webnovel

Suaramu Mengalun Lewat Mimpiku

Adalyn Zada adalah gadis sederhana yang magang di sebuah kantor pemerintah. Suatu waktu dia menerima warisan sebuah alat musik petik yang membawanya ke zaman 1000 tahun sebelumnya melalui mimpi. Di tempat lain, seorang Tuan Muda anak sang wali kota juga mengalami mimpi yang sama. Hingga suatu hari mereka terlempar ke masa yang ada dalam mimpi mereka secara nyata. Keduanya melakukan petualangan bersama untuk memecahkan sebuah rahasia yang berhubungan dengan takdir mereka. Sebuah takdir cinta yang pahit. Apakah mereka bisa menemukan takdir rahasia tersebut?

AeRi_purplish · Fantasy
Not enough ratings
13 Chs

Perempuan Dalam Mimpi (bag.1)

Kata orang mimpi itu hanyalah bunga tidur. Saat terbangun akan terlupakan seiring dengan hembusan napas menyambut sapaan mentari pagi. Tapi bagiku mimpi ini berbeda ... (Jun Byram)

🍁🍁🍁

Langit telah gelap dan awan hitam menggantung di ujung cakrawala. Angin senja musim gugur begitu dingin menggigit tulang. Guratan cahaya kilat mulai membelah langit. Gerimis perlahan turun saat Jun memasuki parkiran apartemennya. Setelah memarkirkan sedan hitamnya, pria berkacamata itu buru-buru menaiki lift yang mengantarkannya ke lantai lima.

Bunyi tombol pintu apartemen ditekan sesaat sebelum Jun memasuki ruang tamu yang mulai temaram. Keheningan menyergap. Hawa dingin udara yang masuk melalui lubang kecil di jendela merayap melalui kegelapan. Sepi.

Menyalakan lampu ruang tamu dan melemparkan tas kerjanya di atas sofa, Jun bergegas membuka lemari pendingin di dapur, meraih sebotol air untuk menyegarkan kerongkongannya yang kering sedari tadi.

Dering telpon genggamnya yang tergeletak di dekat tas kerjanya mengalihkan perhatiannya sejenak. Dipandanginya layar berpendar di hadapannya sejenak kemudian menjawab panggilan dari penelepon itu.

"Apa yang kamu dapatkan?" Suaranya menggema dalam ruang apartemen yang sunyi.

"Aku belum menemukan satu pun yang berhubungan dengan hal yang kamu bicarakan itu. Saranku, sebaiknya kamu bertemu seorang psikiater," jawab orang di sambungan telepon.

"Apa? Buat apa aku menemui psikiater? Maksudmu aku gila?" Wajah Jun mulai menggelap.

"Calm down, Dude! Maksudku ... mungkin seorang psikiater bisa memberikan petunjuk tentang hal yang kamu alami. Atau lebih tepatnya kamu bisa ke ahli hipnoterapi un...," Jun langsung mematikan teleponnya sepihak. Wajah pria itu mengeras karena geram.

Jun mengumpat. Mengapa tak ada satu pun yang bisa memberikan solusi. Dia hanya bisa menggeram kesal dan membanting tubuhnya di atas sofa. Dengan kasar tangannya mengusap rambut hitamnya yang awut-awutan. Letak dasinya pun sudah tidak pada tempatnya.

Dipejamkan matanya. Bayangan mimpi itu terus membayangi pikirannya. Itulah sebabnya dia kadang jarang pulang dan tidur di apartemennya. Jika bukan karena memikirkan harus pergi kerja di pagi hari, maka dia lebih memilih menghabiskan waktu malamnya untuk bersenang-senang bersama teman-temannya. Tapi tidak mungkin selamanya dia menghindari tidur kan? Tubuhnya juga perlu istrahat dan memulihkan tenaga.

Dengan enggan Jun masuk ke kamarnya dan membersihkan diri. Waktu baru menunjukkan pukul delapan malam saat dia masuk ke ruang kerjanya yang terletak di dekat dapur.

Apartemennya hanya terdiri dari satu lantai dengan satu kamar tidur luas lengkap dengan perabotan minimalis, sebuah ruang kamar tidur tamu yang disulap menjadi ruang kerja dengan dua rak buku yang menjulang dan satu set sofa, sebuah dapur kecil dan lengkap yang sangat jarang digunakan, serta ruang tamu yang cukup luas.

