Langkah Selanjutnya (1)
Kota Kembang, di depan apartemen tempat Bayu tinggal. Anggi yang baru saja kembali dari misinya menoleh ke tempat seorang remaja laki-laki di sampingnya. Remaja itu bernama Yudha Elamminus. Salah satu korban dari hancurnya Kota Geplak. Anggi memandangi Yudha yang kini memakai salah satu jaket miliknya, pakaian yang Yudha pakai sebelumnya sudah ia buang di jalan. Hanya rantai di lehernya yang masih tampak aneh.
"Yud, kita akan bertemu bos. Waktu kau lihat nanti, mungkin bos kelihatan seperti orang lemah. Tapi—jangan pernah berpikir seperti itu! Dia—mungkin akan menjadi salah satu orang yang paling menyeramkan, yang pernah kau temui. Jadi bertindak sopanlah."
Yudha hanya menjawab dengan anggukan, tapi ada sesuatu yang membuatnya penasaran. Ia melihat gedung apartemen menjulang tinggi di depannya, benar sekali, gedung apartemen.
"Apa guild kalian bermarkas di apartemen? Ah! Apa mungkin apartemen ini adalah salah satu bisnis guild kalian?"
"Hah? Kenapa kau berpikir kalau aku akan mengajakmu ke markas guild? Guildnya saja belum ada."
"Eh?!"
Yudha tersentak kaget. Sewaktu Anggi mengajaknya bergabung ke guild, dia menganggap Anggi adalah avonturir dari guild ternama, apalagi kemampuannya yang bisa membunuh dua prajurit Laut Selatan dengan mudah. Tapi pada kenyataannya, Guild yang Anggi sebut itu bahkan belum ada.
'Terus kenapa dia mengundangku ke guildnya yang belum ada?!'
Yudha kali ini merasa curiga dengan sosok penyelamatnya. Sayangnya kecurigaannya datang terlambat, saat ini dia sudah berada di depan apartemen atasannya Anggi. Perempuan itu menyatakan kalau bosnya itu layaknya seseorang yang berbahaya. Yudha hanya bisa mempersiapkan dirinya, dia sudah tidak ada jalan lain, di tempat asing ini dia hanya bisa berpaku kepada Anggi dan sosok bos yang membuatnya agak gugup.
Keduanya pun berjalan masuk ke apartemen.
***
Di dalam kamar apartemennya, Bayu telah selesai membaca buku Endra Leoport. Bayu merasa kecewa, ketika dia mendapati kalau wakil presiden itu tidak memiliki informasi banyak terkait balon udara Hexagone dan Laut Selatan. Oleh karenanya, Bayu kemudian mengalihkan perhatiannya ke buku Vanessa Blumunt.
Baru saja dua jam yang lalu ia selesai membaca informasi terkini tentang diri Vanessa. Ia belum sempat membaca keseluruhan kehidupan sang diva. Namun ia cukup tertarik akan sosok penyanyi yang di idolakan oleh masyarakat dunia ini setelah sekilas membaca bukunya.
Kini Bayu sedang duduk di sofa, di telinganya terdapat sepasang earphone. Setelah membaca sedikit tentang Vanessa, Bayu jadi ingin mendengar musik yang Vanessa nyanyikan. Dua jam terakhir ini, Bayu habiskan waktunya dengan mendengarkan lagu-lagu milik Vanessa. Lagu dari semasa debutnya hingga saat ini.
Di telinganya, lagu berjudul 'Smile and Tears' mengiang merdu. Alunan nada yang tenang dan lembut diikuti oleh suara Vanessa yang merdu membuat diri Bayu seperti berada di sebuah hutan hijau yang damai.
Bayu bersandar sambil memejamkan mata, membiarkan dirinya terhanyut oleh lantunan irama musik. Dia tidak terlalu menyukai musik, tapi untuk saat ini Bayu belajar kalau musik pun memiliki ceritanya sendiri.
