-Vanilla Floweret-
Dia tidak paham akan dirinya sendiri. Meski berulang kali Vanilla merasa muak pada perlakuan buruk Morrow terhadapnya yang suka menyakitinya, mengabaikannya bahkan menyama ratakan dirinya dengan jalang. Tetapi perasaan mendalam tertanam di benaknya sulit sekali untuk di hilangkan walaupun sudah beberapa tahun terakhir hubungan mereka telah terputus.
Vanilla terjebak dalam satu titik dimana dia tidak dapat melupakan Morrow dari kehidupannya atau dapat kembali ke masa lalu untuk menghentikan semuanya sejak awal. Hati Vanilla diam-diam masih berharap pria itu mau menerima perasaan utuhnya, lalu mereka saling berpelukan juga bertautan tangan, berpadu ciuman hangat satu sama lain. Dan itu mustahil. Mimpinya terasa kosong.
Sedikitpun Vanilla tak pernah mengenal Morrow secara dekat. Pria itu terlalu menutup diri, melarang siapapun menyentuh kehidupannya. Serta mengancam dan menyakiti siapapun yang berani melewati batasan yang pria itu ciptakan. Morrow dengan segala yang dia kehendaki.
Secara, Morrow terbiasa pada kehidupan bebasnya, mustahil bila pria itu mau memandang seseorang dari sudut pandang lain. Keputusannya selalu mutlak karena dia menganggap jika kekayaan yang dimilikinya adalah segalanya di dunia, memegang kendali penuh. Hingga berakibat orang lain jadi tersakiti. Dan entah kenapa Vanilla merasa miris, mengasihani pria itu.
Tangan Vanilla terulur mengusap kasar buliran air matanya kemudian melangkah cepat untuk bergegas membersihkan punggung meja, dan saat ini malam semakin tenggelam.
"Bisakah kau berhenti melamun. Kerjakan perkenjaanmu dengar benar Vanilla?!" Bentak Steve si pria tua yang bekerja sebagai manajer di tempat kerjanya.
"Maafkan aku." Vanilla sedikit membungkuk sambil menyesali perbuatannya.
Beruntung Steve langsung pergi setelah itu. Sebab pria tua itu biasanya ringan tangan, amarahnya mudah sekali tersulut hingga membuat Vanilla sering merasa muak. Tapi dia tak bisa berbuat apapun.
Vanilla berharap mendapatkan keajaiban berupa kekuatan yang membuat dirinya bisa menjalani kehidupan dengan bahagia dan memiliki kepercayaan diri, sampai dimana orang lain tak akan menghinanya lagi.
-Tara Lipinski-
Tara Lipskin memutar handel pintu lalu melesak masuk ke dalam ruangan kantor editor, dimana Jake pria bertampang berantakan dengan switter kusutnya menyapa Tara dengan desisan.
"Kenapa kau selalu melakukan sesuatu sesuka hati. Kau tau betapa sulitnya mengundurkan jadwal terbitan novelmu. Mr.Hart akan marah besar mendengar keputusanmu." Omelan keras Jake tentu tidak berpengaruh pada Tara. Wanita itu sama sekali tak mengubah ekspresi datarnya yang membosankan.
"Aku tidak melarang perusahaan ini menerbitkan ceritaku yang masih sepenggal." Tara menyindir dengan nada santai.
"Lalu kenapa kau tidak menuntaskannya dengan cepat hingga kau bisa menyetornya tepat saat deadline." Tara tersenyum kecut. Jake bersama dengan otak sedengkulnya.
"Kalau begitu, kau saja yang membuat ceritanya." Segera Tara meninggalkan ruangan setelah meletakkan dua paper bag di atas meja Jake dan asistennya yang bernama Nila sebagai perayaan tahun baru. Hanya untuk formalitas saja, karena mereka telah berkerja sama selama hampir lima tahun terakhir. Tanpa lupa mengucapkan "Happy New Year..." agak keras dari koridor.
Jake dapat melihat Tara dari arah belakang sedang melambaikan salah satu tangan dengan malas. Tentu itu membuat Jake lagi-lagi mendesis sebal. Kenyataan sulit dielakkan, "wanita tak punya hati seperti dia, bagaimana bisa membuat cerita sangat romantis." Ujar Jake terselip nada mengejek.
"Fansnya akan memberi respon negatif di media sosial jika bulan depan Tara tidak bisa menyelesaikan tulisannya." Balas Nila ikut mengeluh.
