webnovel

BAB 8 : Tidak Sadarkan Diri

"Tenang saja Tuan Putri Stella kami tidak akan tinggal diam." ucap Raya menatap bengis kearah pemandangan yang tak mengenakkan mata itu. Ia kesal melihat Luna digendong oleh Bastian semesra itu. Apakah Luna tidak kapok-kapok juga? Dasar kakak kelas tidak tahu diri.

Stella mendengus pelan dan menoleh menatap Raya, "Memangnya apa yang akan kalian lakukan?" tanya Stella pelan menahan gejolak api cemburu di hatinya. Bagaimana bisa ia tenang-tenang saja? Stella saja tak pernah digendong oleh Bastian seperti itu, kenapa Luna lebih dulu merasakannya?

"Tuan Putri inginnya kami lakukan apa? Apapun yang Tuan Putri perintahkan akan kami lakukan." sahut Raya lagi meyakinkan Stella akan membantunya untuk memberikan Luna pelajaran atas apa yang Luna lakukan hari ini pada Stella. Raya sebagai tangan kanan Stella juga tidak terima jika Stella diperlakukan seperti ini oleh Luna. Ya, mungkin memang Luna tidak salah, namun tak seharusnya Luna sampai harus digendong segala oleh Bastian, calon kekasih Stella kan?

"Singkirkan Luna dari SMA Bintang." ucap Stella dengan nada pelan namun menusuk. Matanya tak henti-hentinya menatap kearah Luna yang sedang digendong oleh Bastian, yang ia perkirakan akan menuju ke UKS. Sebegitu khawatirnya kah Bastian pada Luna? Apakah Bastian hanya menganggap Stella ini bahan mainan? Hingga Stella merasa di permainkan seperti ini?

"Baik Tuan Putri Stella. Kami akan berusaha secepatnya untuk menyingkirkan Luna dari SMA Bintang." Kini giliran Naura yang menyahutinya. Sedangkan Lisa hanya bungkam tak berani berkata apapun. Ia takut sekaligus iba dengan nasib kakak kelasnya yang bernama Luna itu. Lisa sendiri tidak tahu dimana salah Luna sehingga Luna begitu di benci oleh gengnya, The Angel Wings.

"Bagus!" ucap Stella dengan puas. Ternyata anggota Geng The Angel Wings selalu berada di sisinya dan mendukungnya dalam hal apapun. Setidaknya itu sangat cukup baginya, Stella tak perlu mengotori tangannya untuk membalas Luna, cukup memberikan perintah karena anggota gengnya yang akan bekerja menyelesaikan semuanya.

***

-UKS SMA Bintang-

"Bagaimana keadaan Luna suster?" tanya Bastian yang mewakili Cesi untuk bertanya lebih dulu mengenai keadaan Luna. Karena Cesi sepertinya tidak dapat mengatakan itu, karena Cesi sudah menangis sesenggukan melihat kondisi sahabatnya yang terkulai lemas tak berdaya. Baju Luna sudah penuh dengan darah, begitu juga dengan baju milik Bastian yang sudah kotor dengan darah Luna.

"Sepertinya Luna harus dirujuk ke Rumah Sakit, karena walaupun pingsan mimisannya tidak mau berhenti." ucap suster yang memeriksa Luna di ruang UKS. Suster itu bernama Ayu. Bastian sempat melirik label nama di baju Suster itu yang serba putih menyerupai Dokter.

"Separah itukah keadaan Luna, suster Ayu?" tanya Bastian lagi dengan nada sedihnya. Bastian tak tahu kenapa ia merasa sedih melihat kondisi Luna yang seperti ini. Padahal ia baru mengenal Luna sebagai teman sekelompok Biologinya, tidak lebih. Bastian tidak lagi memperdulikan bajunya yang kotor penuh dengan darah serta bau anyir. Fokus Bastian sekarang adalah Luna, kapan Luna sadarkan diri?

"Saya sudah mengatakan yang sebenarnya. Luna harus segera dibawa ke Rumah Sakit, sebelum dia kehabisan darah. Tunggu sebentar, biar saya telepon ambulance dulu." ucap suster Ayu yang sudah memegang gagang telepon, bersiap menghubungi resepsionis Rumah Sakit SMA Bintang. Ya, SMA Bintang memang memiliki Rumah Sakit khusus yang diperuntukkan untuk siswa-siswi SMA Bintang dan juga untuk khalayak umum.

