2 Mabuk Lagi

Dimas sesungguhnya enggan memberikan botol soju yang keempat itu kepada Lisa. Sebagai teman dekatnya, Dimas harusnya membatasi jumlah alkohol yang dipesan oleh temannya itu. Namun sebagai bartender, Dimas tetap harus menuruti permintaan pelanggan. Pelanggan adalah raja!

Wajah Dimas sekejap berubah masam. Bibirnya tersimpul menahan rasa jengkel. Dimas menyodorkan botol soju yang keempat dengan sedikit kesal. Alis hitam tebalnya saling bertemu.

"Thank you, Dimas you are the best!" Lisa membuka tutup botol soju yang masih tersegel itu serta meneguknya, kali ini dengan terburu - buru. Wajah Lisa mulai memerah akibat minum alkohol berlebihan, sudah mirip kepiting rebus saja kini! Matanya mulai berkedip - kedip lambat seperti saat Lisa mengerjakan laporan keuangan di kantor ketika lembur.

"Gila Lis, muka lo jelek bener kalo mabok begini!" ejek Dimas kesal.

"Jelek - jelek begini gue sekretaris terbaik di perusahaan Petersson!"

"Maksud kamu sekretaris simpanan bos?" tanya si bartender sinis.

"Sembarangan kau Dim! Prestasiku di perusahaan itu tidak perlu dipungkiri lagi Dim!" Lisa mulai menaiki kursi bar dan berpidato, "Gue anak kesayangan Bos Peter! Seluruh karyawan kenal sama gue! Siapapun yang berani menghadang gue maka dia akan menemui ajalnya!"

Dimas semakin lelah menanggapi semua ocehan tidak jelas si Lisa yang mabuk. Karenanya, ia kembali mencuci gelas - gelas bekas yang baru saja mendarat di meja Bar. Berhadapan dengan teman sendiri di tempat kerja sering kali memang sulit. Terlebih ia tidak ingin membiarkan kawannya itu terjerumus dalam kenistaan namun ia juga harus melaksanakan pekerjaannya dengan baik. Sungguh dilematis.

Malam semakin larut tetapi kerumunan di Sky Lounge tidak kunjung mereda, melainkan semakin meriah! Dentuman musik elektronik menggema hingga ke atas langit malam kelam tak berbintang. DJ memainkan lagu - lagu andalannya untuk mewarnai malam yang bisu.

Tanpa sadar, botol soju yang keempat tersebut langsung habis. Dengan kepala yang mulai terasa ringan, Lisa kemudian menyodorkan botol soju kosong itu kepada Dimas dan berkata, "Dimas… Satu lagi dong?"

"Lo gila Lis!" bentak Dimas marah melihat temannya yang sudah tidak karuan karena mabuk. "Empat botol soju itu udah terlalu banyak buat sehari Lis!"

"Heh, lo masih belum paham juga Dim? Mabok ato enggak, itu bukan urusan lo!" Lisa mendekatkan wajahnya ke wajah Dimas dan berkata, "Lagipula tanpa uang gue, lo juga nggak akan bisa makan bukan?"

Dimas mengerenyitkan dahi dan berucap, "Lis, tapi nggak begini juga! Sudah cukup minum - minuman beralkoholnya! Gue buatin jus jeruk atau soda limun aja."

"Dimas! Gue mau Soju! Bukan minuman anak - anak!"

"Nggak Lis! Soda limun saja!"

"Dimas!" Lisa menarik kerah baju Dimas dengan amarah terbakar. Dimas kemudian menepis tangan Lisa yang menggenggam erat kerah bajunya.

"Lis sudah! Cukup minum minuman kerasnya! Gue sebagai teman lo sudah seharusnya nolongin lo bukan? Lihatlah lo sekarang, mabok mabok nggak jelas! Pikirkan kerjaan lo Lisa! Ibu dan adik lo ntar harus tinggal di mana kalo lo dipecat?"

Amarah Lisa semakin terbakar oleh aliran soju dan vodka yang ia tenggak. Bukannya mengikuti nasehat Dimas, Lisa mengacungkan jari telunjuk lentiknya ke hadapan Dimas yang tengah meracik minuman. "Hei! Lo jangan sembarang bicara ya!" sergah Lisa dengan suara lantang dan menantang, "Kalau bukan karena gue, lo nggak akan makan hari ini dan besok dan seterusnya!"

"Lis pulang sekarang! Lo udah mabok parah!" Dimas sudah kehilangan kesabarannya, satu - satunya hal yang akan Dimas lakukan bila Lisa masih bersikeras memesan alkohol lagi adalah memanggil sekuriti dan terpaksa menyeret Lisa keluar dari Sky Lounge.

"Nggak mau!"

Mendengar hal tersebut membuat Lisa semakin tidak menghiraukannya. Kesal, Lisa mulai melangkahkan kakinya ke lantai dansa, bergabung dengan sekumpulan pria asing yang sama - sama mabuknya. Ia menggoyangkan tubuhnya, mengikuti alunan musik kelab malam yang menulikan, melepas rasa marah dan kesalnya terhadap Dimas dan si mantan brengseknya.

Ah, seandainya hubungan cintanya tidak harus berakhir buruk tentu Lisa tidak akan mabuk - mabukan seperti ini.

Seketika itu juga, Lisa melepas ikat rambutnya. Rambut hitamnya yang halus dan berkilau pun jatuh terurai menutupi bahunya dan ikut terkibas seirama dengan gerakan dansanya.

Blazer merah senada dengan rok ketat yang ia kenakan memeluk tubuh rampingnya ikut meliuk - liuk mengikuti gerak dansa Lisa.

"Lis pulang sekarang katanya, memangnya Dimas pikir dia siapa?" seru Lisa dengan nada mengejek.

Suasana di Sky Lounge semakin memanas. Para pengunjung mulai menampakkan tabiat aslinya lepas pukul dua belas malam. Sekelompok eksekutif muda yang tengah berbincang ditemani minuman keras tiba - tiba melepaskan jas kerja mereka dan berdansa mengelilingi meja mereka. Salah satu dari mereka, yang berambut merah, menaiki meja tersebut sambil melantunkan lagu pop terkini dengan suara sumbang. Kawannya yang berambut cokelat pun ikut serta bersorak dan bertepuk tangan tidak jelas. Wajahnya merah semerah kepiting rebus. Kelompok eksekutif muda itu nampaknya menikmati kegilaan mereka akibat minuman keras.

Tak jauh dari meja eksekutif muda itu, tampak seorang pria Eropa berwajah mulus bak model sedang tertawa terbahak - bahak bersama dengan dua kawan wanitanya. Entah apa yang sedang dibicarakan oleh ketiga orang itu, sepertinya sangat menggelitik hingga mampu membuat mereka bertiga tertawa. Atau kah karena terlalu banyak minum alkohol?

Tetapi dari sekian banyak pemandangan yang terjadi di Sky Lounge, di lantai dansa yang berada di tengah ruanganlah yang menjadi sorotan utama para pengunjung. Sorak sorai pengunjung yang tengah berdansa mengikuti alunan musik, diwarnai dengan gelak tawa dan kebahagiaan.

Semakin lama Lisa berdansa, dia akhirnya menyadari kalau ada yang memperhatikannya. Sepasang mata biru tengah mengamati liukan badannya yang langsing dan feminin. Orang yang tengah memandangnya tampan! Badannya tinggi, tegap dan atletis. Kulitnya putih seperti bintang iklan skincare. Rambutnya pirang dan bergelombang… Sudah jelas dia bukan pria lokal!

avataravatar
Next chapter