webnovel

Striving: The Blacksmith And The Winter Princess

Faiz. Itu Namaku. Umurku? aku 16 tahun. SMA? Iya, aku pernah menjalaninya. Ya, pernah, tapi tidak sampai 1 tahun. Karena setelah 8 bulan aku bersekolah di SMA itu, mimpi buruk yang bersembunyi di balik kata fantasi datang menghampiriku. Mimpi buruk apa katamu? Apa yang kurasakan adalah hal yang kau takkan ingin rasakan. penderitaan, kemiskinan, kelaparan, kehausan, siksaan, depresi, patah hati, beban yang amat berat yang kau ingin tinggalkan tapi takkan pernah lepas darimu. Bunuh diri? Ya, pernah aku berfikir untuk melakukannya. Mengapa aku belum melakukannya katamu? Sungguh aku sangat amat ingin melakukannya dulu. Namun, setiap kali aku ingin kabur dari semua ini, dia selalu datang menghentikanku. Siapa tanyamu? Sang pembawa musim salju.

Arkalphaze · General
Not enough ratings
5 Chs

Mimpi

"Eh ini dimana?" Tanyaku ke diri sendiri.

Tiba-tiba sekelilingku berubah dari ruangan yang penuh dengan buku-buku dan novel-novel menjadi ruangan kayu seperti yang ada di zaman-zaman dahulu.

(Seingatku tadi aku sedang tidur di kamar..)

"UUhuuuuuu!" Suara seperti teriakan kesakitan ibu-ibu dapat kudengar dari balik tirai ruangan ini.

Karena penasaran akupun mendatangi ruangan tersebut untuk melihat darimana asal suara tadi. Namun, di saat aku ingin menggeser tirai hijau tersebut.

*Whooosh*

Tanganku menembus tirai tersebut tanpa menyentuhnya.

!!!???

"Apa-apaan ini!?" Teriakku kaget.

"Uhuhuuuuu!" Suara teriakan kesakitan tersebut kembali terdengar di telingaku.

Mendengar suara itu, penasaranku semakin bertambah akan apa yang sedang terjadi dibalik tirai ini. Kagetku mengenai tanganku yang dapat menembus tirai tersebutpun menghilang, akupun berjalan langsung kedepan tanpa membuka tirai tersebut terlebih dahulu untuk melihat apa yang sedang terjadi di dalam ruangan di balik tirai tersebut.

*Whoosh*

"Wah, aku benar-benar menembusnya." Ujarku kagum.

"Oh iya ibu-ibu tadi." Ingatku tentang suara tadi.

Mengingat hal itu, akupun memfokuskan diriku untuk mencari tahu kejadian apa yang sedang terjadi di ruangan ini.

"Ah." Akupun mengerti, mengapa ruangan ini ditutup dengan tirai hijau, dan suara apa tadi yang kudengar.

"Terus bu, terus bu, sedikit lagi anaknya keluar! Ayo bu!" Teriak seseorang yang suaranya berbeda dengan sebelumnya.

Ini adalah ruang bersalin zaman dahulu, peralatan yang berjejer di atas meja itu dan seorang ibu yang sedang berbaring itu menjelaskan semuanya kepadaku.

(Tunggu sebentar, ini mimpi ya?)

"Aaahhhh" Suara lega dari sang ibu yang dilanjutkan oleh suara tangisan bayi yang kencang menjelaskanku bahwa bayinya sudah lahir.

"Syukurlah bu, anda mendapatkan seorang anak bayi laki-laki yang sehat bu!" Kata sang dokter sambil tersenyum lebar.

Namun senyum tersebut hanya bertahan sebentar.

"Bu!?" Teriak sang dokter kebingungan melihat sang ibu yang seharusnya menyegar setelah proses melahirkan, malah memucat dan melemah tampaknya.

"Bu!? Apa yang anda rasakan!?" Tanya sang dokter dengan penuh kecemasan.

"Faiz.." Kata ibu tersebut dengan lirih.

(Eh?)

"Namanya Faiz dok, nama bayi itu." Ucap sang ibu dengan lirih.

"Iya bu, namanya Faiz, tapi mohon jawab terlebih dahulu, apa yang ibu rasakan sekarang." Ucap dokter yang semakin cemas melihat reaksi sang ibu.

