webnovel

Bunuh Diri Legal

Masuk ke kamar aku segera mengunci pintu dan mematikan lampu. John berusaha membuatku makan namun aku menolaknya. Aku segera mematikan ponsel pintar pemberiannya. Aku sedang tak ingin diganggu.

Aku melepaskan pakaian dan mencari pakain tidur. Entah mengapa aku merasa semuanya itu tiba-tiba saja tak sesuai dengan seleraku. Aku putuskan tidur hanya dengan selimut menutupi tubuhku. Setelah menyetel pendingin ruangan aku memeluk bantal lain yang tidak aku pakai.

Benar-benar di luar dugaan. Aku kira saat aku tiba di Sleep and See aku akan segera masuk ke dalam kapsul dan tertidur dengan mimpi indah. Kenyataanya, aku harus menjalani masa percobaan selama satu bulan. Ini melelahkan. Lelah ahti lelah pikiran.

Begitu banyak yang bergaung dipikiranku membuat kepalaku semakin sakit. Aku memeluk bantal dan berharap rasa sakitnya pergi. Jujur entah sejak kapan aku tertidur yang terdengar kini adalah alarm yang membuatku bangun. Hari sudah berganti.

Ponsel pintar yang aku matikan kini sudah menyala otomatis sejak alarm berbunyi. Tak lama panggilan masuk.

"Selamat pagi Nona Vina. Kita akan memulai sesi pagi satu jam lagi. Mohon bersiap."

Selesai menjawab panggilan aku segera bersiap. Mencuci muka dan berganti pakaian. Satu jam kemudian aku membuka pintu kamr. Lux tampak tenang di meja makan dengan secangkir kopi dan koran. Angela sudah ada di sampingnya menerangkan banyak hal.

"Selamat pagi." ,sapaku pada meraka. John segera bangkit dari sofa menyambutku.

"Merasa lebih baik?"

Aku mengangguk. "Bagus mari kita pergi ke ruang konseling. Kali ini Tuan dan Nona akan berada di ruang konseling kolektif. Bukan pribadi seperti kemarin."

Masuk ke ruang konseling, kami disambut hangat oleh konselor.

"Ok, selamat datang di kelas konseling. Hari ini kita memiliki dua orang baru dari program tidur 20 tahun, Nona Covina Ven dan Tuan Lux Hemel Imanuel"

Mendadak semua peserta di ruangan menoleh ke arah kami. Lux tersenyum dan aku melambaikan tangan. Mereka berbisik satu sama lainnya.

"Baiklah, silahkan perkenalkan diri kalian" kata konselor yang memimpin kelas ini. "Jangan lupa wanita duluan."

"Nama saya Covina Ven. Salam kenal. Saya datang dari Indonesia. Senang bisa bergabung dengan kalian semua di sini"

Lux melanjutkan perkenalan singkat kami. "Aku Lux Hemel Imanuel. Senang bisa bertemu dengan kalian semua"

"Tuan Lux Hemel Imanuel apakah Anda yang merintis perusahaan ini?" ,tanya seorang wanita muda berusia sekitar lima belas tahun.

"Aku penggemar berat Anda. Aku di sini untuk mengikuti program ini agar bisa bertemu dengan Anda."

Semua orang berbisik satu sama lainnya mendengar pertnyaan wanita itu. Kelas mendadak gaduh. Mendenger kegaduhan, konselor segera mengambil alah dan memerintahkan agar semua peserta untuk tenang dengan otoritasnya.

"Benar, aku adalah perintis perushaan ini. Terimakasih sudah bergabung di program ini. Salam kenal Nona?"

"Aku Jessica, dari Belanda."

Konselor mengamat-amati kami. Setelah keadaan mulai kondusif ia meminta kami duduk di kursi kosong.

