"Sebentar, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" Lisa dan Oscar saling bertukar pandang dengan mata menyelidik. Sepertinya Lisa pernah bertemu dengannya. Namun Lisa masih belum mengingat di mana ia bertemu dengan pria berjas hitam itu.
"Apakah kau tidak mengingat wajahku Lisa?" Pria itu sangat tampan. Struktur tulangnya sangat sempurna. Tulang pipi dan rahangnya tegas. Hidungnya mancung dan lancip. Terlebih bibirnya yang sensual. Tipe pria yang wajahnya biasa terpampang di majalah fashion atau iklan skincare.
Pria berdarah Eropa itu mendekati Lisa yang berdiri di dekat meja presdir. Perlahan tangannya menggapai pinggang Lisa dan memeluknya. Genggamannya begitu erat. Aroma parfum mahalnya tercium dari balik kemeja putihnya, sungguh memabukkan. Suhu tubuhnya menghangatkan Lisa di balik pelukan itu.
"Malam itu bibir kita berdua saling bertaut dan tubuh kita menyatu." Oscar melanjutkan dengan sedikit menggoda Lisa, "Malam itu kau sangat menikmati permainan cinta kita. Masih ingatkah kau mengerang sangat keras dan lemas?"
Oscar mendekatkan wajahnya pada Lisa, bibirnya menyusuri kurva wajah Lisa yang mungil. Tanpa disadari, Lisa mendorongnya hingga nyaris terantuk ujung meja.
Pria kurang ajar! Beraninya ia merangkulnya di tempat kerja seperti ini pikir Lisa. Dan anehnya Lisa tidak berontak sama sekali?! Pria ini seakan - akan menanamkan sihir kepada Lisa sehingga Lisa hanya mampu bergeming.
Oh tidak apa yang harus kulakukan?
Sudah jelas Pria ini sangat kuat, Lisa tidak mampu melepaskan diri dari genggaman si Pria. Lisa sangat sadar dan paham bahwa Pria ini memang tampan selangit, tetapi dirangkul dan digoda di tempat kerja seperti ini tentu membuat Lisa menjadi takut dalam jentikkan jari!
Mungkin jika kejadiannya di kelab malam atau di tempat selain kantor dan tempat umum, bisa dipastikan Lisa akan mengambil tindakan untuk berbuat lebih dari sekedar berpelukan dengan pria asing tampan ini! Siapa yang tahan dengan ketampanan pria asing ini? Semua wanita pasti akan jatuh bertekuk lutut padanya!
Sejenak Lisa terdiam, ingatan tentang kejadian di Sky Lounge mulai teringat kembali dalam benaknya yang sudah mulai mendapatkan kesadarannya. Potongan demi potongan ingatan tersebut mulai membentuk sebuah rekaman yang utuh.
Perlahan, sosok imaji seorang Dimas yang sedang berbincang kepada Lisa lewat telepon mulai jelas. "Bule yang kemarin Lis, itu temen lo? Kemarin gue liat lo pingsan dan digotong sama bule!"
"Kamu! Kamu yang waktu itu di Sky Louge??" tanya Lisa dengan nada tinggi. Matanya terbelalak, kaget sekaligus tidak percaya.
"Bagaimana, sudah ingat nona?" Oscar merangkulnya dari belakang, kali ini menghirup aroma rambut Lisa yang semerbak bunga mawar.
"Dasar cowok bajingan!" Lisa menyibakkan tangan Oscar dengan garang "Lepaskan aku! Ini pelecehan!"
"Wow, santai nona. Saya di sini hanya mau berkenalan dengan nona lebih dalam."
Lisa tidak berdaya di hadapan pria ini. Secara fisik, Lisa jauh lebih lemah dan baku hantam dengan presdir di tempat kerja bukanlah pilihan yang bijak. Lisa memilih untuk meronta demi lepas dari pelukan Oscar.
"Maksud anda apa menjadi presdir baru di perusahaan ini?" Lisa menatap Pria itu dengan wajah tidak percaya. "Mengapa harus anda?"
"Kamu dengar sendiri bukan tadi? Ayah saya sudah tua, sudah sepantasnya beliau pensiun bukan? Dan kau pikir siapa lagi yang akan menggantikan posisinya sebagai presdir Petersson Communication?"
"Ini tidak masuk akal! Beberapa bulan lalu saya dengar Pak Bisma kepala departemen pemasaran akan diangkat sebagai presdir yang baru setelah Pak Peter pensiun!" tukas Lisa.
"Kamu tadi dengar sendiri kan jika perusahaan ini adalah perusahaan milik keluarga ayah saya bukan? Sudah semestinya untuk menjaga kemurnian pemilik perusahaan ini maka yang pantas untuk menjadi presdir adalah dari keluarga ayah saya kan?"
