webnovel

Star Chronicles of Origin

Ren Kaito, seorang anak yatim piatu akibat perang saudara. Satu dari sedikit anak-anak yang selamat dari tragedi malam darah dimana genosida terjadi. Sepuluh tahun berlalu pasca kejadian itu, perangpun telah berakhir. Dia yang saat ini menyandang gelar Raja Naga Pertama karena prestasinya yang gemilang semasa perang saudara juga kemampuannya yang ditakuti oleh sekutu maupun musuh harus memulai hidup barunya. Sang Jenderal, ayah angkatnya memberikan dia misi untuk pergi ke Jepang tapi apa yang sebenarnya terjadi adalah.....Sang Jenderal hanya ingin anak angkatnya itu hidup normal seperti remaja seusianya sebisa mungkin.

Neezuria · Fantasy
Not enough ratings
30 Chs

Malam Gerhana Darah

(Sudut pandang Lilia)

Namaku Suzuki Lilia. Saat aku kecil aku bercita-cita untuk menjadi seorang prajurit di pasukan bela diri Jepang karena ayahku adalah seorang prajurit. Aku belajar siang dan malam untuk menjaga nilaiku sambil terus melatih diriku agar bisa menjadi prajurit walaupun aku seorang perempuan dan agar aku tidak diremehkan.

Cita-cita itu berhasil aku raih di usia 23 tahun, aku resmi menjadi seorang prajurit tapi apa yang aku tidak sangka adalah Jepang sedang terlibat dalam perang saudara di negara lain, bukan negara antah berantah tapi negara itu adalah negara yang berhubungan baik dengan Jepang yaitu Indonesia. Kenyataan yang sangat menyedihkan dan hal itu disembunyikan dengan baik dari masyarakat umum.

"Kenapa Jepang terlibat dalam perang? Bukankah militer Jepang tidak boleh bergerak dalam peperangan dan hanya boleh membela diri? Apa-apaan semua ini!?" gumamku dengan kesal.

Akan tetapi, tanpa sadar dan tidak bisa menolak aku dan rekan-rekanku yang masih muda dikirim dalam misi mendukung sekutu dalam perang saudara di Indonesia.

Disanalah aku tau alasan kenapa Jepang bisa meninggalkan perjanjian anti perang pasca menyerahnya Jepang pada sekutu di akhir Perang Dunia II adalah karena keberadaan Amerika dan Inggris di perang ini. Dengan adanya Amerika dan Inggris yang menjadi pemenang utama dalam Perang Dunia II di masa lalu, terutama Amerika yang mengendalikan konstitusi Jepang dalam hal kekuatan militer sangat jelas mereka juga dapat membuat Jepang menginvasi negara lain yang seharusnya tidak pernah dilakukan lagi oleh mereka.

Aku ditempatkan di Pulau Sulawesi tepatnya di markas utama ketiga Aliansi. Disinilah aku bersama rekan-rekanku melawan negara yang sah berdiri sendiri dan malah mendukung para pemberontak.

Waktu dengan cepat berjalan dan ini sudah dua tahun berlalu. Aku banyak berkenalan dengan rekan-rekan sesama Jepang ataupun dari negara-negara Aliansi yaitu rekan-rekan yang berasal dari Amerika, Inggris, Korea serta Australia. Kekerabatan kami semakin dekat hingga—

Pada suatu malam di hari yang tepat dimana 5 tahun perang berjalan di negeri ini, peristiwa itu terjadi.

Malam itu, di tengah-tengah lapangan markas pusat militer Aliansi muncul seorang anak-anak. Benar saja seisi markas yang luas itu gempar, mereka langsung menodongkan senjata apapun ke arah anak tersebut. Senjata serbu, laras panjang ataupun pendek dan apapun yang mereka punya semuanya di arahkan ke anak misterius itu.

Akan tetapi, dihadapan hujanan todongan senjata anak itu tidak bergeming, di tengah aliran angin yang menerpa kencang dia masihlah terdiam. Benar-benar misterius apalagi dia hanya memakai sebuah jubah hitam dan menutup wajahnya dengan tudung.

Semua orang disana masih siaga tinggi, banyak dari mereka berusaha mendekat tapi banyak juga yang mulai gemetar.

"Siapa kamu bajingan!?" teriak seorang prajurit yang mendekat sambil menodongkan senjata serbu tipe M16 ke kepala anak itu.

Aku berusaha menghentikan prajurit itu, aku merasa anak itu mungkin tersesat tapi itu dihentikan oleh seorang laki-laki yang merupakan rekan Jepangku, Azase Sato.

"Jangan melakukan hal yang bodoh,Lilia. Kita tidak tahu siapa anak itu," ucap Sato memperingatkan.

"Ta-tapi, dia hanya anak-anak kan? Tidak perlu menodongkan senjata begitu," balasku membantah.

Akan tetapi, ucapanku dibantah lagi oleh rekan perempuanku, Yuuki Yuna.

