Adrian duduk di kursi depan ruangan adiknya berada dengan kedua tangan menutupi wajahnya. Kejadian yang baru saja terjadi mengejutkannya dan membuat hatinya terluka. Satu-satu adik tersayangnya, tidak mengingat dirinya sendiri. Dokter mengatakan ada kemungkinan bahwa Alexa mengalami amnesia, kemungkinan karena benturan di kepalanya dan tekanan yang dideritanya sebelum terjadi kecelakaan. Keheningannya pecah ketika Marni, salah satu asisten rumah tangga yang merawat Alexa, memanggil namanya. Adrian mengangkat wajahnya dan menatap Marni yang memasang wajah sedih. Adrian tahu bahwa Marni cukup dekat dengan Alexa sehingga apa yang dialami Alexa membuatnya sedih.
"Tuan dan nyonya sebentar lagi akan datang. Apa tuan Adrian mau makan atau minum sesuatu?" tanya Marni dengan suara tercekat.
Adrian hanya menghela nafas lalu menggelengkan kepalanya.
Marni duduk di sisi kanan Adrian. Mereka duduk terdiam dan sesekali dia mendengar Marni mengendus. Tak lama kemudian, Adrian melihat kedua orang tuanya berjalan cepat menghampirinya. Ini akan menjadi berita terberat untuk mereka, pikir Adrian. Adrian menjelaskan tentang keadaan Alexa yang tidak mengingat siapa dirinya. Alexa bahkan menjerit histeris yang membuat dokter menyuntikan obat penenang padanya. Seperti dugaannya, ibunya menangis mendengar berita yang disampaikan Adrian dan ayahnya duduk menunduk dengan kedua tangan di kepalanya.
"Dokter mengatakan, Alexa bisa mengalami amnesia untuk jangka pendek atau permanen. Kita berharap bahwa itu jangka pendek." Jelas Adrian.
"Bagaimana dengan pengobatan?" tanya ayahnya.
"Untuk Amnesianya, dokter mengatakan akan lebih baik membawa Alexa ke tempat yang menunjukkan siapa dirinya dan mengenalkan orang-orang terdekatnya tapi kita tidak boleh menekannya karena itu hanya akan membuatnya sakit kepala dan semakin parah." Jelas Adrian dengan nada lelah.
Ayah dan ibunya mengangguk. Adrian mengela nafas sambil menutup matanya. Orang tuanya sepertinya masih memproses semua informasi yang dia berikan karena keduanya masih duduk di sampingnya tanpa berkata apa-apa. Adrian membuka matanya dan berdiri bangkit dari kursi. Dia berjalan perlahan ke pintu kamar inap adiknya dan mengintip melalui kaca yang menembus ke dalam ruangan di bagian tengah atas pintu. Adrian bisa melihat adiknya yang mulai tersadar tetapi menatap ke langit-langit ruangan. Dia bisa merasakan matanya kembali menyengat dengan air mata. Adrian senang adiknya masih hidup dan selamat dari kecelakaan tetapi entah bagaimana dia masih merasa kehilangan adiknya.
Di dalam kamar inap, Kaylee benar-benar merasa frustrasi dengan apa yang terjadi. Dia hanya menatap langit-langit ruangan dengan tatapan kosong. Pikirannya terasa berlari jauh beberepa km. Ini adalah situasi yang aneh dan Kay tidak tahu harus berbuat apa. Beberapa waktu yang lalu dia hampir terbunuh dan sekarang dia terbangun dengan tubuh yang bukan miliknya. Kay menopang tubuhnya dengan siku lalu menoleh ke arah cermin sekali lagi dan pantulan yang dilihatnya masih sama. Dia kembali menjatuhkan tubuhnya di atas kasur dengan lengan kiri menutupi matanya.
"Ini gila." Ujarnya lagi. Mungkin untuk yang ke sekian kalinya.
Kay menghempaskan tangannya ke sisi tubuhnya sambil mendesah. Pikirannya kosong, dia biasanya pemikir cepat dan menganalisis keadaan dengan otaknya yang cerdas. Itu yang membuatnya diandalkan dan dijadikan orang terpercaya atau pemimpin pengawal pribadi. Tapi sekarang...otaknya terasa kosong. Untuk pertama kalinya dia ingin menangis karena frustrasi. Tiba-tiba sebuah pemikiran terlintas dibenaknya.
