12 KHAYALAN YANG NYATA

Jesika's POV

.

.

.

Alasan Chessa dua hari yang lalu masih terngiang di kepalaku. Apakah benar Chessa mengatakan hal yang sejujurnya? Mengapa tatapannya tampak meragukan?

Setelah kata-katanya itu, aku pun berpura-pura percaya. Di dalam hati, aku masih berusaha menyelidiki tatapannya. Aku tahu Chessa. Namun, aku masih tidak bisa menebak apa alasan sesungguhnya.

Aku masih berusaha bersikap seperti biasa terhadapnya. Berpura-pura bahwa aku sudah melupakan masalah kemarin. Dan Chessa percaya. Syukurlah.

Biarkanlah diriku yang adalah manusia biasa ini menyelidiki dengan seksama seorang manusia yang memiliki kemampuan lebih sepertinya.

.

.

.

***

.

.

.

Setelah berusaha menyelidikinya selama tiga hari, hasilnya nihil. Chessa memang tampak meyakinkan dengan tatapannya. Tetapi, aku masih yakin bahwa ia menyembunyikan sesuatu di dalam hatinya.

Sebelum kepergian Chessa kemarin, ia sempat menatapku nanar dan memperingatkanku hal yang aneh. Aku yakin, ada sesuatu yang ia sembunyikan.

Deg!

Sinar yang menyilaukan mata menyembunyikan tangan kiriku. Sesuatu telah menyengatku, membuatku menggeliat. Chessa yang menoleh ke samping membelalakkan matanya dan meraih tangan kiriku segera.

Drup!

Sinar itu menghilang segera, tergantikan dengan benang merah yang sudah terlilit di kelingking tangan kiriku. Benang merah yang sejak lama telah menghilang. Mengubah hidupku. Mendiamkan mulutku. Mendekatkanku dengan... Jaerk.

Tangan Chessa bergetar, menghempaskan tangan kiri yang terlilit benang merah itu ke bawah. Air matanya mengalir. Chessa.... Apakah ia bisa melihatnya?

Chessa menoleh ke arahku dengan air matanya yang mengalir. Badannya bergetar. Chessa kembali mengambil tangan kiriku, meraba benang merah itu, lalu menoleh ke depan..

Benang itu membentang hingga ke ujung pandangan kami. Chessa melompat-lompat, namun tidak ada yang ia dapatkan. Persis seperti apa yang aku lakukan sebelumnya.

Aku melirik Chessa yang tampak begitu terkejut dan berkali-kali meraba benang tersebut. Ia pun menoleh ke arahku dan mengangkat tangan kiriku dengan bergetar. "Kamu sudah melihat ini sebelum aku melihatnya, Jes?" Suara Chessa tampak bergetar.

Aku menghela napas. Air mataku kembali mengalir, teringat rasa terkejutku saat pertama kali melihatnya. Yang ternyata bukanlah khayalanku, tetapi khayalan kami berdua...

Atau memang kenyataan yang hanya kami yang bisa menyadarinya?

Aku mengangguk pelan. Air mataku langsung terjatuh. Chessa pun melihatku nanar. "Mari kita kembali ke rumah sakit. Ini bukanlah khayalan kamu, tapi juga khayalanku."

.

.

.

***

.

.

Chessa's POV

.

.

Benang merah itu akhirnya muncul di hadapan kami. Jesika sudah pernah melihatnya. Ia menyembunyikannya dariku mengenai fakta itu. Ia menjalani semua keanehan ini sendirian. Tetapi, aku tidak akan membiarkannya sendirian lagi. Aku harus membantunya kali ini. Aku langsung menariknya ke hadapan kakekku.

Hal yang aneh, bahwa seseorang bisa melihat tali jodohnya sendiri, sementara itu adalah sebuah rahasia yang tidak bisa ditebak siapapun.

Apakah yang telah Tuhan persiapkan bagi Jesika?

Semoga ini semua adalah hal terbaik dari-Nya.

"Kakek tidak bisa melihatnya, Chessa. Apakah benar itu? Kamu bisa melihatnya, Chess?" , tanya Kakek Govard sambil menatapku tidak yakin.

