webnovel

Part 3

Dinda hanya melirik bangku kosong itu. Tas ransel Nathan masih ada di sana. Kemudian, ia menangkap sepasang mata Gisel yang lagi memandangnya dengan pandangan yang penuh kebencian itu. Untuk kemudian, Gisel cepat-cepat kembali menghadap ke depan.

Ada apa?

Jam istirahat datang lebih awal. Dan itu dimanfaatkan Dinda untuk segera mungkin berada di perpustakaan untuk sekadar membaca.

Pandangan Mas Edo tampak terkejut memandang Dinda. Tapi, kemudian pandangan itu kembali menghangar seperti biasanya. Dinda yakin, jika kejadian seminggu lalu yang menimpanya sudah menyebar luas dan sangat cepat ke seluruh penjuru sekolah. Bahkan, pandangan-pandangan aneh ditampakkan dengan begitu nyata oleh para siswa yang memandang ke arahnya.

Lagi, Dinda mengembuskan napas beratntya. Kepalanya ditaruh di atas meja sambil kedua matanya meneliti baris demi baris rangkaian kalimat yang ada di sebuah buku Biologi yang ada di tangannya.

"Lama banget libur lo. Gimana, sehat?" sapa suara serak yang ternyata milik Rendra.

Dinda hendak beranjak pergi, tapi tangannya dicengkeram Rendra dengan erat sehingga mau tak mau Dinda kembali duduk.

Dia memandang Rendra dengan tatapan benci, kemudian memalingkan wajahnya ke arah lain. Yang berhasil membuat Rendra terkekeh.

Rendra memandang seksama Dinda. Seolah dia tengah bingung dengan apa yang hendak ia katakan. Akan tetapi, mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu membuat Rendra cukup yakin jika cewek ini benar-benar tidak pantas untuk dijadikan bahan mainan. Dia memiliki trauma berat, meski Rendra sebelumnya tak pernah peduli tentang apa pun mental orang yang ia tandai. Yang dia pikirkan hanyalah, mencari kesenangan. Dan dia senang jika berhasil mempermainkan seseorang.

"Katanya Nathan nggak ada di kelas hari ini?" tanyanya. Tapi, Dinda mengabaikannya. "Apa itu ada hubungannya ama elo?" tanya Rendra lagi. Dan lagi-lagi, Dinda mengabaikan pertanyaan Rendra.

"Gue nggak ngomong ama patung, kan?" kata Rendra yang tampak mulai kesal.

"Bisa nggak sih, nggak usah nyangkut pautin gue ama Nathan? Gue nggak ingin dan nggak sudi disangkut-pautin ama Nathan!" marah Dinda. Bahkan suaranya yang nyaring mendapat pelototan dari beberapa anak yang ada di perpustakaan.

"Elo tadi sarapan ama cabe berapa kilo sih? Pedes banget ucapan elo. Gue kasih tahu, ya, nggak usah sengak-sengak deh lo di sini. Di sini daerah kekuasaan tiga pilar. Kalau lo mau selamet, lo harus patuhi peraturan ketiga pilar tersebut. Dan kalau lo mau keluar sekolah ini dengan cara dipermalukan, ya terserah elo. Nggak tahu makasih," celetuk Rendra.

Dinda memandang Rendra dengan sengit, tapi dia tak lagi membalas ucapan Rendra seperti tadi.

"Elo tahu, kalau nggak ada Nathan, elo udah mampus...," kata Rendra. "Elo tahu Gisel itu cewek yang nekat. Apa yang elo alamin kemarin hanya secuil dari kenekatannya. Gue yakin, sebenernya rencanya bukan hanya itu saja. Bisa jadi waktu itu dia udah nyewa cowok buat merkosa elo, dan ngerekam adegan itu kemudian diposting disebar luasin. Tapi elo tahu, Gisel nggak sempet ngelakuin itu. Dan itu berkat siapa? Nathan. Lo harus berterimakasih ama dia. Dan gue yakin kalau lo nggak bakal mau ngelakuinnya," sindir Rendra lagi.

Kini Dinda menundukkan kepalanya, sebab ia juga sadar jika apa yang dikatakan Rendra adalah benar. Dia tak mungkin bersikap picik dengan memukul rata semua cowok. Hanya karena cowok jenis Nathan, dan Rendra itu seperti Panji. Lantas ia menganggap jika semua cowok itu berengsek seperti halnya Panji.

"Sebenernya rugi gue ngatain ini ke elo. Tapi ya gimana lagi, gue hanya mengungkapkan kenyataan. Karena apa, gue kesel liat tingkah songon lo. Kek ngarasa jadi cewek sok cantik, dan congkak aja. Ngeselin."