Setelah melakukan beberapa panggilan telepon dan memeriksa dokumen penting untuk rapat pada hari berikutnya, Jun meninggalkan ruang kerja dan melangkah ke kamar tidurnya. Hujan masih mengguyur bumi meninggalkan titik-titik embun yang mengaburkan kaca jendela.

Matanya masih nyalang meskipun tubuh tegapnya telah tertutup selimut tebal di atas tempat tidurnya. Kelebatan malam-malam sebelumnya hinggap di ingatannya. Walaupun dia jarang bermimpi buruk, namun Jun tetap berharap suatu malam dia tidak akan mengalaminya lagi.

Pertarungan pikirannya ditambah lelah tubuhnya yang bekerja seharian memaksa matanya tertutup ketika malam sudah beranjak dini hari. Sepi kembali menyelimuti ruangan temaram itu, membawa Jun berkelana bersama hembusan angin musim gugur yang menerbangkan kelopak bunga Tabebuya berwarna merah muda.

Langkahnya berhenti di depan sebuah pavilium terbuka di tengah sebuah kolam. Alunan lagu yang dimainkan dengan sebuah *Guzheng menembus rongga pendengarannya. Lagu sendu bernada rindu. Mendayu-dayu seolah-olah ingin menyampaikan sebuah pesan rahasia dari hati.

Jun mengedarkan pandangannya ke sekelilingnya. Seketika menyadari kini dia telah berpindah tempat. Apakah ini mimpi, lagi?

Dengan langkah perlahan, Jun menghampiri pelataran pavilium, duduk di depan seorang perempuan berbaju merah lebar, berhias kepala sebuah *Dulina berwarna merah, rambut panjangnya terurai melewati punggungnya. Jun bergerak pelan seolah takut mengusik keasyikan sang perempuan bernyanyi dan bermain alat musiknya, larut dalam bening dan indah suara itu.

Namun yang mengherankan, Jun tidak bisa memindai dengan jelas wajah sang perempuan. Seakan ada selembar kain cadar tipis yang menghalangi pandangan ke wajahnya. Jun ingin menyingkap kain tipis itu tapi tangannya tidak bisa bergerak sama sekali hingga perempuan itu selesai melantunkan lagunya. Duduk di sana tak bergerak. Hening.

Jika di mimpi-mimpi sebelumnya pria itu hanya terpaku memandang perempuan pemain musik itu hingga dia terbangun, kali ini Jun memberanikan diri bertanya padanya.

"Siapa kamu sebenarnya?" tanya Jun dengan suara tercekat. Pita suaranya seolah dipelintir.

"Yang Mulia, apakah Anda sudah lupa padaku?" Suara perempuan itu mendayu lembut di telinga Jun. Jun terkesiap dan terdiam beberapa saat. Kebingunan melingkupi pikirannya.

"Aku ... ku rasa aku tidak pernah bertemu denganmu di tempat lain kecuali ... di sini." Rasanya sulit bagi Jun untuk mengeluarkan suaranya. Otak pintarnya berusaha mencerna situasi. Tapi, bukankah ini dalam mimpi? Mengapa ini terasa nyata?

"Yang Mulia Anda benar-benar melupakanku." Sebuah senyum samar tergurat di bibir perempuan itu. "Aku adalah Myria."

"Myria?" gumam Jun lirih.

"Aku tidak pernah mendengar nama itu."

Hening membentang di antara desau angin malam. Samar masih terdengar suara alunan musik di kejauhan seolah menjadi latar percakapan mereka.

"Ini hanya mimpi," gumam Jun sembari kembali menatap tajam perempuan berbaju merah itu.

"Mengapa kamu masuk ke dalam mimpiku?" cecar Jun dengan suara berat.

"Karena itu adalah takdirmu."

"Apa ...?" sentak Jun dan langsung terbangun dari tidurnya.

#Bersambung ...

🍁🍁🍁

Ket :

*Guzheng : salah satu alat musik petik seperti kecapi

*Dulina : sebuah mahkota berbentuk topi bulat tanpa tutup di atasnya dipakai oleh wanita dalam kisah ini (hanya karangan author)

🍁🍁🍁