21 21. Saling Merindu

"Hars, apa kau yakin?" tanya Chiraaz ragu.

"Kalau tidak percaya padaku, tidak apa-apa," jawab manager Hars dengan santai.

"Emh." Chiraaz menggigit bibir bawahnya, dia masih takut dengan ancaman Edward.

"Jangan banyak berpikir Chiraaz. Lihatlah mumpung bos sedang lengah," desak pria berbadan sedikit tambun itu.

Chiraaz menilik ke arah Edward yang tengah sibuk bicara entah dengan kolega atau saudaranya. Chiraaz merasa ide Hars tidaklah buruk, lagipula ini sudah pukul sepuluh malam. Jam kerjanya pun sudah berakhir satu jam yang lalu. Seutas senyum tersungging dari bibirnya, Chiraaz memutuskan untuk kabur dari pesta.

"Baiklah, Hars thanks for everything. Your the best partner," ucap Chiraaz.

"Youre welcome. Sudah sana pulang, temui youre husband," balas Hars.

"Oke Hars and again thanks you." Chiraaz berbalik perlahan, lalu berjalan menuju arah toilet. Tapi saat mendekati pintu keluar, Chiraaz mengubah arahnya dan berhasil kabur melewati penjaga.

Manager Hars menatap kepergian Chiraaz, pria itu menyunggingkan senyum lebar. Seringkali Chiraaz membantunya saat kesulitan, baik ketika bekerja maupun di dalam circle pertemanan mereka. Tindakan kecil yang dia berikan sebagai bantuan belum seberapa dibanding kebaikan Chiraaz padanya.

Hars berbalik hendak mengambil minuman, aakan tetapi dia terkejut saat melihat Edward berdiri tepat di belakangnya. Edward tersenyum sinis, tangannya masuk ke dalam saku celana, pria itu menatap tajam pada Hars yang tengah berdiri mematung.

"Manager Hars, sepertinya kau begitu dekat dengan Chiraaz," kata Edward.

"Ah, tidak juga bos. Kami hanya rekan kerja saja, o yah sekali lagi selamat ulabg tahun." Hars mengulurkan tangannya.

"Thanks," sambut Edward membalas jabat tangan Hars. "Selesai pesta ini, aku tunggu di loby hotel." Edward menyeringai sinis.

Hars mengernyitkan dahi, pria itu hanya bisa tersenyum. "Oke bos," sahutnya singkat.

***

Jarum jam menunjukkan pukul 22.45 waktu setempat. Eljovan berpamitan pada Aletha dan masuk ke dalam unitnya. Saat memeriksa ponsel, masih belum ada kabar dari Chiraaz kapan istrinya pulang. Tapi Eljovan masih ingin menunggu Chiraaz dan makan malam bersama.

"Ah, kenapa aku lupa belum melihat email," kata Eljovan, lalu bergerak mengambil laptop yang ada di nakas sebelah kanan ranjang.

Pria itu membuka laptop, lalu menyimpannya di ranjang. Tidak lupa dia mengambil buku agenda dan pulpen untuk mencatat semua laporan dari asistennya. Baru saja Eljovan duduk dengan nyaman, pulpen jatuh ke bawah.

"Sial!" gerutunya kesal.

Eljovan berdiri lalu membungkuk mengambil pulpen yang masuk ke bawah ranjang. Saat meraba-raba posisi pulpen, tangannya malah menyentuh sebuah kertas. Eljovan menarik kertas tersebut, saat dia melihatnya, dia segera membuka dan membaca isinya.

Dahinya berkerut kencang, Eljovan menelan salivanya saat membaca isi surat tersebut. Hatinya merasakan kecewa lagi, ketika nama Chiraaz tercantum di sana dengan sebuah tuntutan yang mengganggu rumah tangga orang lain. Nama si penuntut masih disamarkan dengan inisial AG.

Helaan napas terdengar berat dari hidungnya, Eljovan melepas kacamata dan mengusap wajahnya. Sesaat dadanya dikuasai emosi, tapi kemudian Eljovan teringat pada janjinya untuk berubah.

"Chiraaz, ternyata kamu berbohong lagi," gumamnya bicara sendiri.

Suara bel mengejutkan Eljovan, dia segera menyimpan surat tersebut ke dalam nakas. Dia mengenakan kacamatanya lagi, lalu berjalan untuk membuka pintu. Ternyata Chiraaz baru saja pulang, di tangannya istrinya itu membawa sesuatu.

"Babe, sorry aku pulang telat sekali," kata Chiraaz, mimik mukanya nampak sangat menyesal.

"Tidak apa-apa Chiraaz, ayo masuk." Eljovan menyambut Chiraaz dengan hangat dan bersikap biasa.