Lisa mengangguk enggan, tangannya mengepal menahan amarah yang meggebu.
"Dan saya Oscar Petersson, putra semata wayang dari Peter Petersson. Berarti saya adalah?"
"Pewaris perusahaan Petersson Communication yang sepantasnya," jawab Lisa masih dengan tatapan penuh ketidak percayaan.
Oscar tersenyum menyeringai mendegar jawaban Lisa yang tepat. Ia kemudian duduk di kursi ayahnya. Kakinya yang panjang dan mantap ia silangkan layaknya seorang presdir. Menghadap ke arah Lisa yang masih berdiri di dekat meja presdir. Oscar menyilakan Lisa untuk duduk kembali dan memulai pembicaraan. Kantor presdir yang tadinya hening mendadak menjadi dingin mencekam. Sungguh pria ini memancarkan aura - aura yang mengintimidasi!
"Berhubung saya sudah menjadi CEO perusahaan ini, dan minggu depan kamu sudah resmi menjadi sekretaris pribadi saya. Saya punya beberapa peraturan dan permintaan khusus untukmu."
Lisa tidak mengeluarkan sepatah kata apapun. Ia hanya mengangguk dan mendengarkan. Keringat dari pelipisnya mulai mengalir ke kerah bajunya. Sesekali Lisa menyeka pelipisnya.
"Pertama - tama, saya tidak ingin drama di kantor ini. Gosip, cercaan, rundungan, atau apapun yang mampu memecah belah kerja sama antar pegawai!"
Lisa bergumam dan mengangguk, "Baik."
"Kedua, gunakan waktu kerja dengan efisien!"
Lisa mengangguk lagi. Ia menyilangkan kakinya yang mulai kedinginan.
"Ketiga, saya ingin kamu mengenakan kemeja putih dan rok hitam ketat dan pendek." Tatapan mata Oscar mulai nakal sedikit menggoda "Kira - kira sepanjang sepuluh sentimeter diatas lutut."
Mendengar permintaan terkahir Oscar, sontak Lisa menyergah dengan suara melengking. "Pak! Ini kantor bukan kelab malam!"
"Lisa dengarkan saya, saya sudah ambil alih perusahaan ini, jadi kamu ikuti perintah saya!"
"Tetapi tidak semena - mena seperti ini juga Pak!"
"Lisa, jika saya menjadi kamu… Saya akan menuruti semua perintah dari atasan!" ujar Oscar, agak sedikit kesal.
"Jika saya tidak memenuhi permintaan anda?" Lisa menyilangkan lengannya dan menyipitkan mata.
"Oh itu mudah saja, ada dua pilihan," Oscar beranjak dari tempat duduknya, Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Lisa "Kamu bisa menulis surat pengunduran diri atau kamu harus memuaskan saya di kantor."
Lisa menelan ludah, ketakutan sekaligus kesal. Memuaskan Oscar di kantor? Dia kira ini warung pangku?!?
"Tidak sulit bukan?" Oscar duduk kembali sambil menopang dagu.
"Tidak adil, ini sungguh tidak adil!" Lisa menunduk, perlahan meneteskan air mata yang tiba - tiba mengalir.
"Begini Lisa, saya paham akan keadaan finansialmu. Kamu sangat membutuhkan pekerjaanmu ini bukan untuk dapat bertahan hidup?" Pria itu beranjak lagi dari kursi presdir, menyentuh pundak Lisa, perlahan membelainya.
"Membayar semua tagihan rumah tangga, membiayai kuliah adikmu, membayar biaya berobat ibumu yang sakit, membayar pajak rumahmu yang sudah lewat tanggal jatuh tempo." Oscar tersenyum licik melihat Lisa yang tidak berdaya di hadapannya.
Lisa sudah kehabisan ide untuk berontak. Lisa tetap yakin ia tidak akan sanggup melawan pria ini secara fisik. Lisa memilih untuk diam dan pasrah saja.
"Lisa Soewandi…" bisik Oscar tepat di telinga Lisa.
"Bagaimana kalau saya tunjukkan cara memuasakan saya di kantor? Kemarilah..." ajaknya sembari mengulum lembut ujung telinga Lisa.
"Pak… Jangan di kantor…."
"Heh, kan perjanjiannya sudah jelas sayang?"
Dari luar ruang presdir. Terlihat Karina baru saja mengambil arsip keuangan dari lantai lima. Ia melewati lorong kosong dan berpapasan dengan ruang presdir. Samar - samar Ia mendengar suara seorang wanita mengerang dari ruang presdir. Dengan langkah mengendap - endap, Karina mengintip dari luar jendela presdir. Di dalam, Ia melihat Lisa sedang duduk di atas pangkuan Oscar. Matanya menyipit, bibirnya mengkerut sengit melihat pemandangan tidak senonoh itu.
"Dasar cewek jalang!"