<Tuan, Nona Anggi telah tiba dan sedang berjalan kemari.>
Tiba-tiba suara Ayu terdengar di pikirannya, merasa terganggu, Bayu membuka matanya. Ia lepas earphone dan menghentikan lagu di ponselnya. Bayu lalu merenungi informasi yang didapatkan dari buku Vanessa.
Hal yang paling penting ia dapatkan adalah sosok di balik penyerangan balon udara. Sewaktu pertama kali ia membentuk membentuk buku Vanessa di perpustakaan, Ayu memperingatkannya akan kejanggalan pada buku. Tentu saja, Bayu kemudian melihat sampul pada buku Vanessa yang seharusnya murni cokelat, kini telah ternodai oleh bercak biru tua dan merah. Melihat sampul itu Bayu langsung tahu kalau Vanessa sudah bukan manusia murni lagi, sekarang dia adalah mutan. Dan hanya ada satu orang yang bisa menjadikannya seperti itu…
'Alkemis.'
Tidak pernah terpikir olehnya akan membaca lagi sosok alkemis ini. Bayu tertawa dalam hatinya. Yang diketahui oleh publik saat ini adalah sosok buronan Soviet bernama Dimitri, yang merupakan pelaku penyerangan. Publik tidak tahu tentang dalang dibalik tindakan Dimitri.
Dari yang Bayu baca, Alkemis dan Dimitri tampak memiliki hubungan layaknya kerabat kerja. Jadi kalau simpulan yang ia tarik benar, maka dalang dari kejadian balon udara itu adalah Lucionation.
Tentang Lucionation ini, Bayu sendiri hanya tahu namanya saja. Ia tahu dari buku Bardolf, sayangnya dalam buku itu, selain nama tidak ada penjelasan lain. Bayu juga pernah mencari Lucionation dari internet, namun hasilnya nihil. Ia tidak mengingat apa pun tentang organisasi ini di buku-buku yang pernah ia baca. Mau itu sejarah ataupun fiksi.
Apa itu Lucionation? Berasal dari mana? Tujuan mereka, semuanya masih misteri bagi Bayu.
Ding dong
Mendengar suara bel, Bayu memutus pemikirannya. Ia lalu berjalan ke depan, membuka pintu dan mendapati Anggi berdiri berseri-seri mengenakan kaos oblong putih dipadu dengan jaket jins biru tua. Di sampingnya terdapat seorang remaja laki-laki dengan berbagai memar di beberapa bagian tubuh. Lelaki itu memakai jaket yang tampak kebesaran, serta meminggul tas panjang yang biasa dipakai untuk menyimpan pedang. Pada lehernya terdapat rantai yang menjuntai membuat lelaki itu agak mencolok.
"Yo Bos!"
"Haa~ kerja bagus, masuk."
Anggi mengikuti Bayu berjalan masuk. Yudha agak terpaling ketika mendapati sosok bos misterius itu ternyata lebih muda dari yang ia pikirkan. Belum lagi…
'Dia kelihatan lemah sekali! Di mana seramnya?!'
Yudha makin merasa curiga. Namun karena tidak ada jalan lain, ia hanya bisa jalan mengikuti. Ketika dia sampai di ruang tengah, ia melihat Anggi langsung duduk di sofa panjang. Perempuan itu masih tetap memakai kacamata hitamnya walau di dalam ruangan. Awalnya Yudha merasa aneh karena dia tidak pernah melihat Anggi melepasnya, tapi dia sudah tidak peduli lagi.
Yudha melihat sekeliling ruangan yang tampak bersih dan tertata rapi. Dia lalu melihat laki-laki yang dipanggil bos itu masih berdiri memandanginya. Yudha seketika gugup, ia lalu meletakkan tas pedang di salah satu sudut ruangan. Bayu lalu beralih ke Anggi.
"Kopi atau teh?"