"Sudahlah. Wanita gila itu akan semakin bertindak aneh bila kita terlalu memaksa dia. Seperti dua tahun lalu, Tara nyaris membakar kontrak kerja sama di kantor ini." Saat itu terjadi, Nila belum bekerja di tempat ini. Jadi informasi tersebut membuat Nila agak tercengang. Bagi para pecinta novel roman, buku Tara Lipinski menjadi salah satu rekomendasi di setiap toko buku, karena semua karyanya mencetak target best seller dan di terjemahkan dalam tiga bahasa.
Tapi siapa sangka jika Tara Lipskin adalah wanita gila, suka sekali mengurung dirinya sendiri di apartemen, dan tak ada satupun orang yang paham isi otaknya. Serta sedikit orang saja yang tahu kehidupan pribadinya.
Disisi lain, sosok Tara sudah kembali pulang ke apartemen luasnya tertata rapih. Hasil jerih payahnya mampu mengisi dompetnya serta membeli barang mahal apapun sesuka hati. Namun semua itu kini terasa menjemukkan, sebab hal yang paling mengerikan bagi penulis adalah Writen Blocker.
Tara mendesar keras, menggaungkan seluruh penjuru ruangan. Sesekali dia memijit pangkal hidungnya, sambil merebahkan diri di atas sofa tanpa melepaskan mantel tebalnya. Disaat penat tanpa ide secuilpun seperti ini, orang lain akan menemui teman mereka dan mengobrol ria. Tapi malang sekali kehidupan Tara, karena terlalu terfokus mengejar target kepenulisannya, kehidupan sosialnya jadi terbengkalai.
Tara sebenarnya mempunyai banyak teman dan kenalan, namun sayangnya tidak sedekat mereka bisa saling berbagi cangkir kopi setiap minggunya, dan pertemuan mereka sering di dasari sebuah proyek. Apalagi di hari pergantian tahun orang-orang lebih memilih melaksanakan rencana yang telah mereka buat untuk menikmati perayaan tahunan bersama keluarga, teman dekat atau bahkan kekasih.
Dulu, Tara pernah menjalin hubungan percintaan dengan seorang pria. Bisa dikatakan jika saat itu dia berada di sekolah menengah dan mengajarkan banyak hal bahwa cinta itu lama-lama akan berubah menjadi semu hingga Tara berpikir, pacaran hanya membuang waktu, hati, dan uang.
Namun, sebagai balasan terhadap status singlenya, yaitu adalah rasa kesepian. Padahal tadi Tara ingin sekali merayakan tahun baru bersama Jake dan Nila untuk membunuh hari membosankannya. Alih-alih dia sudah terlanjur sebal pada sambutan Jake yang pedas, seolah Tara sering sekali melakukan kesalahan dan tak pernah mencoba berbuat baik pada pria itu.
Tara paham sekali di mana letak keburukannya dan di situlah rahasia besarnya berada. Segala macam bentuk tokoh cerita secara nyata ditumpahkan ke kehidupannya. Bagaikan aktris yang melakoni karakter pemain dalam film. Begitu mendalam, menyesuaikan sudut pandang, pemikiran, emosional, tingkah laku, bahkan kebiasaan dari si tokoh cerita. Kurang lebih itu memengaruhi pola pikir dan tindakan Tara tanpa sengaja. Hingga Tara sering lupa pada dirinya yang sebenarnya.
Tepat sekali, novel terbarunya ini memerankan tokoh seseorang yang sangat berpikiran realistis. Meremehkan berbagai macam bentuk idealisme yang kuno, ketinggalan jaman, apalagi masyarakat yang suka sekali akan pemikiran arogan, menganggap segala hal bisa di sama ratakan dengan otaknya. Tara sering menyebut kelompok seperti itu dengan manusia berotak dengkul. Padahal, Tara sendiri juga kadang berpikiran dangkal, memiliki gengsi begitu tinggi walaupun hanya sekadar minta ikut bergabung acara tahun baru dengan Jake dan Nila.
Akhirnya Tara menolak mandi di malam tahun baru, membiarkan apartemennya berantakan dengan berbagai bungkusan makanan, dua loyang piza ukuran besar, satu porsi ayam goreng, dan tiga kaleng soda sambil menonton acara kembang api tahun baru melalui saluran televisi seorang diri. Melihat siaran banyaknya orang berbondong ke pusat kota yang ramai padat, disorot di berbagai penjuru dunia lalu berteriak menyambut tahun dengan penuh sukacita, padahal tidak ada yang perubahan sama sekali pada dunia ini.
Kemudian Tara jatuh tertidur dengan selimut tebal di atas sofa karena sudah merasa terlalu kenyang dan sengaja membiarkan televisi menyala, agar sepi tidak terlalu terasa. Itu terjadi sama seperti tahun-tahun yang sebelumnya. Namun Tara berharap bisa mendapatkan keajaiban, meski itu hanya sekadar mendapatkan seorang teman.