"Gue nggak butuh dibantu siapa pun. Dan gue juga nggak nyuruh Nathan buat bantuin gue. Toh gue yakin, jika dia nggak sok kenal ama gue, nggak sok nandain gue pasti Gisel, dan Sasa nggak bakal ngejailin gue, kan? Karena apa, sumber dari semuanya itu adalah Nathan," kata Dinda tak mau kalah.

"Ralat, hanya Gisel," ucap Rendra. Dinda mengerutkan keningnya sebab ia tak paham dengan apa yang dikatakan oleh Rendra. Kenapa hanya Gisel? Apakah itu ada sangkut pautnya dengan ucapan Selly tadi? "Dari awal Sasa nggak tahu kalau Gisel ada rencana buat ngerjain elo. Bahkan, dialah orang yang nyariin Nathan untuk ngebantuin elo dari Gisel. Lo harus berterimakasih deh ama dia," lanjut Rendra.

Dinda kembali diam untuk mencerna ucapan Rendra. Jika betul Sasa yang memanggil Nathan, lalu kenapa? Bukankah Sasa satu geng dengan Gisel? Mereka sama-sama satu pilar? Terlebih, dia dan Sasa tidak sedekat itu.

Bel masuk kelas telah berbunyi. Membuat Dinda tersentak. Ia buru-buru mengemasi buku-buku dan peralatan tulisnya yang berserakan di atas meja. Dia bahkan tak sadar jika Rendra sudah tidak ada lagi di depannya. Semua siswa berpondong-pondong keluar. Sementara Mas Edo masih sibuk mencatatat beberapa buku yang dipinjam oleh beberapa siswa tadi. Dinda lupa lagi, kalau sampai detik ini dia belum membuat kartu anggota perpustakaan.

"Dik, nggak pinjam buku?" tanya Mas Edo, saat melihat Dinda melintas di depannya.

Dinda pun terhenti, dia menoleh ke arah Mas Edo kemudian tersenyum. "Belum punya kartu anggotanya, Mas," jawabnya.

"Lho, ini kartu anggota Dik Nathan ditinggal katanya buat kamu," jawab Mas Edo.

Dinda semakin bingung. Kenapa begitu?

Mas Edo pun memberikan kartu perpustakaan milik Nathan. Warnanya hitam, bukan seperti kartu-kartu perpustakaan pada umumnya malah terlihat seperti credit card.

"Punya Dik Nathan memang beda, tiga pilar SMA yang boleh memiliki kartu ini," jelas Mas Edo.

Ragu-ragu Dinda mengambil kartu perpustakaan milik Nathan, kemudian ia pamitan untuk kembali ke kelas.

Tadi, dia mendapatkan pesan dari Selly, jika Pak Willis tidak masuk kelas alias jam kosong. Tadi, Pak Willis pamit pulang, karena katanya istrinya tengah melahirkan.

"Jadi jam kosong dong!" teriak Benny sambil melempar buku paketnya kepada Regar. Dia sudah berdiri di atas meja. Sementara anak-anak cewek lebih memilih sibuk dengan kegiatan mereka. Ada yang sedang membaca novel sambil mendengarkan musik, ada yang sibuk dandan, ada yang bergosip, atau bahkan sekadar membaca-baca buku untuk menghilangkan suntuk.

"Woy, anjing! Nathan mana?" tanya Regar yang tampaknya baru menyadari jika sedari tadi Nathan tak ada di kelas.

Dinda yang baru saja masuk pun memandang Regar sekilas, kemudian ia melirik Sasa yang memandangnya dengan tatapan tak acuh. Dia ingin bicara dengan Sasa, dia ingin berterimakasih kepada Sasa. Tapi, bagaimana caranya dia mengatakannya jika Sasa selalu bersama dengan Gisel?

Omong-omong soal Gisel, sebenarnya Dinda ingin menampar pipi mulus cewek itu. Dia benar-benar benci kepada Gisel lebih dari siapa pun. Hanya saja, sedari beberapa waktu yang lalu Nadya selalu mewanti-wantinya, untuk berhenti membuat ulah atau berinteraksi dari tiga pilar yang akan membuatnya masuk ke dalam masalah. Dan untuk sekarang, Dinda akan diam. Jika nanti ia sudah siap dengan semua rasa sakit yang menjadi traumanya, jika nanti dia sudah benar-benar sembuh, pasti dia tak akan segan-segan untuk memberi perhitungan.

Next chapter