webnovel

Pergi Dari Hatimu

Ketika hati tertaut akan cinta, siapa yang bisa mengakhiri jika bukan cinta itu sendiri. Memendam sebuah rasa memanglah tidak enak, apalagi rasa itu tercipta untuk istri dari Kakak kita sendiri. Sekuat hati dan sebisa mungkin mencoba mengusir cinta di hati, nyatanya Gilang Baratama selalu sakit hati ketika melihat sang Kakak bersama dengan wanita yang melekat di hati.

Memutuskan untuk mengasingkan diri, lelaki tampan dan nyaris sempurna itu meminta kepada orang tuanya, agar memindahkan kuliahnya ke Luar Negri saja. Mengenyam pendidikan di sebuah kota, di negara New York sana, menurutnya akan lebih baik dari pada harus melihat sang pujaan hati bahagia bersama Kakaknya.

Walau berat hati, Gilang Baratama harus rela berpisah dengan negri kelahirannya. Dengan kota-tempat di mana ia dibesarkan selama ini. Menatap sendu wajah kedua orang tuanya, Gilang menyalami dan mencium pipi keduanya sebagai salam perpisahan.

"Ma, Pa. Gilang pamit. Do'akan Gilang selalu sehat dan bisa sukses di sana."

"Kami akan selalu mendo'akan yang terbaik untukmu, Nak." Adam menepuk bahu sang Anak, meski bola matanya sudah berkaca-kaca, tetapi dia mencoba tegar untuk sang istri tercinta.

Rasya-sang Mama sudah tidak mampu mengeluarkan kata, isak tangisnya tumpah-ruah mewakilkan hati yang kini dirundung gelisah. Tidak mudah bagi seorang Ibu ketika melepas anak bungsunya pergi jauh, apalagi sampai ke negri seberang. Menghambur memeluk Gilanb, wanita paruh baya tersebut memeberikan salam perpisahan untuk terakhir kalinya pada sang Anak.

Menarik napas dalam, Gilang menatap sang Kakak dan Kakak Ipar. Mengurai pelukannya bersama sang Mama, dia beralih memeluk Erik-lelaki yang sudah berhasil menikahi wanita pujaan hatinya semenjak SMA dulu.

"Gilang pamit, Kak. Jaga Mama sama Papa dan ...." Melirik wanita cantik di samping sang Kakak, Gilang memaksakan senyumnya. "Alesa," ujarnya.

"Pasti, Lang. Kakak akan selalu jaga mereka, kamu juga jaga diri di sana," nasehat Erik.

Mengurai pelukan, Gilang kaget ketika Alesa menghambur memeluknya. Menoleh pada sang Kakak yang tersenyum, lelaki muda itu tetap merasa tidak enak. Mendorong pelan tubuh Alesa, segera berbalik dan pergi sebelum hatinya semakin robek dengan luka menganga di hati.

Selamat tinggal cinta yang kini selalu bermukim di jiwa. Mungkin kenangan tidak akan pernah hilang untuk selamanya, tetapi aku akan mencoba membuat sebuah cerita lama hanya sebagai cerita indah di masanya. Mencoba mengukir sejarah baru dengan lahirnya seorang Gilang yang baru.

Lepas landasnya pesawat membawa segenap jiwa raga Gilang untuk pergi meninggalkan luka yang selalu mengiris di hati. Mengusap sudut mata yang basah, dia menghela napas dan berikrar dalam hati.

Membuang semua cinta yang kini menguasai diri dan mencari sebuah pengganti.

***

Detik berganti menit dan menit pun kini berganti dengan jam. Setelah menempuh perjalanan sebelas jam, Gilang Baratama berhasil menginjakkan kaki di negara New york.

Turun dari mobil, lelaki dengan balutan kaos putih dan celana hitam tersebut menyampirkan jaket kulitnya di bahu. Membenarkan kaca mata hitam, dia berjalan masuk dan menuju kamar yang sudah dipesankan anak buah Papanya terlebih dulu.

Mengedarkan pandangan, meneliti setiap nomor kamar dia berbinar senang karena akhirnya menemukan kamar yang dia cari. Membuka pintu, dia tergelak ketika ada seorang wanita menerobos masuk lebih dulu.

"Siapa kamu?!" kagetnya.

Bukannya menjawab, wanita dengan air muka pias tersebut justru menarik Gilang segera masuk ke dalam. Meletakkan jari telunjuk di ujung bibir, dia panik mengedarkan pandangan.

"Kamar mandi," gumamnya. Panik masuk ke dalam kamar mandi, wanita itu kembali keluar lagi. Mondar-mandir kebingungan dia tidak memedulikan Gilang yang berdiri memperhatikannya di tengah ruangan.

