webnovel

Still, I'm Your Destiny Freya [BAHASA]

Janji adalah sebuah kontrak psikologis yang menandakan transaksi antara 2 orang di mana orang pertama mengatakan pada orang kedua untuk memberikan layanan maupun pemberian yang berharga baginya sekarang dan akan digunakan maupun tidak. Janji juga bisa berupa sumpah atau jaminan, dan Freya menyesal telah menyetujui janji yang tak mampu ia penuhi. Freya terjebak di antara janji dan perasaan yang membuatnya gelisah, ia yakin jika dirinya tak mampu untuk menepati janji yang dulu terucap namun ia pun tak ingin mengingkari janji tersebut. Sementara lubuk hatinya, ia tak ingin orang yang membuatnya mengucap janji pergi meninggalkannya hingga akhirnya ia menemukan fakta yang tersembunyi selama hidupnya.

Fhakubeton · LGBT+
Not enough ratings
28 Chs

Steiner

"So... bagian mana yang penting dari meet up kita?" aku melangkah kesana kemari mengikuti langkah kaki wanita yang bersama ku sejak tadi.

"All of them, can't you see it? Actually, I need new lingerie, new jeans and many thing that I wanna buy." aku memutar bola mataku saat ia berbalik dan memandang wajahku.

"Masih bete nih ceritanya?"

"No, I'm fine."

"Yakin? Atau lu mau cerita di tempat gue aja sambil nyemil apa gitu."

"Just finish this as soon as possible please..." jawabku sekenanya.

"Tapi, Fey, elu masih ada rasa sama dia?" aku terdiam. "Elu masih bertahan? Lu masih nunggu? Dia pergi ke Belanda loh." aku memandangnya, menghela nafas.

Astrid, stop. Jangan bahas ini.

Ku akui, Astrid memang perempuan cerdas—dalam hal mengorek privasi orang lain. Aku mau-tak-mau bercerita padanya mengenai sosok Stein yang meninggalkan ku ke Belanda.

"Maksud gue, gini loh—lu tau kan, cowok tuh kaya apa? Cowok jaman sekarang tuh isi otaknya cuma seks, ya kita—sebagai makhluk yang diciptakan untuk membahagiakan para pria—harus cerdas memilih." Astrid terus mengoceh sama seperti matanya yang sibuk mencari pakaian dalam yang ada di sekelilingnya. "Nah, kan laki-laki banyak tuh, kenapa lu stuck sama satu orang, padahal kan lu udah punya Alex."

Look, who's talking now. Padahal sebelumnya juga Astrid membahas Andre—mantannya yang katanya punya benda pusaka yang besar. Lagipula, apa maksudnya kita? Aku dan dia? Atau dia dan kaum wanita lainnya?

"Belum lagi, cowok tuh cuma bisa obral janji. Kita kan belum tau dia bisa nepatin janji itu atau tidak—so, kita harus cerdas, pas janji mereka ketauan cuma omongan doang, so you know what you must do." ia tetap berbicara meski tak mendapat respon dariku, dan entah kenapa aku setuju dengan kalimatnya.

"Lu yakin Steiner orang yang menepati janji?" ia berhenti, berbalik, lalu menatapku tajam.

"Gue yakin, dia beda dari cowok kebanyakan." jawabku.

"Serius?" Astrid fokus pada pakaian dalam yang ada di hadapannya, aku yakin tangannya sibuk mencari ukuran yang cocok, motif yang tepat, dan kualitas yang tidak abal-abal. "Wow, this is a cute one though—Kok lu bisa yakin gitu? Dia bilang apa emang sampe lu se-yakin itu?"

Sial. Energi ku mendadak habis mendengar pertanyaan Astrid. Meski, kalimat yang ia katakan benar—sejujurnya. Aku memang masih teringat pria yang bernama Steiner dan aku belum bisa untuk benar-benar melupakannya.

Astrid mengetahui siapa Steiner, tapi ia tidak kenal jauh dibandingkan aku yang mengetahui siapa Steiner sebenarnya.

Aku mengenal Steiner lebih dulu sebelum aku kenal Astrid, kita berkenalan saat bulan pertama aku bersekolah, dan mulai dekat dengannya setelah aku menjadi korban tingkah laku Steiner dalam hal bullying. Namun, terlepas dari itu, aku selalu diajak berangkat bersama dengan Steiner, menghabiskan waktu bersama satu hari penuh.

Dia kawan laki-laki pertama—yang menerima ku apa adanya disekolah.

