"Siapa sih yang nyuruh lo ngajak Anneth Cha?" Deven bertanya sengit menatap Charisa keesokan harinya ketika mereka bertiga sedang asyik duduk di halaman di kos-kos'an Deven-Gogo
"Iye Cha, gue sampe kaget waktu ngelihat Anneth" kata Gogo
"Ya lo khan yang mulai Pon, kalau lo gak ngomong kita mau ngumpul, gue mana mungkin ngajak Anneth" kata Charisa "dan lagi Pon, itu khan udah masa lalu... lo ngapain sih masih sewot gitu ama dia?"
"Ya gue tahu Anneth itu masa lalu tapi bukan berarti gue bisa senyam-senyum ama dia kayak orang bego khan?" Deven tampak marah
"Sikap lo ke dia kemarin itu keterlaluan Pon" kata Charisa "lo disapa, senyum doang, dipamitin juga senyum doang... mana senyum lo kayak kepaksa gitu, Anneth pasti perasaan banget itu"
"Iya sih, lo parah sih kemarin bro" kata Gogo "wajah Anneth kayak mau nangis gitu"
"Ya dia udah nangis kemarin Go waktu nyanyi lagu jealous itu" kata Charisa
"Biarin" kata Deven cuek
"Udah deh, gak usah bahas Anneth lagi, gue tahu lo gak suka ngomongin dia" kata Gogo
"Ya yang bahas Anneth tadi khan Deven duluan Go" kata Charisa "gimana sih lo?!"
"Iya udah diem atuh Cha" kata Gogo "udah stop gak usah dibahas"
Deven diam saja
"So rencana lo setelah ini apa Pon?, lo bakal nyanyi lagi khan?" tanya Gogo
"Iya, itu cafee nya Anneth kemarin butuh penyanyi loh Pon, khan lumayan lo dapet duit jajan" kata Charisa menambahkan
"Harus berapa kali gue kasih tau ke lo berdua kalau gue sama sekali gak tertarik sama nyanyi lagi" kata Deven terlihat benar-benar marah sekarang "dan ngapain lo ngomong Anneth lagi??!!!" Deven menambahkan sambil menatap Charisa
"Pon, nyanyi itu hobby lo, kesukaan elo" kata Gogo "mana bisa sih lo lepas gitu aja ama"
"Tolong Go, kalau lo masih mau temenan ama gue jangan bahas masalah nyanyi lagi ama gue" kata Deven berdiri dan beranjak pergi masuk ke dalam rumah
Baik Gogo maupun Charisa saling berpandangan
"Kita ngebahas terlalu cepet Cha" kata Gogo "Deven belum siap"
"Ini bukan masalah cepet atau lambat Go" kata Charisa menoleh memandang ke arah pintu dimana Deven menghilang "lo lihat masalah dia ama Anneth, lama kelamaan juga bakalan kelihatan khan tapi sekarang masalahnya disini, kita gak mungkin bisa lama nyimpen masalah Deven ini sama temen-temen yang lain terutama Anneth, dia pasti bingung sama sikap Deven"
"Ya gue harap Anneth gak histeris aja sih kalau sampai dia tahu apa yang sebenernya terjadi ama Deven" kata Gogo
"Dia pasti histeris Go" kata Charisa "karena gue yakin Anneth masih punya perasaan ama Deven dan gue rasa itu juga yang dirasain Deven, kalau enggak dia gak mungkin bersikap kayak gitu ama Anneth"
"Ya, kita cuma bisa jaga aja sih Cha sampai waktunya dateng" kata Gogo
"Iya" kata Charisa mengangguk "kita mesti kompak Go"
Melajukan motor ninja'nya melewati keramaian kota Jakarta, Deven akhirnya berhenti di depan kampus tepat di parkiran gedung fakultas kedokteran dan ia turun dari sepeda motornya sambil menaruh helmnya juga melipat jaket kulitnya yang berwarna hitam, ia menyisir rambutnya dengan tangan yang merupakan kebiasan Deven sejak kecil, ia kemudian memanggul tas ranselnya di bahu kanan sambil berjalan ke arah kampus.
Dan di tangga menuju ke gedung tiba-tiba ada yang memanggil namanya
"Deven, Deven Christiandi"
Deven menoleh dan melihat seorang gadis dengan senyum malu-malu menatap ke arahnya
"Ya?" alis Deven terangkat bingung
Gadis itu mengulurkan tangannya "kenalin nama gue Ella, gu-gue"
Deven menunggu menatap gadis itu dengan tidak sabar "kalau mau ngomong cepet gih, gue masih ada kelas ini"
Nyatanya gadis itu gak bisa ngomong dan ia memberikan Deven surat dan dilihat dari bentuknya, sudah pasti surat cinta... Deven menghela nafas berat mengambil surat itu
"Ini jaman apa?, masih musim ya kayak begini'an?!" kata Deven melotot sambil mengoyangkan surat itu "lo ngehabisin waktu gue tahu"
Deven kemudian merobek surat itu menjadi berpotong-potong di depan wajah gadis itu dan ia membalikan badannya berjalan ke arah tong sampah dan membuang potongan surat itu dan Deven sama sekali tidak peduli kalau gadis itu bakal menangis atau apa?!.