"Kamar. Iya kamar." Berlari ke kamar, dia masuk ke tempat peristirahatan yang harusnya di miliki Gilang itu. "Sstt! jangan bilang siapa-siapa ya?" pesannya.

Menutup pintu wanita itu naik ke atas kasur, meringkuk di bawah selimut, ia menyembunyikan tubuh gemetarnya. "Semoga mereka tidak menemukan," rapalnya berkali-kali.

***

Sementara Gilang masih menggelengkan kepala. "Saya baru masuk ke kamar ini, Pak. Dan saya tidak pernah melihat wanita ini," terangnya.

"Baik, Pak. Terima kasih."

Melenggang pergi meninggalkan Gilang, beberapa lelaki tersebut mengetuk beberapa kamar di sana juga. Ada masalah apa sih? kok, sepertinya mereka ambisi banget buat ngejar itu cewe ya?

Menepuk dahi, Gilang menggeram teringat wanita itu sudah berani menggunakan kamar tidurnya. Menutup pintu, dia mengambil langkah lebar untuk masuk ke dalam kamar.

"Woi! keluar lo!" marah Gilang. Menarik selimut, dia menatap kesal pada wanita yang ternyata tertidur dengan tenangnya tersebut.

"Dia malah tidur." Amarah Gilang semakin meradang. "Bangun!" bentaknya. Menarik tangan wanita itu, Gilang terperanjat kaget ketika dia yang malah di tarik dan terjerembab di atas tubuh seksi tersebut.

Bugh!

"Aaa!" teriakan wanita tersebut menggema di ruangan itu.

Replek membungkam mulut sang wanita, Gilang menggunakan telapak tanganya menghentikan teriakan tersebut. "Jangan teriak," tegurnya.

Hening. Wanita itu sontak terdiam ketika menyadari posisi mereka. Mengerjapkan mata, dia menatap pada bola mata coklat yang meneggelamkan dirinya.

Irama jantung keduanya mengalun kencang bersahutan sama lain. Desir darah mendidih dan naik sampai ke otak. Bergerak pelan, Gilang bukan anak kecil lagi yang tidak mengerti benda kenyal apa yang sedang di tindihnya.

Wanita itu pun bukan seperti anak kecil yang terlalu polos akan hal-hal yang berbau mistis. Jantungnya semakin berdegup kencang karena sesuatu di dadanya semakin tertekan tubuh Gilang. Membuka mulut, dia bersiap mengeluarkan suara cemprengnya.

"Sstt ... gue bilang diam." Melototkan mata, Gilang mengintimidasi wanita di bawahnya. "Mereka masih di luar," terangnya.

Tok-tok-tok!

Benar saja, pintu diketuk keras dari luar sana. Membuat mereka saling melemparkan pandangan dalam raut muka penuh kecemasan.

"Bagaimana ini? Gue takut sekali."

Ini sudah ketukan ketiga, tapi Gilang dan wanita itu masih enggan beranjak karena takut akan orang di luar sana. "Biar gue yang buka, Lo sembunyi dulu saja."

Gilang beranjak turun dari ranjang, tapi wanita itu justru mencegatnya. "Gue sembunyi di mana?"

"Terserah lo, deh."

Gilang pusing, dia ke sini untuk lari dari sebuah masalah. Kenapa justru direpotkan dengan masalah orang lain. "Mau ngumpet di sela ketek, mau di sela hidung kek," gerutunya.

Wanita itu melempar bantal. "Sialan lo, emang muat kalau ngumpet di sana?"

"Ya pikir saja sendiri."

Kenapa justru mereka berdebat sekarang. Sementara ketukan di luar sana justru semakin nyaring. "Ngerepotin banget sih, jadi cewek."

Ceklek!

Pintu sepertinya dibuka, membuat mereka kelimpungan. Gilangjx. sontak menggiring wanita itu ke kamar mandi.

"Kalau orang itu periksa ke sini gimana?" gumamnya.

Menarik lagi, dia membawa ke lemari. Memasukkan tubuh mungil itu, lalu menutup pintunya.

"Uhuk-uhuk! Pengap! Bisa mati gue!"

Menepuk dahi, Gilang kembali membuka dan menyentak tangan sang wanita. Mana tega dia membiarkannya mati kehabisan napas di sana. "Kolong ranjang," cetusnya.

Tidak ada waktu, wanita itu segera tengkurap dan menggeser tubuh masuk ke kolong berdebu tersebut. Gilang bergegas membenarkan seprei agar menjuntai dan menyempurnakan persembunyian wanita tersebut.