Steiner Van Oosten, laki-laki blasteran dengan mata berwarna hijau zamrud, hidung kaukasia juga senyum yang menggoda, ia mengisi hatiku saat masa-masa sekolah. Ia orang pertama yang membuat hidupku berwarna, ia pula orang pertama yang mengajak ku untuk mengetahui dunia luar.

Kedekatan ku dengannya membuat seluruh siswa di sekolah—yang tidak pernah berani mengajakku untuk berbicara menjadi berani mengajakku bercanda. Beberapa di antara mereka juga ada yang mengajak ku untuk menjadi teman satu kelompok saat guru membagi tugas. Terkadang ada yang mengajakku bermain hingga larut malam—tentunya ditemani Steiner.

Aku bukan orang yang terbuka pada siapapun—bahkan ibu ku sendiri, aku sudah terbiasa menutup diri dan menyimpan semuanya dalam hati. Dan, ketika kedekatan kami berlanjut dari sekedar teman biasa, aku mencoba untuk membuka diri padanya.

Aku sempat membentak Steiner karena selalu bertanya apa penyebab hingga aku terbiasa mengurung diri, dan berjuta pertanyaan yang sama. Tapi, aku tak pernah memberi jawaban padanya.

Hari-hari bersama Steiner berjalan lancar. Aku terkesima oleh usaha Steiner yang meyakinkan diriku, bahwa dunia luar tidak sekejam seperti yang ada dalam benak ku. Ia menjelaskan jika aku mampu menempatkan diri, semua orang akan menerima ku apa adanya—termasuk ibu.

Steiner adalah orang pertama yang menemaniku dan menyelamatkanku dari pikiran buruk ku sendiri mengenai orang lain. Orang pertama yang tanpa memandang siapa aku—karena dia normal dan yang ku ketahui kebanyakan kaum normal membenci kaum yang menyimpang—dalam perilaku hingga hal seksual. Dia termasuk orang yang memiliki pemikiran terbuka, memiliki insting berpikir yang harus paham sebab-akibat dari sebuah tindakan, juga orang yang sangat perhatian.

Jika saja saat itu ia tidak mengomentari mengenai kromosom pada pelajaran biologi, mungkin aku tidak akan sedekat ini dengannya, walau sebenarnya yang terjadi saat itu adalah ia mengejekku sebelum ia meminta maaf karena membuat lelucon mengenai kromosom X dan Y pada tubuh laki-laki.

Aku tak pernah peduli padanya—di awal, Steiner bukan termasuk siswa yang ku benci dan bukan juga siswa yang ku suka, dulu ia seringkali meledek dan memandangku seakan aku musuhnya namun setelah kedekatan ku dengannya, ku taruh ia sebagai orang pertama yang membuat pandangan ku terhadap kaum normal berubah. Steiner membuatku seakan diterima oleh mereka—dan menurutku, Steiner adalah segalanya.

Hingga hari itu, Steiner menginterogasi mengenai kepribadian ku yang menurutnya sulit diraih.

"Gue boleh tanya sesuatu?" aku memandangnya dengan tatapan heran. "Jangan tersinggung tapi..."

Aku masih diam, membayangkan pertanyaan yang akan dilayangkan padaku.

"Kenapa lu jadi begini?" kami terdiam. Mematung, saling menunggu siapa yang akan berbicara.

Maksudku, aku menunggunya untuk melanjutkan pertanyaannya. Karena mungkin saja ada yang ingin ia tanyakan lebih dari itu.

"Terlalu intim ya? Terlalu pribadi?" tanyanya lagi, disusul oleh ku yang menahan tawa.

"Gak kok." aku menarik nafas panjang "Bingung aja apa yang harus gue jawab."

"Kalaupun lu ga mau jawab juga, ga masalah, gue cuma mau tau, seandainya gue bisa bantu lu jadi normal, ya gue bantu..." aku semakin tenggelam dalam diam, saat seperti ini kalimatnya begitu efektif untukku.

Aku bingung harus memulai dari mana. Aku menyadari jika ada yang aneh pada diriku saat aku masih duduk di bangku SMP, banyak hal yang ingin aku jelaskan padanya. Akan tetapi, hatiku ragu—haruskah aku percaya dengan laki-laki yang berada di samping ku?

"Oh iya, waktu pelajaran biologi dulu, lu masih marah sama gue? Lu tersinggung?"

"Uhm..."

"Jujurlah, gue ga tau jawaban real kalau lu diem kaya orang bisu."

Sesaat, aku menghela nafas ku, mengumpulkan keberanian ku untuk ku bercerita padanya. Ku pikir, ini adalah sebuah cara yang terbaik dibandingkan jika aku harus berkelit tapi akhirnya aku yang terjebak karena pemikirannya yang terlalu terbuka.