"Faiz Arkila, itu nama panjangnya, nama arkila kuberikan padanya seperti terakhirku yang diberikan oleh kakekku, sesuai dengan perintah almarhum suamiku, nama itukan kuberikan padanya..." Ucap sang ibu menjelaskan asal nama sang bayi yang masih menangis digendongan sang dokter.

"Iya bu iya, tolong ibu jangan terlalu memaksakan diri untuk berbicara, kondisi ibu nampaknya semakin memburuk bu, tolong dengarkan instruksi-"

"Dok, saya tahu waktu saya tinggal sebentar. Sang penguasa secara sedikit demi sedikit telah menarik arwahku menandakan ajalku yang sudah dekat, tolong dok, walau tidak mungkin kamu sebagai seorang dokter wanita yang tinggal sendiri kupinta untuk mengurus anakku yang segera akan menjadi anak yatim piatu yang tidak memiliki siapa-siapa, paling tidak tolong dok, tolong, awasi anakku sampai dia besar dan dapat hidup dengan tenang...." Potong sang ibu dengan suara yang semakin mengecil setiap katanya.

.......

Dokter terdiam sejenak mendengar kalimat sang ibu.

"Siap bu, saya mungkin tidak dapat mengurusnya, tapi saya akan pastikan anak ibu akan tumbuh dengan baik di panti asuhan." Ujar sang dokter berjanji kepada sang ibu.

Mendengar percakapan sedih mereka tersebut, akupun tersentuh melihat langsung perjuangan sang ibu dan sang dokter. Karena penasaran untuk melihat sang ibu pahlawan yang telah menyerahkan nyawanya demi melahirkan anaknya ke dunia ini, akupun maju untuk melihat sosok sang pahlawan. Namun, sesampaiku di samping sang dokter, hatiku tergetar saatku melihat sosok sang ibu tersebut.

!!!!!!!!!

Sosok yang sedang berbaring di tempat tidur pasien yang hanya terbuat dari kayu tersebut, sangatlah menyerupai rupa ibuku yang ada di foto keluargaku. Mataku dan mulutku terbuka lebar melihat sosok tersebut karena tercengang melihat rupa tersebut, mataku tak mungkin salah, kedua wajah ayahku dan wajah ibuku selalu kutatap sebelum aku tidur, aku tak mungkin salah mengenai wajahnya, mereka berdua amatlah mirip bagaikan satu orang yang sama.

Air mataku mulai keluar tanpa perintahku, semakin kutatap rupa yang amat sangat mirip ibuku tersebut, semakin sesak dadaku untuk bernafas, dan ketika aku sibuk meratapi wajah tersebut, beliau menoleh ke sisiku, lalu matanya melebar kaget, seakan-akan melihat keberadaanku.

(Bukannya aku seharusnya tembus pandang?)

"Faiz.." Ucap sang ibu dengan suara yang lirih dan wajah penuh kasih sayang.

Melihat wajah tersebut, sesak di dadaku semakin menjadi-jadi dan air mata yang keluar bagaikan keran yang lupa ditutup, terus mengalir tanpa ingin berhenti.

"Ibu..." Ucapku dengan lirih pula, sambil mendekati sang ibu dengan perlahan.

"Apa yang kamu takutkan, nak? sini ke ibu.."Ucap sang ibu.

Mendengar kalimat yang amat sangat ingin kudengar di sepanjang hidupku, semua ego, iri, dengki, dendam, kesal, bosan, dan energi-energi negatif yang selama ini berkumpul di dalam hatiku pun menghilang.

Yang tersisa pada diriku saat ini hanyalah...

Rasa puas akibat rindu yang terpecahkan.

Rasa senang akibat terpenuhnyabagian hati yang selama ini kosong.

Yang tersisa hanyalah seorang anak yang rindu pada ibunya, bukan sang juara olimpiade, bukan sang juara bela diri, tapi seorang anak yang kembali ke pelukan sang ibu.

"Apa yang kamu lakukan di sini Faiz? Ini seharusnya bukan tempatmu.." Tanya ibuku padaku sambil mengusap-usap rambutku.

"Akupun tak tahu bu, tiba-tiba ketika aku bangun, aku sudah berada di ruangan di balik tirai itu bu." Ucapku menjelaskan.

Ibuku tidak menjawabku, hanya terus mengusap rambutku dengan penuh kasih sayang sembari menutup matanya seperti sedang berfikir.