"Hmm… kopi kayaknya enak. Tapi Bos—aku bawakan kita orang baru, suruh saja dia yang buat. Kau adalah bos, bertindaklah seperti layaknya bos."
"…" Bayu melihat wajah Anggi yang menyeringai. Ia lalu melihat laki-laki di depannya yang masih berdiri. Berpikir sejenak, ia lalu duduk di single sofa.
"Aku sudah bilang jangan panggil aku bos, panggil Guildmaster," Bayu lalu berpaling ke laki-laki yang masih berdiri, "Kau—namamu Yudha, kan? Dapur ada di belakangku, kopi ada di kabinet atas. Gula dan lainnya bisa kau temukan di meja dapur. Buatkan satu kopi dingin dan satu kopi panas untuknya, kau bisa buat sendiri kalau ingin."
"Hah? Eh?"
Yudha tampak kebingungan, dia tidak mengira kalau tiba-tiba saja disuruh membuat kopi. Belum lagi, ia sedikit terkejut karena bos laki-laki itu mengetahui namanya. Namun, setelah berpikir sejenak, Yudha merasa kalau mungkin bos itu tahu dari Anggi. Melihat dua orang yang pandangannya terpaku pada dirinya, Yudha mulai merasa canggung. Pada akhirnya ia hanya bisa mengikuti dan berjalan ke dapur.
Anggi tersenyum lebar melihat tingkah Yudha. Ia pun berseri-seri ketika mendengar Bayu mengucapkan nama Yudha. Anggi tidak pernah memberitahu bosnya tentang Yudha. Tapi entah bagaimana caranya, bosnya itu sudah mengetahui sosok Yudha tanpa ia beritahu.
"Kalau begitu, mari kita bicarakan langkah selanjutnya."
"Woah, Bos! Kau tidak mau bertanya dulu soal misi atau situasinya gitu?"
"Hm?"
Bayu merupakan orang yang jarang basa-basi, dia sudah tahu tentang perjalanan misi Anggi dari laporan Ayu. Dia merasa tidak perlu untuk mendengar hal yang sama dua kali. Namun, ia merasa akan aneh jadinya kalau ia berbicara seakan tahu segalanya, Bayu menoleh pada Anggi, ia coba berbasa-basi.
"Ah! Aku tidak pernah mengira kalau kau platinum. Anthony bisa kau kalahkan dengan mudah, aneh rasanya kalau kau sekadar kelas emas."
Anggi menyeringai.
"Aku pikir hanya ada dua platinum di Nusa."
"Well~ itu untuk publik. Kau akan menemukan beberapa orang lagi di instansi Nusa. Sama sepertiku, mereka melakukan aksinya secara diam-diam. Jadi hanya sedikit orang tahu, kebanyakan dari mereka juga mungkin sudah mati."
Bayu tahu tentang tentang orang-orang itu dari buku Anggi, tapi sekarang dia ingin mencoba berbasa-basi sekaligus juga memastikan, karena perintah Endra yang baru saja ia baca mungkin akan ada hubungannya.
"Apa mereka ada PIN dan PAT?"
"Kau benar-benar hebat, Bos."
"Berapa banyak mereka?"
"Hm? Kalau berapa banyak, sewaktu aku masih di PIN, hanya ada aku dan kapten, tapi satu juniorku mempunyai bakat untuk menjadi platinum. Aku tidak tahu apa dia sudah meraihnya atau belum, di PAT, aku tahu hanya ada satu."
Bayu berpikir sejenak.
"Jadi sebenarnya ada enam platinum di Nusa."
"Enam?" Anggi menghitung sendiri di kepalanya, "Bukannya seharusnya tujuh?"
"Siapa yang ke tujuh?"
"Panji."
"…"
Bayu tidak pernah berpikir kalau dirinya termasuk dalam hitungan. Dia tidak merasa kalau dia memiliki kemampuan sekuat itu.