Akan tetapi, aku membuat persyaratan untuknya, ia tak boleh menceritakan pada siapapun apa yang akan aku ceritakan dan Steiner pun setuju.

Kalimat yang Steiner katakan saat KBM waktu itu memang benar, aku memiliki kromosom X lebih banyak ketimbang laki-laki lain, begitu pula pengaruh lingkungan ku. Aku tidak memiliki rambut ketiak dan rambut kemaluan yang lebat seperti anak laki-laki lainnya, begitupun dengan sikap pendiam juga pemalu yang aku miliki. Hanya beberapa hal itu saja dan hal lainnya berkembang seperti manusia normal.

Kebanyakan anak laki-laki di didik oleh keluarganya untuk mematikan sifat kromosom X. Tidak dengan ku, aku memiliki sisi feminim yang kuambil dari ibu sebagai contoh. Ibu pandai sekali meracik bumbu masak, menjadi ibu rumah tangga tanpa pendamping sehingga menjadikan ibu sosok yang sangat ku kagumi dan beliau sangat luar biasa.

Lingkungan ku membuat sisi feminim yang aku miliki semakin tumbuh seiring usia. Aku mudah menangis, emosi ku seperti rollercoaster dan sifat feminim lainnya.

Aku bercerita mengenai diriku—yang sangat ku benci padanya. Aku pun bercerita hampir semua hal yang ingin ia ketahui. Aku masih ingat beberapa kejadian yang ku alami, aku pernah dan harus merasakan pencabulan oleh guru privatku, aku dilecehkan oleh teman sekelas ku saat masih menduduki bangku SMP, menjadi bahan ledekan senior ekstrakurikuler karena aku berbicara seperlunya, dan aku berusaha untuk tidak menangis di depannya saat bercerita mengenai hubungan ku dengan ibu yang tidak akrab, lalu ibuku yang mengetahui jika aku seorang homoseksual setelah nenek berpulang, dan hal itu yang membuat ibuku setuju dengan keputusanku untuk tinggal sendiri—meski segala biaya untukku ditanggung olehnya.

Aku benci masa lalu ku sendiri.

Aku pernah dilempari telur, tepung terigu, air kobokan hingga kotoran binatang ke seluruh area tubuhku. Mereka melakukan itu karena melihat aku berbeda, aku tidak sama dengan laki-laki yang lain. Aku dipukuli setiap jam pulang sekolah, aku harus melayani nafsu kakak senior ku karena kesalahan yang sama sekali tidak ku perbuat. Bahkan, yang lebih parah adalah aku dibawa ke kantor polisi hanya karena kasus perundungan yang tidak pernah ku lakukan pada siapapun. Aku merasa sedih ketika pihak yang berwenang ikut campur dalam kasus perundungan yang dilakukan teman-teman sekolah ku. Posisi ku adalah korban, tetapi aku ditahan oleh mereka dan harus merasakan pelecehan seksual oleh oknum aparat yang senang mengerjai remaja laki-laki.

Ku jelaskan semuanya yang membuat ku benci dengan orang normal, mereka dengan mudahnya menilai ku seenak pusar mereka. Melecehkan ku seakan aku adalah manusia terhina di dunia. Membuat ku trauma, hingga aku semakin menutup diri ku dan tak ingin ada orang lain mengetahui siapa aku.

Banyak kejadian yang aku ceritakan padanya. Dari kesalahpahaman kecil hingga hal yang membuat ku trauma berkepanjangan, dari hal sepele hingga hal yang membuat ku merasa aku adalah manusia paling menjijikkan di dunia.

Setelah bercerita pada Steiner, ia tidak merespon berlebihan. ia hanya mengusap punggungku dan menenangkan aku untuk tidak menangis—yang sayangnya aku sudah tak dapat menangis lagi mengenai hal ini.

"Yang sabar ya, padahal banyak yang lebih buruk dari lu, kenapa lu yang harus jadi korban—"

"Ga usah menghibur, toh gue ga nangis." Steiner tertawa pelan, aku berusaha tertawa di hadapannya.

"Terus, ada yang elu taksir di kelas?" aku menaikan alisku sembari memandangnya. Pertanyaan anti-mainstream dan begitu mendadak yang baru kudengar membuat ku hampir saja melayangkan tangan ke arah wajahnya.

"Ada yang lu taksir? Atau, lu ga naksir gue?" alisnya naik mengikuti alisku, disusul dengan senyuman nakal di wajahnya.

