webnovel

Penjemputan

Pagi hari,

Mia sudah bangun sejak subuh tadi. Tapi dia masih enggan untuk keluar kamar. Tidak seperti biasanya saat subuh menyapa , Mia sudah ada di dapur tenggelam dengan semua kesibukan dapur dan rumah dengan segala antah berantah nya sampai sore hari. Bahkan dia sering lupa untuk makan.

Semua kebutuhan seisi rumah Mia yang menyiapkan, tidak boleh ada pelayan yang diijinkan untuk membantu nya. Dan itu sudah menjadi peraturan sejak kecil bagi nya.

Tapi tidak untuk pagi ini. Mood nya hilang mendadak. Matanya sayu memandang kosong. Tak ada yang dipikirkan kecuali pernikahan nya yang akan di jelang besok.

Suara derap langkah terdengar. Pelayan keluarga Kuncoro masuk ke kamar Mia dan menghampiri.

"Nona Mia. Tuan Gani memanggil anda. Nona disuruh menemuinya sekarang."

"Ada apa?" Tanya Mia tanpa menoleh pada pelayan perempuan itu.

"Ada utusan dari keluarga Mahendra. Ingin menjemput Nona hari ini katanya." Jawab pelayan itu. Sambil berjalan meraih koper besar milik Mia.

"Apa yang akan kau lakukan dengan koper ku bi?" Mia bertanya ketika melihat itu.

"Nyonya Tiara menyuruh bibi untuk membantu Nona berkemas."

"Berkemas?"

"Hari ini, nona sudah harus tinggal di rumah keluarga Mahendra. Maafkan bibi Non. Hiks..hiks…!" Sang pelayan itu menangis , seketika berhambur memeluk Mia. Pelayan itu bernama bi Sumi, satu satu nya orang yang menyayangi dan peduli pada Mia selama ini.

"Sudah , sudah bi. Jangan bersedih. Aku akan baik baik saja." Mia menepuk nepuk lembut punggung pelayan itu. Berusaha menenangkan tangisnya.

Padahal hati nya sendiri saat ini sedang menjerit, hanya Mia berusaha untuk tidak menangis sedikit pun. Dia berjanji akan menunjukan pada semua orang jika pernikahan nya ini tidak akan membuat nya tertekan atau merasa menderita. Mia bertekad, dengan keluarnya dia dari rumah ini, maka penderitaan nya akan segera diakhiri dan akan membuktikan jika anak haram ini juga bisa berguna untuk keluarga nya.

Pelayan itu melepaskan pelukan nya, masih menangis, lalu melangkah membuka lemari. Mengambil beberapa baju milik Mia dan memasukkannya ke dalam koper.

"Bawa ini Non, siapa tau disana Nona membutuhkan nya." Bu sumi mengambil sebuah buku. Buku tentang pengobatan yang pernah ia beri kan pada Mia. Bi Sumi memasukan buku itu sekaligus di koper.

Mia menatap sedih. Tapi dia harus kuat.

Mia melangkah membuka pintu.

Di lihat nya dua saudara perempuan nya sudah berdiri di depan nya.

"Kau lambat sekali! Calon keluarga pengantinmu sudah menunggu mu. Tidak sabar untuk membawa mu menemui calon suami cacat mu itu." Sambut Yuri dengan ucapan yang menusuk telinga Mia.

Mia diam saja. Tidak mau melayaninya.

"Lihat lah Yuri. Belum apa apa dia sudah sombong. Mau jadi istri Pangeran cacat saja sudah berani sama kita. Aku ingin sekali mencekiknya." Tambah Jihan.

"Sudah biarkan saja. Sebentar lagi , anak haram itu akan pergi dari sini. Mata kita jadi tidak akan sakit lagi karena melihat nya." Sahut Yuri.

"Apa kalian sudah selesai? Kalau sudah, aku harus segera menemui ayah. Paham kan ayah dan ibu akan marah jika aku terlambat." Ucap Mia melangkah kembali, meninggalkan dua adik nya yang semakin kesal padanya.

"Dasar anak haram! Tidak tau diri!" Umpat Jihan.

Mia tidak mendengar, terus melangkah dan menghampiri orang tuanya yang sudah menunggu di ruang tamu.

Mia bisa melihat, dua orang asing didepan nya . Salah satu dari mereka menundukkan kepalanya seperti sedang menghormatinya.

Mungkin mereka yang akan menjemputnya? Perwakilan dari keluarga Mahendra.

"Sini sayang?" Ucap lembut Tiara ,menarik tangan nya untuk duduk di samping nya.

Mia menurut saja. Duduk dengan tenang. Padahal hati nya sudah tidak karuan. Jantung nya bergemuruh. Tangan nya sempat terkepal dan meremas lututnya sendiri.

Gemetaran tubuhnya, tapi Mia mencoba sekuat tenaga untuk melawan gamang nya.

"Perkenalkan. Beliau ini adalah Tuan Abraham. Paman dari calon suami mu. Dan yang di samping beliau adalah sekretaris pribadi Tuan muda Garra, calon suamimu. Namanya pak Ang." Tiara memperkenalkan nya dengan bangga pada Mia. Mia tersenyum menunduk kan kepalanya tanpa menatap dua pria di hadapan nya itu.