"Apa aku berada di alam semesta lain? Ah itu tidak mungkin, tidak ada hal semacam itu." Bisik Kay sebelum terdiam.
"Apa aku hanya bermimpi?"
Dia mencubit lengannya dan meringis kesakitan. Ia terdiam kembali memikirkan apa yang dialaminya sambil mengelus lengannya yang sakit.
"Argh....ini membuatku frustrasi." Ujar Kay setengah berteriak setelah tidak ada sesuatu yang dapat menjelaskan situasinya sekarang.
Pemikirannya terhenti ketika Kay melihat pintu terbuka untuk menampilkan dua orang dewasa yang memasuki ruangan. Ia melihat seorang pria paruh baya dengan tatapan sedih. Begitu juga dengan wanita paruh baya yang berdiri di sampingnya. Mereka pasti orang tua gadis ini, pikir Kay. Mereka berjalan ke arah Kay yang kini duduk bersandar pada kepala ranjang. Wanita paruh baya itu kini duduk di sisi kiri ranjang dengan mata yang tertunduk. Kay bisa melihat air matanya yang mengalir di pipinya. Dalam keadaan lain, mungkin Kay akan merasakan sedih juga. Wanita paruh baya itu mengalihkan pandangannya, menatap Kay sambil memegang tangan kirinya. Kay yang tidak tahu harus berbuat apa hanya bisa terdiam. Dia benar-benar mencoba untuk tetap tenang meski dalam hati dan pikirannya dia ingin berteriak kencang.
"Sayang, ini mamah. Dan ini papah kamu." Ujar wanita itu sembari menunjuk lelaki yang berdiri di belakangnya.
Kay hanya mengangguk kaku.
"Kakakmu bercerita bahwa kamu mengalami amnesia. Mamah sangat sedih mendengarnya tetapi mamah tetap bersyukur kamu masih hidup, Nak." Ujarnya sambil mengelus rambut Kay.
"Kami akan melakukan tindakan apa pun sampai ingatanmu pulih, Nak." Ujar lelaki yang rupanya papah Alexa.
Kay menganggukkan kepalanya lagi. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia merasa bodoh.
Tidak ada yang berbicara di dalam ruangan itu yang membuat Kay semakin canggung, hingga pria muda yang rupanya kakak dari Alexa masuk ke dalam dan berjalan ke sisi kanan ranjang. Dia tersenyum pada Kay, yang terakhir hanya membalas senyuman ketat.
"Lexa, aku melihat kamu sudah bertemu orang tua kita. Nama mamah kita adalah Sarah, papah kita bernama Lukman Haris. Dan aku kakakmu, aku Adrian." Ujarnya sambil tersenyum.
Kay mengerutkan dahi.
Lukman Haris? Kenapa nama itu terdengar familiar? Batin Kay.
Adrian menjelaskan tentang siapa Alexa yang didengarkan oleh Kay dengan saksama. Alexa rupanya gadis yang berusia 16 tahun, siswa kelas XI sekolah menengah dan bersekolah di Permata Jaya School (Kay hampir bersiul mendengar nama sekolah bertaraf internasional itu. Kenapa? Karena biaya yang luar biasa). Kay memutuskan bahwa dia akan berpura-pura menjadi Alexa karena pada dasarnya dia berada di tubuh Alexa. Dia juga bersumpah bahwa dia akan mencari tahu tentang situasi aneh ini dan mendapatkan kembali kehidupannya yang seharusnya.
Beberapa hari Kay menghabiskan waktu untuk melakukan terapis yang dilakukan dari perawat rumah sakit dan kini ia merasakan tubuhnya tidak lagi kaku. Baiklah, tubuh Alexa. Dia juga mulai menghabiskan waktu mendengarkan penjelasan dari Adrian tentang kehidupan sosial Alexa yang rupanya memiliki sahabat bernama Lily. Dia bahkan membawa Lily ke rumah sakit yang datang dengan menangis tersedu-sedu dan memeluknya dengan erat. Kay melihat ketulusan pada Lily yang membuat dia merasa tidak enak hati seolah Kay sedang menipunya. Kay bukanlah manusia baik sepenuhnya. Dia banyak melakukan tindakan ilegal karena alasan tuntutan pekerjaan. Tapi ini adalah situasi yang berbeda. Orang-orang ini bukanlah orang yang ia hadapi dan Kay sekarang berada pada tubuh gadis muda yang tidak berdosa.
