CHAPTER 6 — AFTER BADBYE
November, 7th 1999
Daegu, South Korea
Setelah perpisahan yang mengharukan di persidangan beberapa minggu yang lalu, semuanya berubah. Griya bertingkat dua yang semula ramai oleh bahana candaan Park bersaudara, kini hanyalah salah satu dari mereka yang tinggal. Fakta bahwa Heesun yang hanya berumur enam belas tahun belum memiliki hak apapun atas kehidupannya.
Ia mendadak membenci dirinya yang masih kecil. Ia mengira pikirannya sudah cukup dewasa untuk mencerna semua yang ada di dunia ini. Nyatanya, semua diukur dari angka—umur, berapa tingginya agar Heesun dianggap sebagai orang dewasa.
Hari ini, di sekolah, Heesun hanya menatap kosong papan tulis hitam di depan dan tidak memperhatikan teman sebangkunya berbicara. Nampak sangat sedih dan lesu.
"Song Bora kepada Park Heesun, ganti." Kawannya, Song Bora berbicara dengan melebarkan kelingking dan ibu jarinya, menempelkannya di telinga seolah mereka berkomunikasi dengan walkie talkie dan Heesun sekonyong-konyong sadar bahwa Bora tengah berusaha untuk mencairkan suasana hatinya yang kalut.
Heesun terkekeh pelan dan menirukan gestur serta gaya bicara Bora sembari menatapnya. "Park Heesun kepada Sung Bora. Ada apa? Ganti."
"Song Bora kepada Park Heesun. Apakah kau baik-baik saja? Ganti."
Heesun menggeleng pelan. Air mukanya menjadi serius seperti sedianya. Gaya bicaranya pun berubah. Ia juga memposisikan dirinya senyaman mungkin dengan bersandar pada bangkunya. "Tidak. Maksudku, apakah kau dapat merasa baik ketika keluargamu hancur?"
"Jadi, perceraian itu benar terjadi," kata Bora lirih seraya memeluk kawannya itu. "Aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi semangat, ya? Kita sudah cukup dewasa untuk bisa menerima yang namanya perpisahan."
"Dewasa...." Heesun berpikir-pikir tentang apa itu kedewasaan seraya menepuk punggung Bora perlahan. Untuk sesaat, ia memejamkan kedua netranya karena ia sungguh lelah berpikir mengenai apa saja yang akan datang dalam hidupnya setelah kehancuran ini terjadi.
"Bora, kau mau menemaniku membaca buku di Perpustakaan Kota, tidak?"
"Membaca? Jika kuingat-ingat, membaca bukan hobimu. Kenapa membaca dan membaca apa?"
"Kau terlalu banyak bertanya, Bora. Mau atau tidak?"
Bora mengendikkan kedua bahunya. Alhasil, Heesun mengernyitkan dahinya. "Aku tidak tahu. Sepertinya aku akan pergi dalam acara keluarga setelah ini. Baik-baik selama membaca sendirian, ya. Jangan kembali terlalu malam karena keterusan."
"Siap, Bora."
Di lain sisi, Yoonseo di sudut kelas hanya memperhatikan Heesun sembari berseringai. Ia juga mengetahui perceraian ini dan puan itu merasa bahwa kehidupannya tidak semenderita dulu. Mungkin karena Yoonseo berpikir bahwa ia mendapatkan teman senasib sepenanggungan.
Rasakan itu, batin Yoonseo yang mengamati Heesun, kemudian tertawa kecil seolah candaan yang terlontar dari kawan di sebelahnya itu lucu.
"Oi. Aku tidak sedang bercanda, Yoonseo. Aku bercerita tentang kakakku yang tidak kunjung melaksanakan skripsi dan kau tertawa karena itu."
"Bukan, bukan. Aku tidak mentertawakan kakakmu, Lee Jieun. Kau tahu, kan? Perceraian orangtua Heesun bukan rahasia umum lagi," Yoonseo berseringai.
"Wah? Jadi itu benar?" Jieun bertanya. Yoonseo mengangguk kemudian bangkit dari bangkunya, menghampiri Heesun dan Bora.
Bayangan seseorang yang Heesun hindari kini berada tepat di depannya. Bora menatap lekat-lekat wajah puan yang berada di depan mereka berdua. Air mukanya berubah, tatapan matanya seolah ada sengatan listrik di antara mereka berdua.
"Oh, wow," Yoonseo melipat kedua tangannya di depan dada. Lanjutnya, "Aku turut berduka cita atas perceraian orangtuamu. Kau pasti sangat sedih."
"Minggir, Yoonseo. Kau tidak pantas memberikan perhatian seperti itu kepada Heesun. Kau sangat gemar mencelakainya!" Bora berseru sehingga anak-anak lain turut tersita perhatiannya.
"Lalu, jika aku memang gemar mencelakainya? Memang kau sebagai kawan, bisa membantu apa? Hmm?"
