Alexa di sana. Dia tahu benar bahwa pelayannya tidak mungkin angkat bicara tanpa ditanya, mengingat dia sendiri menyadari jelas-jelas pelayannya itu merasa segan berada dekat-dekat dengannya. Terlebih dengan sikapnya malam ini yang terasa janggal.

Jujur saja, dia sudah merasa cukup bosan dengan keadaan rumahnya yang terasa semakin sepi setelah kedatangan gadis itu. Bertambahnya orang, dan justru yang bertambah adalah keheningan. Garis batas yang susah payah dibuatnya untuk memastikan hubungan mereka tidak melebihi majikan dan pelayan justru pada akhirnya dia runtuhkan sendiri.

"Apa kau pernah belajar di sekolah memasak?"

Dia bicara sambil memotong lasagna, kemudian melahapnya, menanti jawaban sembari menatap Alexa di kursi yang tak jauh darinya. Berusaha keras menyingkirkan bayangan orang lain yang selalu menghantuinya dan mencoba memandang gadis itu sebagai Alexa, pelayannya. Mencoba mengenalnya mungkin akan mengubah cara pandangnya dan menyingkirkan bayangan Iracebeth selamanya dari perempuan itu.

Meskipun ada satu hal yang membuatnya lebih penasaran dibandingkan dengan pertanyaan basa-basi lainnya, Skylar jelas tahu untuk tidak langsung menanyakannya begitu saja.

Alexa yang awalnya memainkan makanan di piring karena merasa tidak nyaman dengan suasana, akhirnya mengulum bibir saat mendengar pertanyaan yang ditujukan padanya.

"Tidak. Saya tidak punya biaya untuk sekolah memasak, hanya sering memasak di rumah dulu."

Sejak kecil, dia sudah sering mengikuti ibunya ke dapur untuk membuat makanan. Di mata Alexa kecil, pekerjaan di dapur terlihat amat menyenangkan. Apalagi, ketika masakan pertamanya dipuji enak oleh kedua orang tua dan kakak lelakinya. Saat itu, mimpinya untuk menjadi seorang koki mulai terbit. Namun, sayang, harus patah bahkan sebelum Alexa mulai berusaha meraihnya.

Hanya jawaban singkat itu yang diberikan Alexa. Seharusnya pun tuannya tahu jika dia tidak punya biaya masuk ke sekolah memasak. Jika dia punya uang untuk mendaftar, dirinya tidak akan berakhir di tempat pelacuran.

"Begitu, ya…"

Skylar tidak pernah repot-repot memikirkan orang lain selama ini. Dia tahu kalau banyak orang yang tidak mampu, sampai harus membanting tulang demi mencari biaya untuk sekadar menikmati makanan murah. Dia punya uang, hidupnya tidak pernah dihabiskan untuk memikirkan susahnya bertahan di tengah kemiskinan. Apapun yang dia mau, dia bisa dapatkan dengan mudah, sesulit apapun itu bagi orang awam kebanyakan.

Hanya ada satu hal yang pernah dia inginkan, namun tak pernah digenggamnya hingga sekarang. Satu yang semakin jauh darinya, justru semakin diinginkannya.

"Aku tidak pernah bilang, tapi ... masakanmu enak. Kurasa kau punya bakat untuk ini."

Iris emasnya menatap gadis itu dengan sungguh-sungguh. Dia tidak berniat menyelipkan pujian itu hanya karena ingin membuat Alexa senang ataupun berbohong karena kasihan padanya. Skylar hanya mengatakan sebuah fakta. Sebuah pujian yang keluar dari mulutnya tentu tidak main-main, mengingat betapa dia sering mencicip makanan-makanan yang dibuat oleh para chef terkenal di restoran dengan tiga bintang Michelin.

Gadis itu tercengang mendengar pujian dari tuannya.

"Terima kasih." Dia tersenyum sembari mengangguk singkat dan mengalihkan pandangannya kembali pada piring berisi makan malamnya yang masih tersisa banyak. Pipinya merona merah. Dari semua hal di dunia, dan dari semua hal yang dia lakukan, Alexa lebih senang dipuji masakannya enak daripada hasil kerja yang bagus atau semacamnya.