Kay menatap ponsel barunya yang diberikan oleh Adrian kemarin. Dia menatap layar yang menunjukkan pukul 14.00 WIB. Tubuhnya mulai dapat digerakkan. Kay mulai bisa berjalan meski kaki kanannya masih menggunakan penyangga. Kay menurunkan kedua kakinya dari atas ranjang dan memegang nakas di sisi kirinya untuk membantunya berdiri. Ia mencoba berjalan ke arah pintu dengan cara merambat ke dinding kamar. Setelah merasakan dirinya cukup kuat, Kay melepaskan pegangan dari dinding dan berjalan keluar kamar. Sebenarnya ia tidak memiliki tujuan tapi begitu pandangannya menangkap meja resepsionis rumah sakit, sebuah ide muncul di kepalanya.
"Tidak ada salahnya mencoba, bukan?" ucap Kay pada dirinya sendiri.
Kay berjalan mendekati meja resepsionis.
"Permisi, bisakah Anda mencari tahu apakah ada pasien bernama Kaylee di rumah sakit ini?" tanya Kay menarik perhatian salah satu perawat.
"Tunggu sebentar, ya dik."
Adik? Apa dia baru saja memanggilku adik? Ah aku lupa, aku bukan wanita berusia 30 tahun sekarang. Batin Kay.
Setelah beberapa menit yang menegangkan, menurut Kay, perawat itu menjawab pertanyaan Kay dengan memberikan nomor kamar atas nama Kaylee. Kay segera berjalan ke arah nomor kamar yang diberikan setelah mendapat arahan dari resepsionis. Rupanya dirinya, atau tubuhnya yang sebenarnya, ditempatkan di ruangan yang cukup jauh. Mungkin ini atas permintaan atasannya, batin Kaylee. Pikirannya berkecamuk sekali lagi, jika tubuhnya benar-benar ada, apa artinya ini? Tapi dia tidak akan yakin sampai dia melihat dengan mata kepalanya sendiri. Beberapa menit setelah perjuangan menyeret kakinya, Kay akhirnya berhenti di depan kamar tujuannya. Kay menelan ludah. Tangannya gemetar memegang kenop pintu. Perlahan dia membukanya. Kay memasukkan kepalanya ke dalam ruangan dan menemukan tidak ada orang. Dia masuk ke dalam dan menutup pintu di belakangnya. Matanya memindai ruangan hingga mendarat di ranjang rumah sakit. Kay tidak percaya apa yang dilihatnya. Dia melihat dirinya sendiri terbaring di ranjang rumah sakit dengan mata terpejam. Kay mendekati ranjang secara perlahan dan menyentuh tangan dari tubuh aslinya untuk memastikan bahwa ini adalah nyata.
"Astaga, ini benar-benar nyata." Bisik Kaylee dengan mata yang melebar.
Dia menampar pipinya dan merasakan sakit menyengat hasil tamparannya.
"Ini bukan mimpi." Bisiknya lagi.
"Baiklah, aku mulai bingung. Jika aku tidak bermimpi dan tidak berada dalam dunia alternatif, apa artinya ini? Kenapa aku tidak berada di tubuhku sendiri? Kenapa aku berada di tubuh orang lain? Kenapa..."
Pertanyaan yang diucapkannya terputus ketika ia mendengar suara pintu terbuka. Kay menoleh dan melihat Daniel yang terdiam di pintu masuk dengan tatapan bingung. Daniel memindai wajah Kay, atau Alexa, yang berdiri membeku. Entah apa yang dipikirkan Daniel, ekspresi bingung yang terpancar diwajahnya berubah menjadi ekspresi dingin yang tidak pernah diarahkan pada Kay sebelumnya. Daniel membanting pintu kamar yang mengejutkan Kay. Dia tiba-tiba berjalan cepat ke arah Kay dan menarik tangan kanannya dengan kasar.
"Apa yang kau lakukan di sini?" ujar Daniel dingin.
Nah, itu tidak terduga, batin Kay.