"Kalau ada, kenapa? Kalau engga, kenapa?"

"Cuma tanya, kalo ada yang elu taksir, gue harap sih orang itu gue." dia tertawa, begitupun aku.

"Kalau orang itu memang lu, apa yang mau elu lakuin?"

"Uhm... Mungkin..."

"Paling ngejauh, gara-gara ill feel." aku menyela Steiner disusul dengan tawa seperlunya. Untuk beberapa saat suasana menjadi hening.

"Ga semua orang sama, mungkin gue malah makin deket sama elu."

"Oh ya?" aku memasang ekspresi menantang.

"Atau gue harus bilang, jalanin dulu aja, siapa tau kita cocok." beberapa detik aku terdiam, dan tertawa terbahak-bahak.

Steiner agak sedikit kehilangan akal menurutku, ada sedikit rasa tersinggung karena aku tak mengetahui niat asli Steiner dan kalimatnya tergolong mainstream menurut ku.

"Tapi, kita jalanin hubungan dengan sebuah janji. Gimana?"

"Janji?"

"Ya, nanti kalau gue ga ada, gue mau elu cari pacar cewek." tawaku memudar, diganti dengan diam seribu kata. "Sanggup?"

"Keuntungannya?"

"Untung? Kenapa jadi bahas soal untung atau rugi?"

"Jelaslah, untungnya buat gue apa kalau gue bisa menepati janji itu?" Steiner terdiam, sepertinya ia berpikir keras.

"Ya, elu normal, elu jadi kaum yang diterima masyarakat, great benefit, right?" aku terdiam. Siang ini terasa panas bagiku, aku membutuhkan air conditioner di hatiku.

"Jadi, mau gak?" aku diam.

"First, kenapa harus sama lu? Second, lu juga—"

"Gay? I'm not. Gue cuma mau bawa lu balik ke jalan yang benar."

"Keuntungan buat lu?"

"Nothing. Gue ya gak dapet apa-apa, gue cuma mau lu gak jadi bahan diskriminasi banyak orang."

"Gini loh, Stein. Lu tuh kan dadakan banget ya nanyain gituan ke gue, nah korelasinya sama cerita gue tuh apa? So, jangan salahin gue kalau gue berpikir lu tuh—"

"Udah sih jawab aja, mau apa enggak." ia memotong kalimat ku, memandangku tajam. Tatapannya seakan ingin menerkamku.

"Lah gue aja gak tau gue mau jawab apa..."

"Ya udah kita jalanin dulu aja ya."

-***-

"Oh ya dia ngomong gitu?" mata Astrid terbuka lebar mendengar cerita ku.

"Serius."

"Terus, setelah itu? Hubungan kalian gimana?"

"Ya baik-baik aja. Sampe akhirnya gue kenal lu."

"Kita kenal kapan sih? Kelas 2 SMA ya?"

"No, at first year, you stupid."

"Masa sih?" Astrid tertawa. "Lupa gue, karena gue ngerasa kita temenan udah lama banget—"

"Kan memang lama, 12 years I'm stuck with you."

"Bukan gitu bego maksudnya, gue kaya kenal lu dari kecil gitu." Astrid memutar bola matanya, ia menaruh belanjaan yang baru saja ia beli di sofa dalam kantornya. "Wait here, I wanna call the waitress and bring you the choco-frape."

"Okay."

Astrid memang teman wanita pertama ku yang sangat baik. Dia begitu beruntung memiliki keluarga yang mampu memberinya modal untuk membuka usaha sendiri. Meski, terkadang ia begitu menyebalkan dan membuat orang lain kesal—karena itu inner charm yang dia miliki.

Terlepas ia adalah salah satu siswi yang cerdas pada masanya, ia mampu mengatur kehidupannya agar tidak terjatuh dan tetap bertahan ditempat. Seorang pejuang yang mampu bertahan ketika melawan kejamnya dunia. Dan, ku dengar, tempat usahanya yang sekarang sedang aku kunjungi adalah tempat makan terbaik dari seluruh tempat makan di dalam mall ini.

Selain kecantikan alami yang ia miliki, Astrid pun termasuk orang yang sukses memilih pasangan hidup dan cocok dengan kepribadiannya. Di samping itu, orang tuanya selalu mendukung Astrid dalam keadaan apapun. Itu yang membuatnya semakin sempurna—menurut ku.

Seandainya hidup ku sama seperti Astrid, mungkin aku tidak akan seperti ini. Aku tidak akan menjadi bahan ejekan banyak orang, dan menjadi bahan bullying satu sekolah.

Ah—seandainya…