"Hufftt, beruntung dia tidak marah." Chiraaz membatin. Dia masuk mengikuti Eljovan.

"El, aku bawakan ramen kesukaan kamu. Tadi, aku mampir dulu ke kedai ramen Shinji, untunglah masih ramai. Sebentar ya aku hangatkan dulu," kata Chiraaz sambil mengeluarkan ramen dari tas makanan.

Beberapa saat kemudian, Chiraaz baru sadar jika di meja makan, banyak masakan yang tertutup. Chiraaz menelan ludahnya dan merasa malu, dia menatap Eljovan yang berdiri di seberangnya.

"Benarkah? Tapi aku sudah masak untukmu," sahut Eljovan menunjuk ke meja dengan dagunya.

"El-- sorry aku--."

"Tidak apa-apa, ayo kamu makan dulu. Setelah itu aku akan menghabiskan ramen yang kamu bawa." Eljovan membuka kursi untuk Chiraaz. "Duduklah Chiraaz, aku hangatkan makanan dulu," titahnya.

Chiraaz semakin merasa bersalah, Eljovan dengan santai mengambil makanan dari meja. Dia menghangatkan sebagian di microwave dan kompor supaya cepat. Tidak lama kemudian, Eljovan kembali dan menghidangkan makanan di meja.

"Babe, thanks," ucap Chiraaz.

"Sudah, ayo makan dulu. Kamu pasti lelah," kata Eljovan. Pria itu melepas apron dari badannya.

"Enak sekali bau masakannya. Kamu memang koki terhebat," puji Chiraaz.

"Dasar wanita mulut manis," sindir Eljovan tersenyum sinis.

"Ih, aku memang manis kan. Makanya kamu suka aku." Chiraaz menelengkan kepalanya dengan manja.

"Sudah, kamu makan dulu. Aku juga lapar menunggumu."

"Kamu belum makan?"

"Belum."

"A--ayo kita makan." Chiraaz menelan ludahnya. Dia tidak menduga, Eljovan kembali seperti dulu.

Senyum semringah terlukis di wajah keduanya. Makan malam yang sempat tertunda itu akhirnya bisa dilanjutkan. Suasana hangat di rumah seperti ini jarang terjadi, apalagi jika ada Nyonya Merry. Wanita itu selalu merusak keromantisan mereka.

Selama mereka makan, Eljovan tidak berani mengajak Chiraaz bicara soal surat pengadilan yang ditemukannya. Meski hatinya sudah tidak sabar, Eljovan masih menahan diri dan membiarkan Chiraaz makan. Setelah mereka selesai, Eljovan membiarkan Chiraaz membersihkan badannya, sementara dirinya membereskan dapur.

"Chiraaz, kalau sudah temani aku nonton," teriak Eljovan.

"Oke Babe," balas Chiraaz yang juga berteriak.

Eljovan baru selesai membereskan meja makan dan dapur. Pria itu langsung ke ruang tv, lalu menyetel film kesukaan Chiraaz. Lampu di sekitar ruangan sudah dimatikan, sambil menunggu Chiraaz datang, Eljovan membuka kotak perhiasan yang belum sempat diberikan.

Hatinya mendadak ragu untuk memberikan pada Chiraaz. Eljovan curiga jika Chiraaz menjual perhiasannya untuk membayar tuntutan denda pengadilan. Bukan untuk pelanggaran kontrak kerja ataupun menolong temannya. Suara pintu terbuka membuatnya terkesiap, Eljovan menutup kotak perhiasan dan menyembunyikannya dibalik bantal.

"El, aku lelah sekali hari ini. Maaf, jika nanti aku ketiduran," kata Chiraaz, lalu duduk di samping Eljovan.

Eljovan tersenyum semringah, lalu menarik Chiraaz ke dalam pelukannya. "Tiduran saja di pahaku, aku cuma ingin kamu di sini, bukan memintamu nonton sampai pagi," jawabnya.

"Aku takut kamu kesal." Chiraaz merapatkan tubuhnya pada Eljovan.

"Tidak apa-apa, tidurlah Chiraaz aku tahu kamu lelah."

"Thanks Babe." Chiraaz menuruti permintaan Eljovan dan tidur di paha suaminya. Posisi badannya menghadap ke arah tv, saat film diputar Chiraaz senang bukan kepalang.

"Chiraaz, aku rindu suasana seperti ini," kata Eljovan.

"Aku juga El," sahut Chiraaz.

"Semoga tidak ada masalah lagi ke depannya. Apalagi sesuatu yang disembuyikan, kamu tahu bukan? Aku paling tidak suka dibohongi."

"Iy--Iya sayang." Chiraaz gugup mendengar perkataan suaminya yang seperti sebuah sindiran.

avataravatar
Next chapter