"Nak, lihat mata ibu." Perintah ibuku sambil tersenyum setelah beberapa saat, akupun melihat mata ibuku, mata yang seolah-olah menembus diriku dan mengerti semuanya. Seperti kata pepatah, "Ibu dapat mengetahui tentang anaknya hanya dari melihatnya".

(Inikah kekuatan seorang ibu?)

"Faiz, banyak kesulitan dan kesedihan yang kamu harus hadapi di masa depan, kamu mungkin akan kesulitan menghadapinya, tapi ingat, berapa kalipun orang menghianatimu dan menyakitimu, kamu tidak boleh membenci mereka, bencilah orang-orang yang berbuat buruk ke orang lain, bukan ke kamu. Dan selalu ingat, di saat kamu butuh, ibu dan ayah akan selalu ada di sini," Ibuku memegang dadaku bagian kiri sambil merasakan detak jantungku.

"Kamu mungkin belum mengerti sekarang, tapi nanti, kamu pasti-"

Sebelum ibuku selesai berbicara, semua hal tiba-tiba bagaikan memudar ke ketiadaan, ibuku dan kasurnya yang tadinya dapat kusentuh, tiba-tiba menghilang dan membuatku terjatuh ke tanah.

"Ibu?" Panggilku.

"IBU!!!" Panggilku dengan sekuat tenagaku.

Semua di sekelilingkupun berubah sekali lagi, dari yang semuanya hitam pekat, menjadi sebuah rumah kayu yang besar. Di dalam rumah kayu tersebut aku melihat banyak anak-anak yang berumur sekitar 3 tahun dikumpulkan disitu.

"Faiz, ayo sini, waktunya makan!" Ucap salah satu pengurus.

(Ini.. panti asuhan?)

Sekelilingkupun berubah sekali lagi, yang tadinya rumah kayu menjadi sebuah lapangan besar yang jauh lebih besar dari lapangan futsal sekolahku, yang tadinya anak-anak berumur sekitar 3 tahun, sekarang tampak berumur 9 tahun.

"Faiz!!" Seorang bapak-bapak dengan tubuh besar berteriak memaki seorang anak yang terguling di depannya.

Aku memfokuskan mataku untuk melihat anak tersebut.

!!!!????

Wujudnya juga sangatlah mirip dengan diriku yang kulihat di foto wisudaku saat SD.

Ketika aku sibuk tercengang, bapak-bapak dengan tubuh besar tadi tiba-tiba maju kearah anak yang mirip sekali denganku itu.

"FAIZ! DASAR ANAK YATIM PIATU LEMAH!!!" Teriak bapak-bapak tersebut dan mulai menendangi diriku versi mini tersebut.

Melihat hal tersebut, amarahkupun memuncak, kudatangi bapak-bapak tersebut, dan memukulnya dengan sekuat tenagaku. Namun, yang kulakukan itu ternyata sia-sia, tinjuku hanya menembusnya dan aku hanya memukul angin.

Aku, hanya dapat melihat wujud diriku, ditindas oleh orang dewasa bagaikan sesuatu yang tidak memiliki harganya.

Aku menutup mataku agar tidak melihat hal yang menyedihkan tersebut, sambil mengepal kedua tanganku dengan sekuat tenaga. Ketika rasa sakit mulai terasa di kepalanku, sekelilingku sekali lagi berubah.

Diriku yang kutatap kali ini sudah berumur 15 tahun, seumuran denganku sekarang. Di depannya adalah bapak-bapak bertubuh besar yang menindas diriku berumur 9 tahun. Namun, berbeda dengan yang sebelumnya, kini ada 4 orang yang duduk di kursi kayu sambil memegang kertas seperti sedang menilaiku. Diriku diumur 15 tahun amatlah mirip denganku, namun jauh tampak lebih menyedihkan dari diri-diriku sebelumnya.

Wajahnya tirus tidak sehat seperti kurang makan, tubuhnya kurus kerempeng tak bergizi, aku dapat melihat mataku memandang sang bapak-bapak bertubuh besar itu dengan penuh kebencian dan amarah.

Presentase kemenangan diriku melawan bapak-bapak bertubuh besar tersebut tidaklah tinggi, dan akupun untuk kedua kalinya, hanya dapat melihat diriku ditindas sambil mengepalkan tanganku sekuat tenaga.

"Dasar sampah! Sudah tidak bisa sihir! Tidak bisa bela diri! membuang-buang harta kami saja! Bukan hanya tidak lulus tes! Memang tidak ada harganya!" Maki bapak-bapak tersebut padaku.