"Lilia, anak itu pasti bukan manusia biasa. Dia muncul tiba-tiba kan? Bahkan alarm peringatan tidak berbunyi!" bantahnya.

Mendengar itu aku hanya bisa terdiam. Apa yang dikatakan Yuna memang benar, kemunculan anak itu bahkan tidak di deteksi oleh sistem keamanan markas yang jelas canggih. Akupun melirik kembali ke arah anak itu. Prajurit yang tadi semakin mendekat ke arahnya, terlihat jelas kerutan di dahinya menandakan bahwa dia sangat kesal.

"Bajingan! Berani-beraninya bocah sepertimu mengabaikan perkataanku! Sesalilah sikapmu itu di Neraka!" teriak prajurit itu dan segera bersiap menembak.

Sebelum bisa menembak, anak itu bereaksi. Reaksinya tidak seperti yang orang-orang pikirkan. Seharusnya anak itu ketakutan tapi saat ini dia tersenyum menakutkan di balik tudungnya. Aku merasakan tanda bahaya yang gila dari anak itu dan firasatku segera menjadi yang terburuk.

Anak itu lalu menarik pedangnya dengan sangat cepat, sementara aku refleks menunduk.

"Yuna, Sato, menundukk!!" teriakku.

Sato dan Yuna yang mendengar teriakanku segera menunduk karena refleks. Ya, firasat burukku benar.

[Iainuki]

Aku terkejut dan syok, hanya dalam sekali tebasan, seluruh orang di markas bahkan mereka yang tidak ada di tempat kejadian tewas. Kepala mereka terpenggal dan markas itu segera menjadi sungai darah.

Dikala kemunculan neraka itu, anak misterius itu menatap bulan dengan tawanya yang seperti orang gila.

"Hahahaha! Neraka katamu? Lucu sekali serangga seperti kalian berani berkata begitu!" teriaknya sambil memegang mukanya, dia seperti menahan rasa sakit perut yang hebat akibat kebanyakan tertawa.

Dibawah gerhana bulan merah yang terlihat seperti darah yang terjadi di malam ini, pembantaian sepihak baru saja terjadi.

Aku segera melirik ke belakangku. Sato dan Yuna masih hidup, aku ingin bersyukur tapi begitu melihat banyaknya darah dan mayat manusia langsung membuatku muntah.

"Bleghh, hah-hah-hah,"

Aku mengeluarkan seisi makanan di perutku dan keringat dingin mengucur deras dari dahiku. Sementara itu, kondisi Sato dan Yuna pun kurang lebih sama, sama-sama terkejut dan syok.

"Apa-apaan anak itu..?" tanya Sato linglung.

"Ha-hanya dalam sekali tebasan menjadi seperti ini? Eek!" ucap Yuna terkejut dan dia melompat kaget.

Anak itu yang mendengar suara kami segera mengarahkan pandangannya ke arah kami. Disanalah aku melihatnya, mata ungu berbentuk pentagram yang mengerikan itu dan ekspresinya yang dingin seakan-akan dia tidak merasakan apapun setelah melakukan pembantaian sepihak.

"Oh? Masih ada yang hidup? Ah, apakah aku kelewatan satu, dua, hm? Tiga serangga ya," ucapnya sambil mendekat ke arah kami.

Aku merasakan hawa kematian datang dari anak itu dan secara refleks mundur dengan paksa walaupun tanganku bergetar dengan hebat. Akan tetapi, dia malah menyarungkan pedangnya yang bertentangan dengan kemungkinan terburuk di kepala kami.

"Hey serangga, pergilah dari tempat ini dan beritahu pada atasan kalian untuk segera pergi dari negeri ini. Jika tidak, aku akan melakukan hal yang sama ditempat lain," ucapnya dengan nada datar sambil mempertahankan ekspresi dinginnya.

Aku ingin membalas perkataannya yang sombong lalu memaki-makinya tapi segera dihentikan oleh Sato.

"Jika kami pergi dari sini, apakah kamu akan melepaskan kami?" tanya Sato sambil gemetar, dia berusaha memberanikan diri sebagai satu-satunya laki-laki yang tersisa di tempat tersebut.

"Tentu saja, apa aku perlu mengulangi perkataanku? Jujur saja aku tidak suka itu," balasnya singkat.

"B-baiklah, kami akan pergi dari sini," balas Sato.

Lalu Sato menarikku dan Yuna untuk pergi dari tempat itu, aku melihat ke belakang ke arah anak itu dan dia hanya membalasnya dengan tatapan kematian yang membuatku merinding. Aku tidak berpikir dia menepati perkataannya untuk melepaskan kami jika kami pergi dari sini tapi sepertinya dia tidak berbohong.

Kami lalu melalui perjalanan panjang, perjalanan ini melalui berbagai medan, kami juga menumpang kapal milik masyarakat lokal untuk pergi ke markas utama kedua Aliansi di Ambon. Perjalanan itu total memakan waktu hampir seminggu sampai kami tiba di markas utama kedua.