"Devennnnn!!!"
Deg
Suara itu, Deven berhenti berjalan dan berusaha memasang ekspresi jengkel atau marah sebelum kemudian berbalik dan melihat Anneth.
Anneth sedang memeluk gadis yang tadi memberi surat kepada Deven
"Lo parah lo Ven" kata Anneth dengan wajah tak percaya "lo boleh nolak dia tapi jangan kayak gitu, lo nyakitin tau"
"Gue mau nolak dia dengan cara apapun itu urusan gue Neth, bukan urusan elo" kata Deven sinis
"Gue gak apa-apa kok kak" kata gadis itu terisak "gue pergi dulu"
Gadis itu berlari keluar dari gedung fakultas kedokteran sambil menangis
Deven menatap gadis itu pergi dan dia sendiri berbalik dan berjalan lagi sama sekali tidak menghiraukan Anneth
"Deven, tunggu... gue mau ngomong sama elo" kata Anneth berlari ke arah Deven
"Gak ada yang perlu kita omongin Neth" kata Deven keras-keras ketika mereka berjalan berjejer
"Lo marah ama gue waktu gue putusin lo dulu?" tanya Anneth menarik lengan Deven hingga Deven berbalik ke arahnya
"Gue gak marah, puas??!!" kata Deven
"Kalau gak marah kenapa lo nyuekin gue Ven?" tanya Anneth "bukannya kita kemarin putus baik-baik"
"Kita itu udah gak ada hubungan apa-apa Neth" kata Deven "lo ngomongnya apa kemarin alasan lo putus ama gue?, gue capek Ven ngejalanin hubungan ini, gitu khan?"
Mau tidak mau Anneth mengangguk karena memang itulah yang terjadi, chat Anneth ke Deven
"Jadi... sekarang gue gak pingin lo capek-capek lagi hubungan ama gue, jelas kenapa gue nyuekin elo?" kata Deven sinis
"Tapi khan kita masih bisa temenan Ven" kata Anneth dengan suara lirih
"Temenan??!!!" Deven mendengus dengan tawa mengejek yang tidak pernah dilihat Anneth atau dibayangkan Anneth akan ia lihat di wajah tampan Deven "kita itu mantan Neth, lo pernah denger mantan bisa temenan lagi?"
"Pernah Ven itu kayak Raffi sama Laudia Cyntia Bella" kata Anneth "dan gue berharap kita bisa kayak mereka, putus jadi pacar gak apa tapi kita masih bisa temenan"
"Gue gak se-munafik dan se-naif itu Neth" kata Deven dingin "sorry gue gak ada rencana buat temenan lagi sama elo"
"Deven" kata Anneth berusaha bicara lagi dengan Deven
"Gue harus ke kelas sekarang Neth" kata Deven berjalan pergi meninggalkan Anneth yang Deven tahu pasti sedih sekali.
Deven sebetulnya tidak tega dan ia sebetulnya tidak bisa juga sejahat itu dengan Anneth karena seperti kata Anneth tadi, mereka putus baik-baik dan seharusnya mereka sekarang bisa berteman tapi Deven tidak tahan harus berada di dekat Anneth tanpa mengungkapkan betapa ia masih sayang dan cinta setengah mati dengan Anneth.
Demi masa depan Anneth sendiri, Deven harus tega dengan Anneth, apapun yang terjadi Deven tidak bisa baik lagi dengan Anneth meskipun sebetulnya Deven sering memperhatikan Anneth dari jauh, diam-diam senang saat Anneth tertawa atau tersenyum dengan Joa ataupun Nashwa dan berharap tahu apa yang sebetulnya sedang Joa, Nashwa dan Anneth obrolkan.
Atau kadang melihat Anneth yang ngambek, Anneth'nya tidak berubah dan kadang saat sedih-pun, Deven juga memperhatikannya... Deven menelan ludahnya sambil membuka pintu kelas, raganya mungkin bisa menjangkau Anneth kalau ia mau tapi Deven tahu, jauh di dasar hatinya yang paling dalam, hatinya sudah tidak mampu menjangkau hati Anneth karena ia bukan pria baik untuk Anneth, Anneth bisa mendapatkan lelaki yang 1000% lebih baik daripada dia.
Kenyataan memang pahit dan Deven sudah belajar banyak dari hal itu, dengan perasaan hancur berkeping-keping, Deven membuka bukunya, yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah belajar dan belajar untuk dirinya sendiri.