"Mulai hari ini, kau harus tinggal bersama mereka di rumah utama milik keluarga Mahendra. Karena besok adalah hari pernikahanmu dengan Tuan muda Garra." Ucap Tiara kembali, sambil mengelus lembut rambut Mia dengan penuh kasih sayang.

'Cih... sungguh sempurna sandiwaranya!'

Pikir Mia.

"Apa Nona sudah siap?" Tanya sekretaris Ang.

Mia masih tersenyum dan hanya mengangguk.

"Baguslah. Kalau begitu kita berangkat sekarang saja Tuan Ang." Ucap Abraham.

Sekretaris Ang mengangguk. "Silahkan Nona." Ucap nya pada Mia.

"Kami permisi dulu Tuan Gani,. Nyonya Tiara. Terimakasih atas kerjasamanya. Putri anda kami bawa .Dan ini , sesuai janji saya." Ucap Abraham meletakan sebuah koper di meja sebelum melangkah.

Mia sempat melirik koper tersebut, melirik wajah kemenangan Tiara dan senyum bahagia di sana.

'Itu pasti uang. Uang hasil penjualan diriku!'

Hati Mia menggumam. Entah kenapa terasa begitu pedih.

Harus begini kah cara nya membalas Budi mereka?

Bahkan Ayah nya tidak mengatakan apapun padanya saat langkah terakhirnya di rumah itu. Walaupun hanya sekedar ucapan selamat berpisah sekali pun.

Saat ini, mobil yang membawa Mia sudah melaju dengan cepat. Tidak ada percakapan sedikit pun di dalam mobil yang terisi tiga kepala itu.

Mia duduk di kursi belakang. Matanya menatap keluar kaca, memandangi pepohonan yang tinggi berjejer di pinggir jalan,pikirannya mulai melayang kemana mana.

Tidak sampai lama mobil itu berhenti di sebuah Rumah yang sangat besar dan megah.

Abraham turun lebih dulu dan melangkah begitu saja dengan sedikit terburu tanpa menunggu mereka.

Sekretaris Ang membuka kan pintu untuk Mia dan membawa nya melangkah masuk.

Kaki Mia terlihat gemetaran saat melangkah memasuki pintu. Gadis itu mengedarkan pandangan nya. Tampak rumah itu bak istana.

Sekretaris Ang membawa nya menaiki tangga. Dan berhenti di sebuah ruangan di mana di sana Tuan Abraham sudah duduk manis bersama istrinya.

Mia masih gemetaran, tapi ia mencoba untuk menyembunyikan nya.

"Duduk lah!" Suara nyonya Sintia, seperti memberi perintah.

Mia menoleh pada sekretaris Ang yang masih berdiri di samping nya. Pria dewasa itu mengangguk samar.

Mia melangkah dan duduk.

Sintia melemparkan sebuah kertas di atas meja tepat di depan Mia.

"Baca dan pahami, setelah itu tanda tangani." Ucap Sintia terdengar sama sekali tidak bersahabat.

Tangan itu masih sedikit gemetar untuk meraihnya. Lalu Mia membaca nya.

Surat perjanjian. Itu lah yang terbaca oleh Mia. Isi nya tidak lain adalah, mengenai sebuah perjanjian saat Mia sudah menjadi istri Tuan muda Garra nanti.

Perjanjian yang harus Mia sepakati dan peraturan yang harus ia patuhi.

Isi surat perjanjian itu di antaranya,

Mia tidak boleh ikut campur urusan keluarga Mahendra apapun itu.

Mia hanya perlu mengurus Garra dan menemaninya. Tidak harus melakukan apapun diluar urusan mengurus Tuan muda Garra.

Tidak boleh menemui siapapun tanpa ijin dari Nyonya Sintia atau Tuan Abraham. Karena saat ini tidak mungkin meminta ijin pada tuan muda. Jadi semua yang mengatur adalah Nyonya Sintia dan Tuan Abraham.

Di sini Mia hanya sebagai istri tanpa punya hak apapun atas kekayaan suaminya, jadi tidak boleh menuntut apapun. Dan yang terakhir, adalah semua urusan tentang Garra diserahkan pada Mia.

Mia membaca nya dengan teliti. Merasa heran dan merasa ada yang salah dengan surat perjanjian itu. Tapi dia tidak ingin ambil pusing.

Baginya, pernikahan ini hanyalah pernikahan di atas kertas, bisa dikatakan hanya sebatas jual beli. Dia tidak mungkin menuntut apapun.

"Apa kau paham?" Tanya keras Sintia.

Mia mengangguk, " Terima Kasih atas petunjuk nya Nyonya, kedepannya saya akan berusaha dengan baik dan tidak akan mengecewakan." Mia tersenyum, walaupun harus berpura pura, lalu meraih pena yang juga tergeletak di atas meja.

Dan Mia menandatangani surat itu.

Wanita di depan Mia itu tersenyum senang.

'Sungguh bodoh. Cocok sekali kau bersanding dengan mayat hidup itu.'

"Bawa dia ke kamar nya Ang, sore ini juga kita akan menikahkan mereka." Ucap Abraham.

"Hah!" Mia terkejut.

'Bukankah harus nya besok? Apa ini? Apa tidak perlu persiapan apapun jika orang kaya menikah?' Ucap polos Mia, tapi hanya dia saja yang mendengarnya.