webnovel

Prolog

Tik tik tik

"Jadi, aku hanya bisa hidup selama satu minggu?" Suara hujan diluar mengaburkan gumaman yang keluar dari mulutku.

Aku menatap kosong jam dinding yang tergantung di depanku. Aku diam, hanya merasakan waktu yang terus berjalan.

"Kak…"

Aku bahkan tidak ingin menjawab panggilan adikku, hanya menatap jam di depan dalam diam. Merasakan badai yang datang ke hatiku. Berpikir tentang semua perjuanganku selama sepuluh tahun hanya untuk harapan yang sederhana, hidup. Mempertahankan jalanku untuk terus maju hanya untuk bertemu tembok yang besar, sangat besar.

Aku mengarahkan pandanganku ke jendela, melihat hujan yang turun dengan deras membuatku merasa dingin. Ada awan hitam yang tidak sanggup menanggung beratnya harapan, hanya bisa menumpahkannya ke dasar tanah. Air mata yang selalu tertahan akhirnya mengalir di pipiku.

— — —

Aku hanya bisa menunduk setelah menyampaikan berita menyedihkan ke kakakku, Arel Elmin. Kakak bahkan mengabaikan panggilanku, untuk pertama kalinya kakak terdiam begitu lama.

Aku yang selalu melihat kakak tersenyum di saat sulit tidak bisa menerima diamnya kakak, hanya bisa menunduk. Kakak yang selalu membuat hidupku penuh warna, sekarang hanya diam. Pikiranku kosong, tidak tahu harus berbuat apa.

Tes

Aku yang bahkan mengabaikan suara hujan deras di luar, terpaku dengan tetesan air. Hatiku bergetar, menolak kemungkinan terbesar yang datang. Pandanganku kabur, menolak jatuhnya air mata yang berkumpul.

Tes

Untuk yang kedua kalinya, ketakutan datang. Aku takut untuk menerima kenyataan yang ada.

Tes

Suara yang kutolak malah terdengar semakin jelas di telingaku, menyelinap masuk ke pikiranku.

Tes

Suaranya semakin jelas dan jelas. Aku menguatkan hatiku untuk mengangkat kepalaku.

Tes

Sedih, takut, kecewa, semua perasaan yang kurasakan hilang. Aku menatap kakak, pikiranku kosong. Aku tidak percaya dengan pemandangan yang aku lihat. Mustahil, itu mustahil. Mengapa, mengapa tuhan merenggut senyum kakak? Getaran dihatiku yang telah kutahan, bergerak bebas merayapi semua bagian tubuhku.

Dengan tubuh yang gemetar, aku berjalan ke kakak. Setiap langkah yang kuambil semakin mengaburkan pandanganku. Mengangkat tanganku perlahan-lahan dan langsung menyambar pakaian kakakku.

Wa waaaaaa

Air mata yang telah kutahan tumpah semua. Menangis keras di punggung kakakku. Setelah semua, aku tidak peduli dengan apapun. Aku hanya ingin menangis, menangis dengan keras sebagai keluhan kepada tuhan.

— — —

Tubuhku tegang, aku melupakan keberadaan adikku, Amadia Elmin. Aku baru sadar saat dia telah menangis. Aku terburu-buru menyeka jejak air mata di wajahku dan berusaha untuk berbalik hanya untuk menemukan eratnya cengkraman tangan adikku. Semakin aku mendengarnya, semakin banyak jarum yang menusuk hatiku. Merasa kesal karena ketidakmampuanku dalam menerima kenyataan.

Seiring waktu berlalu perlahan, suara tangisan yang keras sekarang menjadi isakan lemah. Aku mencoba berbalik perlahan setelah adikku menurunkan tangannya.

Hiks hiks

Melihatnya menunduk seperti menyembunyikan semua keluhannya, hatiku semakin sakit. Gadis yang selalu mengekspresikan semuanya sekarang berusaha bersembunyi.

Menahan badai di hatiku, aku hanya menatapnya dan tidak berusaha untuk menghiburnya. Aku hanya bisa menariknya ke dalam pelukanku untuk mendukungnya dalam diam. Menenggelamkan jari-jari tanganku ke dalam rambut kepalanya, mengelus rambutnya yang halus, aku berbisik "Tenanglah Amadia."

Merasakan jejak kehangatan yang datang ke tubuh yang dingin, aku berusaha untuk memeluknya lebih dalam. Bukan hanya untuk menenangkan adikku, ini juga bagus buatku untuk merasakan kehangatan di ujung jalan.

Semakin aku menenangkan diri, aku menemukan nafas adikku yang semakin lambat dan tenang. Aku pikir dia telah tidur karena kelelahan saat menangis. Lagipula, aku jarang melihatnya menangis, apalagi dengan suara yang keras seperti sebelumnya.

Segera, aku mulai turun dan membenarkan posisinya, membuatnya tidur di tempat tidur. Saat aku ingin duduk di kursi, aku melihat adikku mengubah posisi tidurnya menjadi meringkuk. Tangannya mulai bergerak ke kanan dan ke kiri seperti berusaha mencari sesuatu yang hilang. Aku menggenggamnya dan itu mulai diam, tapi hanya untuk menemukan kakinya yang bergerak seperti mencari pijakan.

'Apakah mimpi buruk?' aku tidak bisa tidak berpikir seperti itu melihat kondisinya. Aku hanya bisa datang dan duduk di sisi tempat tidur, mengangkat kepalanya untuk tidur di pangkuanku, menggenggam tangannya menggunakan tangan kiriku, mengelus rambutnya yang halus dengan tangan kananku dan berbisik untuknya "Aku masih disini Amadia, mimpilah dengan indah."

Melihatnya yang tertidur dengan manis membuatku merasa sangat disayangkan, jika ini hanya berlaku selama seminggu. Tapi kurasa itu sudah cukup untuk membuat dirinya menerima kenyataan pahit ini.

Tersenyum untuk menghibur diri ini yang menyedihkan, aku melihat keluar jendela. Aku menemukan bahwa awan hitam di atas telah berhenti merengek dan tersenyum indah.