Kemudian Yudha datang dari dapur dengan tiga gelas di nampan. Dia memberikan kopi dingin ke Bayu, satu gelas kopi ke hadapan Anggi, dan segelas air putih untuk dirinya. Ia lalu menyimpan nampan di meja, dan ikut duduk di samping Anggi.
"Ya sudahlah, mari kita lanjutkan pada langkah berikutnya."
"Oke," Jawab Anggi sambil meminum seteguk kopinya yang masih panas. Ia lalu mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya.
Bayu tidak keberatan, ia lalu menoleh ke Yudha yang masih tampak kaku. Ia melihat kembali memar di lengan lelaki itu. Bayu lalu mengeluarkan ponsel dari sakunya dan mengirim pesan ke seseorang. Ia lalu melanjutkan pembicaraan.
"Sekarang kita sudah mendapat uang, jadi hal yang haru kita lakukan berikutnya adalah…"
Bayu tiba-tiba merasa enggan. Hal yang ingin ia bicarakan mungkin lebih baik tidak ia sebutkan di depan Yudha. Dia ingin membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan Geplak, sayangnya kondisi mental Yudha ia rasa masih belum stabil. Bayu berpikir sejenak lalu menoleh ke Anggi.
"Menurutmu, apa yang harus dilakukan selanjutnya?"
"Kantor dan staf," Singgung Anggi, "Tapi kantor atau markas akan lebih penting untuk saat ini."
"Baiklah kita akan mencari tempat besok hari."
"Oh bukan sekarang?"
"Tidak, kalian baru saja sampai, istirahatlah untuk sisa hari ini."
"Hmm… padahal kalau dilakukan hari ini juga oke-oke aja."
"Kau mungkin baik-baik saja. Tapi tidak untuk dia." Bayu menunjuk ke arah Yudha.
Yudha sedikit kaget ketika dirinya ditunjuk.
"Sa-sa-saya juga baik-baik saja kok, Bo-Bos!"
Alis Bayu mengernyit di wajahnya yang selalu tanpa ekspresi itu.
"Kenapa kau juga memanggilku bos? Panggil aku Guildmaster."
"!!!"
"Hahahahaha!"
Yudha tertegun, dan Anggi tertawa terbahak-bahak. Raut wajah Bayu kembali seperti semula, ia hanya menggeleng lalu beranjak ke ruang baca mengambil selembar kertas.
"Kau ada gawai?" Tanya Bayu pada Yudha.
Yudha menggeleng, "Tidak punya, hilang atau mungkin hancur di Geplak."
Muka Yudha menjadi kusut, muram bercampur marah. Bayu tidak mempedulikan raut itu, ia lalu menyerahkan selembar kertas dan pulpen ke hadapan Yudha.
"Isi nama dan biodatamu."
"?" Yudha melihat kertas kosong yang diberikan. Ia kemudian melihat Bayu yang menatapnya dengan wajah dingin. Walau tidak mengerti, ia lakukan saja apa yang diperintahkan oleh guildmasternya ini.
Bayu mengambil kertas yang sudah diisi, membaca, lalu buku Yudha terbentuk di perpustakaan. Dia melakukan ini bukan karena ingin menguntit Yudha sebagai anggota baru, tapi karena dia adalah penyintas dari Geplak. Walah sedikit, Bayu ingin informasi tentang kejadian di Geplak.
"Gu-Gu-Guildmaster…!"
"Hm?" Bayu menoleh ke Yudha yang memanggilnya.
"Sa-saya ingin menjadi kuat!"
Entah akibat dorongan dari mana, tapi setelah teringat sebentar akan Geplak, keinginannya menjadi kuat muncul kembali. Bayu melihat tatapan tajam dari mata Yudha yang sudah berkantung itu.
"Tidur."
"?"
"Yang kau perlukan saat ini adalah tidur, jadi tidurlah."