Kedatangan kami disambut baik oleh prajurit di markas utama kedua dan kami diarahkan untuk bertemu Jenderal Suzu yang memegang pengaruh tertinggi di markas tersebut.

Setelah bertemu dengan sang Jenderal, kami melakukan berbagai percakapan dan kami baru saja mendapat informasi yang mengejutkan. Beberapa saat setelah pembantaian itu terjadi, pasukan Republik melancarkan serangan besar-besaran ke Pulau Sulawesi. Serangan itu dipimpin oleh enam raja naga dan hanya dalam semalam seluruh pulau yang sangat luas itu dikuasai oleh pasukan Republik dan para prajurit yang tidak dapat melarikan diri menjadi tawanan perang.

"Enam raja naga? Bukankah mereka ada tujuh, Jenderal?" Sato yang dari tadi menyimak informasi yang diberikan Jenderal segera bertanya.

"Benar, memang ada tujuh dan yang ketujuh itu adalah peringkat pertama. Dialah orang yang melakukan pembantaian di markas utama ketiga Aliansi, artinya di tempat kalian berada sebelumnya," jawab sang Jenderal.

"""Eh!?"""

Jawaban tak terduga itu mengejutkan kami bertiga.

"I-itu artinya..." ucapku dengan takut-takut.

Ucapanku disela oleh Jenderal Suzu.

"Benar. Pelaku pembantaian kali ini adalah Alpha, Raja Naga Pertama," ucap sang Jenderal.

Hal ini membuat kami bertiga gemetar, kami tahu tentang rumor mengerikan yang mengelilingi tujuh raja naga tapi kami tidak menyangka kalau kami akan bertemu raja naga pertama yang dianggap sebagai "Malaikat Kematian dalam wujud manusia".

Kami hanya bisa menelan ludah dengan keras lalu sang Jenderal melanjutkan perkataannya.

"Apakah Alpha berbicara sesuatu pada kalian?" tanyanya.

Aku yang teringat sesuatu segera menjawab.

"I-itu benar, Jenderal. Dia berpesan agar kita pergi dari negeri ini atau dia akan melakukan hal yang sama ditempat lain," jawabku.

"Begitu ya. Dia memaksa kita untuk mundur dari peperangan," jawab sang jenderal lalu dia berpikir sebentar.

"Apa kalian tau ciri-cirinya? Itu akan sangat membantu," ucap Jenderal.

Aku ingin menjawab tapi dihentikan oleh Sato.

"Maafkan kami, sayangnya karena sedang malam yang gelap dan dia memakai jubah kami tidak dapat melihat ciri-cirinya," balas Sato sambil menundukkan kepalanya meminta maaf.

"Begitu ya, mau bagaimana lagi, tidak apa-apa yang penting kalian selamat," ucap sang Jenderal.

Lalu percakapan pun berakhir dan kami pergi dari ruang pertemuan. Ditempat lain Sato berbicara padaku dan Yuna.

"Tolong rahasiakan ciri-ciri raja naga. Ini untuk kebaikan kita sendiri," katanya.

"Kenapa memangnya?" tanya Yuna.

Aku pun juga penasaran.

"Jika kita membocorkannya, bukankah kita akan diburu oleh mereka? Kalian tidak berpikir bahwa Aliansi dapat menghentikan monster seperti mereka kan?" ucap Sato.

Yah, aku dan Yuna setuju dengannya. Dengan terjadinya peristiwa ini dapat terlihat jelas jika Republik mau mengakhiri perang ini sekarang juga maka mereka dapat menggunakan tujuh raja naga untuk memaksa perang untuk berhenti. Akan tetapi, bayarannya mungkin akan sangat mahal, contohnya saja pihak Aliansi mungkin akan dimusnahkan sepenuhnya oleh mereka.

Setelah itu kami sepakat untuk merahasiakan informasi itu. Lalu, sebulan kemudian, kami mendapatkan informasi bahwa Jepang akan mundur dari perang saudara ini. Penyebabnya adalah adanya ancaman pemusnahan seluruh Jepang oleh Alpha, Raja Naga Pertama dan pihak pemerintah Jepang menganggap ini dengan sangat serius lalu memutuskan untuk menarik seluruh prajurit mereka dari peperangan termasuk kami bertiga. Sejak hari itulah kami kembali ke Jepang sambil terus merahasiakan informasi yang kami punya dan kami bertiga memilih keluar dari pasukan bela diri lalu menjalani hidup dengan hal lain.

Mulai dari hari itu, tujuh raja naga terutama Alpha yang menduduki posisi pertama dianggap sebagai bencana berjalan yang dapat memusnahkan seluruh umat manusia sementara peristiwa itu dikenal dalam sejarah modern umat manusia sebagai "Tragedi Malam Gerhana Darah".