Lalu sang bapak-bapak bertubuh besar tersebut menengok kepada 4 orang berpakaian bagus yang sedang menilai diriku, lalu mereka menggelengkan kepala mereka.

Sang bapak-bapak bertubuh besar tadi mengangkat tubuhku dan membawaku ke suatu tempat. melihat mereka pergi akupun mengikuti sang bapak-bapak tersebut. Bapak-bapak itu membawaku dalam waktu yang lumayan lama, dan pada akhirnya kami berhenti di tempat dimana kumpulan sampah-sampah menumpuk banyak.

"Ini, baru tempatmu, sampah sepertimu lebih layak kalau kamu disini.." Ucap bapak-bapak tersebut dengan dingin.

"S-Sialann.." Ucap diriku lirih.

"Apa katamu hahh!!!?????" Teriak bapak-bapak tersebut.

"Sampah sepertimu, yang sudah membuat panti asuhan kami rugi, berani mengatakan itu kepadaku!!???" Maki bapak-bapak biadab itu sambil menendangku berpuluhan kali.

"Baji***n" Ujarku kesal, mukaku memerah karena marah melihat hal tersebut.

Lalu mengapa jika kita tidak bisa sesuatu?

Lalu mengapa jika hal yang diharapkan orang tidak dapat dipenuhi?

Itu bukan urusan kalian dan bukan kehidupan kalian!

Bukankah salah kalian sendiri, kalian yang membuat panti asuhan!?

Di saat aku berteriak di dalam hatiku sendiri, diriku yang ditindas itu tampak tak memiliki daya upaya apapun lagi, melihat diriku yang seperti itu, bapak-bapak tersebutpun akhirnya berhenti.

"Hmph! Dasar Sampah lemah!" Teriaknya, lalu pergi setelah meludah kearah diriku yang sudah berbaring lemas itu.

Melihat bapak-bapak biadab itu pergi, aku mendatangi diriku yang terbaring lemas itu dengan perlahan.

"Kenapa? kenapa nasibku harus begini? jika ada tuhan yang adil maka dimana mereka di saat aku sangat membutuhkannya? Pada akhirnya mengapa harus aku yang bernasib seperti ini!? Mengapa bukan pak Kurdi yang selalu minindasku? Mengapa bukan 4 bangsawan angkuh tadi yang seolah-olah memiliki kuasa untuk menilai seseorang? Kenapa aku? Kenapa aku? Kenapa aku?" Diriku yang terbaring lemas tersebut berkata, memaki sang pemberi takdir mengapa telah memberikan takdir itu kepadanya.

"Siapa?"

"Jika memang ada tuhan yang melihatku diatas sana, bolehkah aku meminta agar ada yang mengambil alih nasibku ini!?"

"Sungguh, aku sudah tidak kuat.." Ucap diriku yang lemah tersebut dengan lirih. Tangannya dia angkat seperti meminta tolong seseorang untuk membangkitkan dirinya.

"Siapapun.. Siapapun..." Dengan suara lirih dia memohon, air mata depresipun menyucur deras dari matanya, tangannya yang dia angkat bergetar tidak kuat menahan lama.

*Tes*

Air mataku ikut menyucur melihat kondisi diriku yang lain tersebut.

Aku tahu betul rasanya.

Rasa kosong di dalam hati.

Rasa depresi karena merasa tak memiliki tempat di dunia.

Rasa kesal terhadap takdir yang amatlah tidak adil.

Dan rasa frustasi karena merasa tidak berguna dan tidak berarti.

Andai aku dapat memegang dan membantu tangan yang meminta pertolongan tersebut.

Andai aku dapat mengambil semua beban berat di hatinyadan memikulnya bersama.

Semua kalimat itu berkumpul di dalam hatiku, dan tanpa kusadari, aku tidak dapat menahan diri melihat tangan yang meminta pertolongan tersebut.

Dan akupun menangkapnya,

*Whooosh*

Tepat di saat aku memegang tangan diriku yang lain, semua pemandangan di sekelilingku berubah, namun di saat ini, perubahan tersebut datang bersamaan dengan rasa sakit yang amat dahsyat di seluruh tubuhku.

Aku berusaha membuka mataku dengan susah payah. Dan aku melihat, tempat pembuangan yang sama tempat aku terakhir kali melihat sosok diriku yang lain.

"Eh?" Ucapku.

Kok semua ini terasa amat nyata?

Ini bukan mimpi?