"Kau sombong sekali. Minggir atau kuadukan ini ke wali kelas!"
Yoonseo melirik ke arah pintu kelas. "Hah ... terserah saja. Kau pikir aku akan benar-benar berduka cita karena perceraian itu? Asal kau tahu, aku senang sekali atas kejadian ini. Artinya, bukan hanya aku saja yang menderita."
Heesun mengernyitkan dahi dan bertutur setenang mungkin. "Apa maksudmu?"
"Park Heesun, gadis yang berprestasi dan cantik, idola semua lelaki di Kyuhak Highschool bukanlah satu-satunya gadis yang akan diidolakan. Aku, Min Yoonseo, akan mengalahkanmu."
Yoonseo keluar, meninggalkan Heesun yang hatinya pecah berkeping-keping.
***
Suasana Perpustakaan Kota Daegu memberikan suasana seperti sedang di kamar sembari membaca buku tentang filsafat, puisi atau buku tentang hukum.
Heesun membaca di tengah meja panjang, tak ada orang selain dia di sana. Beberapa tumpuk buku memberinya ketenangan walau ia harus kesulitan karrna banyak menelaah pemikiran para filusuf.
Aku, Min Yoonseo, akan mengalahkanmu.
Aku, Min Yoonseo, akan mengalahkanmu.
Pertanyaan filosofis klasik antara lain: apakah memungkinkan untuk mengetahui segala sesuatu dan membuktikannya? Apakah memungkinkan bagi Heesun untuk mengetahui segala sesuatu di balik sikap Yoonseo dan membuktikan bahwa apa yang ada dalam pikirannya itu benar, bahwa Yoonseo hanyalah gadis yang malang.
Para filsuf juga mengajukan pertanyaan yang lebih praktis dan konkret seperti: apakah ada cara terbaik untuk hidup? Apakah lebih baik menjadi adil atau tidak adil (jika seseorang bisa lolos begitu saja)? Apakah manusia memiliki kehendak bebas?
Terlalu banyak untuk Heesun jika ia berusaha untuk mengaitkan Yoonseo dengan filsafat.
"Sebentar lagi Perpustakaan Kota Daegu akan ditutup. Sebentar lagi Perpustakaan Kota Daegu akan ditutup. Silahkan berkemas dan segera meninggalkan area perpustakaan."
Segeralah puan itu berkemas dan membawa beberapa buku tentang hukum untuk dipinjam. Tak butuh waktu lama, area di dalam perpustakaan sudah kosong dan kini para pihak berwenang sedang membersihkan perpustakaan.
Derau angin meniup surai-surai Heesun hingga semuanya tersibak ke belakang dan membelai lembut kulitnya yang lelah. Netranya yang mulai terasa berat akibat kantuk menangkap sosok yang berdiri tak jauh dari tempat ia berdiri. Heesun berhenti dan mengamati. Sosok itu setinggi kakaknya, seorang lelaki yang diguyur cercah cahaya lampu jalan. Kemudian karena ketidak fokusan Heesun, ia menghilang.
"Astaga, apakah itu hantu?" Heesun mengedipkan kedua netranya berulang kali kemudian memutuskan untuk berjalan.
Puan itu merasa ada bahana lain yang terdengar beriringan dengan bahana gajaknya. Seolah bersaing, bahana itu saling mengejar. Heesun mulai merasa gemetar berpikiran bahwa dirinya diikuti oleh sesosok pembunuh berantai atau seorang psikopat dengan perawakan seperti orang pada keadaan naturalnya.
Ia melirik sedikit ke belakang dan memang benar ada sesosok lelaki namun wajahnya tidak tampak karena cahaya yang membelakanginya. Heesun memantapkan hati pada saat itu juga untuk segera berlari.
Astaga, apakah aku diincar oleh pembunuh?
"Park Heesun! Ini aku," seru sosok lelaki itu membuat Heesun berhenti.
Tidak begitu lama terdiam, ia menoleh dan mendapati Jimin yang berdiri tepat di depan matanya. Heesun menggeleng pelan, "Oppa, kenapa kau tahu aku berada di perpustakaan? Kau mengikutiku?"
"Tepatnya, Bora melapor padaku bahwa kau memiliki rencana untuk pergi ke perpustakaan."
Keduanya diam untuk sesaat sembari menatap lekat masing-masing manik mata, Jimin pun mendekat sementara Heesun terus berjalan mundur berniat untuk menjauh.
"Kenapa, Heesun?"
Puan itu hanya tersenyum dan menggenggam tangan sang kakak. "Maukah kau mengantarku pulang sampai persimpangan saja?" Sang kakak mengangguk dan mereka pun bertolak menuju ke rumah lama mereka, sementara sosok lelaki misterius tadi masih menjadi pertanyaan besar di benak Heesun.