Aku pun menyentuh benang itu, yang tidak bisa dilihat oleh kakek. "Ini, Kek. Ini nyata. Kakek harus percaya."

Kakek Govard menoleh ke arah Jesika yang memandang dengan takut-takut. "Kamu tidak bisa melihatnya kan, nak Jesika?"

Jesika terdiam. Ia menoleh ke arahku, mempertanyakanku apa yang harus mulutnya katakan soal ini. Kakek Govard membesarkan matanya begitu menyadari diamnya Jesika.

"Kamu juga bisa melihatnya?!"

Dengan ragu, Jesika mengangguk pelan. Mata Kakek Govard tidak biasanya melotot sebesar itu. Napasnya tercekat. Ia sungguh terkejut dengan semua ini.

Jesika pun melepaskan tangannya dari genggaman kakekku. Jesika menarik lenganku untuk mundur dua langkah ke belakang. "Kakek saja tidak bisa melihat benang itu, Chess! Sebenarnya apa benang ini?! Serius, aku benar-benar penasaran!"

Kakek Govard berusaha mengatur napasnya agar kembali normal, lalu kembali membuka mulutnya. "Tidak perlu berusaha sembunyi dariku sekarang. Aku memang tidak bisa melihatnya."

Jesika maju mendekati kakek. "Tetapi, apa kakek tahu benang ini? Kenapa ia melilit kelingkingku? Mungkinkah ada seseorang yang menyantetku atau..."

"Ini bisa menunjukkan siapa yang akan menjadi jodohmu."

Deg!

Mata Jesika benar-benar membesar. Mulutnya menganga. Napasnya sedikit tercekat, namun Jesika berusaha menarik napas sedalam-dalamnya. Mengapa... Jesika bisa melihatnya?

"Benang merah ini menghubungkanmu dengan dirinya. Sejauh apapun kalian, benang ini akan selalu membawa kalian kembali. Jika kamu menemukan seseorang yang terhubung dengan garis milikmu, kalian adalah jodoh. Tali ini tidak akan bisa hilang, terputus, atau diganti." tambah Kakek Govard menjelaskan kepada Jesika yang tampak tidak percaya.

Memang, ini adalah hal yang sulit dipercaya...

Sebuah rahasia dirinya akan terbongkar...

"Sampai saat ini, kakek tidak tahu alasan Jesika bisa melihatnya, Chess. Kakek akan berusaha mencari tahu soal ini. Untuk sekarang, kalian hanya cukup menjalaninya dengan se-normal mungkin. Seperti biasanya."

Jesika masih terdiam. Matanya menatap kakekku dengan penuh harap, namun Kakek Govard langsung berlalu dari hadapan kami.

Aku menahan tangan kakek. "Kek, kenapa malah pergi?"

Kakek Govard menggeleng lemah. Tubuhnya tampak melemah, wajahnya memucat. "Energiku sudah hampir habis untuk menyelidiki ini, Chessa. Izinkanku untuk beristirahat dan lakukanlah semua hal yang tadi sudah ku katakan." Suaranya terdengar diiringi helaan napas sesak. Aku terdiam dan membiarkan kakek berjalan ke dalam meninggalkan kami.

Jesika menghela napas dan menatap kepadaku. Aku membalasnya dengan tatapan nanar. Jesika pun menyunggingkan senyum manisnya kepadaku. "Aku masih tidak percaya, Chess. Aku akan bisa melihat jodohku? Apakah Jaerk adalah orangnya?"

Aku menggeleng. Ia hanya menatapku penuh harap. Aku bingung harus senang atau sedih. Perasaanku sekarang semakin campur aduk.

Kakek sendiri bahkan tidak bisa melihat benang merah tersebut...

Tidak pernah juga melihatnya.

Aku kembali tersenyum kepadanya. Namun semua itu hambar. Perasaanku sama sekali tidak enak sekarang. Apa yang sekarang harus kulakukan untuk menyembuhkan perasaanku, sementara Jesika terlihat senang sambil mengelus benang di tangannya pelan?

.

.

.

avataravatar
Next chapter