"Baik suster Ayu, tolong lakukan yang terbaik untuk teman saya Luna. Saya mohon, tolong selamatkanlah Luna." ucap Bastian dengan nada sendunya. Ia harus bisa menahan diri agar tidak menangis, ia malu dengan dirinya sendiri jika harus menangis seperti Cesi. Ia harus bisa bersikap tegar di depan Cesi. Biarlah jika Cesi saja yang menangis, ia tidak boleh.

"Saya akan usahakan yang terbaik untuk siswi SMA Bintang, karena itu merupakan tugas saya disini." ucap suster Ayu masih bisa menampilkan senyum di wajahnya. Walaupun sebenarnya ia sendiri jauh di lubuk hatinya merasa panik dan takut jika Luna tidak bisa ditolong. Bagaimana tidak panik? Seumur-umur ia kerja sebagai suster sekolah di UKS SMA Bintang, baru kali ini ia mendapat kasus seperti ini, separah ini.

"Terima kasih suster Ayu." ucap Bastian tersenyum kecut. Ia tak yakin jika Luna baik-baik saja. Masa iya ada orang pingsan, mimisannya tetap keluar? Kok Luna ini aneh ya? Pikirnya di dalam hati. Ada apa dengan Luna? Apakah penyakit Luna seserius itu?

"Sama-sama. Saya sudah telepon ambulance Rumah Sakit SMA Bintang, ambulance sedang dalam perjalanan menuju kemari." ucap suster Ayu menyampaikan pada Bastian dan Cesi.

Cesi hanya menangis sesenggukan melihat temannya yang terkulai lemas tak berdaya. Cesi merasa syok dan menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian ini. Cesi tak bisa mengatakan apapun selain menangis.

"Baik suster, terima kasih banyak atas pertolongannya." ucap Bastian berusaha tegar yang melihat temannya yang tak berdaya. Ia hanya bisa menampilkan senyum palsunya di depan suster Ayu. Ia hanya bisa pura-pura tegar melihat semua ini. Bajunya sudah tak berbentuk, darah menembus kemana-mana, bau anyir dan tak sedap merembet di segala penjuru ruangan UKS.

***

-Depan Ruang IGD Rumah Sakit SMA Bintang-

Bastian menenangkan Cesi yang terus-menerus menangis sejak tadi tanpa henti-hentinya. Bastian mengelus pelan punggung Cesi, berharap itu bisa membuat Cesi lebih tenang. Bastian berharap jika semuanya akan baik-baik saja, tapi mungkinkah jika semuanya baik-baik saja? Tak tahu, Bastian tak berani menjanjikan apapun pada Cesi untuk saat ini, karena ia pun ragu dan tak tahu apa yang akan terjadi setelah ini.

"Bagaimana keadaan Luna, Bastian?" tanya Cesi dengan mata merah dan bengkak karena sejak tadi menangis tanpa henti.

"Ak... Aku juga tidak tahu Cesi bagaimana keadaan Luna. Tetapi aku yakin jika Luna perempuan yang kuat, aku yakin pasti Luna baik-baik saja." ucap Bastian sedikit ragu mengatakan itu. Ia tak tahu lagi bagaimana caranya meyakinkan Cesi bahwa semuanya akan baik-baik saja. Melihat kondisi Luna yang memburuk seperti itu membuatnya merasa ragu bahwa semuanya akan baik-baik saja. Lagipula ia benar-benar tak tahu jika orang pingsan masih tetap bisa mimisan.

"Apakah Luna akan membuka matanya lagi, Bastian?" tanya Cesi dengan sorot mata berkaca-kaca hendak ingin menangis kembali. Cesi tak sanggup melihat semua ini, ia tak sanggup jika melihat Luna dalam keadaan selemah ini. Apakah Luna sangat kritis? Bagaimana jika Dokter tak bisa menolong Luna untuk bisa membuka matanya kembali? Cesi merasa bodoh dan sangat bersalah atas kejadian ini. Karena bagaimanapun ini adalah salahnya, salahnya karena tidak menemani Luna ke toilet.

Bastian terdiam, bungkam, tak bisa menjawab pertanyaan Cesi. Ia takut berkata salah kali ini. Lagipula kenapa Cesi sampai kepikiran seperti itu? Apakah separah itu penyakit Luna hingga Cesi mengira bahwa Luna akan meninggal dunia? Bukankah ini hanya mimisan biasa? Apakah Luna memiliki penyakit mematikan yang bisa membuatnya tak selamat? Bastian tak tahu apa-apa tentang Luna. Jadi Bastian hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal tanda ia bingung harus berkata apa pada Cesi.

Next chapter