"Kalau kau membutuhkan buku resep masakan baru atau apa, katakan saja. Kurasa tidak ada buku semacam itu di sini. Atau ada? Entahlah. Aku tidak tahu apa saja yang ada di rak buku, semuanya koleksi orang tuaku." Pengecualian untuk buku yang berada di kamarnya, karena semua buku itu merupakan koleksi pribadinya. Sementara buku-buku yang berada di ruang kerjanya dan di lantai satu kemungkinan besar milik ibunya yang ditinggalkan sebelum pindah dari tempat ini.

Skylar tak tahu apa yang akan dia dapat dengan memberitahukan informasi tidak penting semacam itu kepada pelayannya. Selama ini, dia selalu meminimalisir interaksi dengan gadis itu. Skylar tak pernah membicarakan mengenai dirinya sendiri, tidak pula dengan keluarganya. Bila dilihat dari sisi pandang Alexa, kehidupannya pasti merupakan misteri—sama sepertinya yang sama sekali tidak tahu apapun mengenai gadis itu.

"Terima kasih," balas Alexa singkat, karena dia tak tahu harus menjawab apa lagi. Dia sudah sangat terbantu dengan segala kebaikan yang sudah diberikan tuannya. Alexa merasa dirinya tidak perlu meminta hal yang lebih banyak daripada ini. Gaji bulanannya sudah keluar. Dia bisa membeli buku resep dengan uangnya sendiri. Apalagi, dia baru paham bagaimana cara mencari video di internet untuk mencari menu masakan.

Acara makan malam singkat ini sedikit mengubah cara pandang Alexa terhadap satu-satunya pemuda yang ada di sana. Awalnya, dia mengira Skylar adalah lelaki dingin dan tak berperasaan. Tapi selama satu bulan, Alexa mulai menyimpulkan sendiri kalau orang itu mungkin memiliki hati yang baik. Bisa saja sikap dinginnya ditujukan agar mereka memiliki batas yang jelas, yaitu antara pelayan dan majikan. Tak lebih dan tak kurang.

"Kau masih muda, gadis seumuranmu seharusnya masih berada di sekolah dan bukannya bekerja untuk melunasi utang yang terlampau banyak."

Skylar teringat dengan sepupu perempuannya yang masih sepantar dengan sang pelayan. Elen masih mengenyam pendidikan dan bersenang-senang tanpa perlu memikirkan tentang uang dan utang.

Jujur saja, dia tidak memercayai telinganya ketika mendengar bahwa 'Mischa' akan diberikan padanya seharga utangnya, lima ratus ribu pounds—terlampau mahal untuk seorang pelacur murahan. Mischa hanyalah gadis remaja yang harusnya sekarang belajar untuk berusaha masuk universitas. Apa yang telah dilakukannya hingga membuatnya terjatuh ke lubang utang yang begitu dalam? Di mana orangtuanya? Keluarganya? Skylar tidak mengerti.

Namun, berkebalikan dengan Skylar yang merasa penasaran, Alexa merasa jantungnya berdebar cepat. Rasa senang akibat pujian yang diberikan barusan pun menghilang cepat bagai asap. Lenyap tak tersisa, kemudian digantikan oleh perasaan cemas.

Kedua tangannya meletakkan garpu dan pisau kembali ke atas piring. Tanpa sadar, genggaman tangannya mengerat. Dia tidak suka ke mana arah pembicaraan ini berjalan. Meski pemuda itu belum mengatakan pertanyaannya secara jelas, namun Alexa bisa menebaknya. Biar bagaimanapun, mereka tidak pernah berkomunikasi seintens ini sebelumnya. Alasan mengenai dirinya yang berada di tempat kotor itu pun belum pernah dikatakannya. Alexa pikir, tuannya tidak masalah jika tetap tidak tahu apa yang melatarbelakangi itu semua.

"—Kenapa kau bisa sampai ke tempat pelacuran?"

Satu kalimat itu bagaikan bom yang meledak di dalam kepalanya.

Pertanyaan yang sangat ingin dihindarinya.