"Setiap orang memiliki tujuan hidupnya masing-masing. Contohnya saya, saya ada di sini untuk meyakinkan bahwa hidup anda terlalu berharga hanya untuk dijalani dengan bermimpi. Bangunlah, wujudkan mimpimu. Berapa banyak orang sukses berangkat dari mimpi? Dan ingat mereka sukses bukan karena terus tertidur melainkan bangun dan membuat langkah pertama", katanya konselor itu bersemangat.

Secara teknis konselor wanita ini jauh lebih bersemangat dari pada Julient. Pidatonya lebih tajam seperti almarhum Presiden pertama Indonesia, Presiden soekarno. Apa karena di sini ada lebih dari lima puluh orang? Atau karena tuntutan profesionalisme?

Seseorang mengangkat tangan.

"Yak, Tuan yang di belakang dengan kaus biru. Silahkan bicara."

"Kami punya apa yang kau maksud. Dan menjalani program tidur ini adalah salah satu tujuan kami."

Seseorang berdiri dan mengankat tangannya.

"Nyonya konselor, menurutku tujuan hidupku saat ini adalah agar aku memanfaatkan masa hukumanku dipenjara dengan efisien tanpa rasa bosan. Jadi aku tak akan mundur dari program ini!" , sahut wanita bertato yang ada dipojok.

Ruangan ini semakin ramai orang-orang yang berkomentar mengenai pendapat dua orang itu. Konselor kami mengetuk palu untuk menenangkan mereka semua.

"Cukup! Baiklah! Sekarang pikirkan apa keuntungan yang akan kalian dapatkan dari program ini?"

Ruangan sepi seketika. Seorang anak laki-laki belasan tahun mengangkat tangannya.

"Aku ingin lari dari ayah yang terus menghinaku bodoh dan ideot. Aku tau, aku kurang bisa bicara, kurang bisa konsentrasi. Aku mengikuti program tidur sekaligus terapi. Berharap bisa sembuh saat aku bangun nanti! Psykolog ku yang menyarankan ku. Lihat ada bekas cambuk di seluruh punggungku!" , kata anak itu.

"Aku, ibuku yang memaksaku ikut program ini." Kata Pria yang lain. Ia terlihat seperti penderita downsyndrom. "Ia, Ia , Ia….menyuruhku datang saja." katanya disertai tawa terbahk-bahak.

Konselor kami mulai kelelahan. "Baik, bagaimana dengan pendatang baru kita? Nona Covina. Ada yang mau Anda samapaikan?"

Aku gelagapan. Semua mata tertuju padaku. Lux yang duduk di sampingku juga memandangku dengan penuh harap.

"Tuan Lux, jangan menatapku seperti itu.", gerutuku sambil menyimpan rasa panik di dalam hatiku."

Ia langsung melihat ke arah lain.

"I have no reason. I just following my heart. Saya tak memiliki alasan apapun untuk dikatakan. Saya hanya mengikuti kata hati saya. Saya selalu menanyakan apapun yang akan saya lakukan kepada Tuhan. Jujur belakangan saya merasa begitu kosong. Sampai sutu saat aku melihat iklan di media cetak dan elektronik. Saat itu saya merasa seperti ada dorongan yang kuat agar saya datang ke tempat ini."

Semua orang terdiam mendengar jawabanku. Konselor itu juga tampak bingung. Lux lebih merasa aneh. Ia tak pernah mendengar hal serupa itu muncul dari mulut seseorang.

"Baiklah, kelas bubar hari ini. Terimakasih. Jika ada yang ingin mengurungkan niatnya datang padaku dan ambil formulir pengunduran diri ini."

Semua orang meninggalkan ruangan ini satu persatu. Aku lihat konselor kami merapikan semua kertas-kertas di mejanya.

"Kau seperti orang depresi Nona Covina Ven." kata konselor itu sambil meninggalkan ruangan.

Lux berdiri dan menghampiriku. "Apa yang ada dibenakmu? Apa kau melakukan semua ini demi uang? Atau demi sebuah bunuh diri legal?"

Aku menghela nafas dan tidak menjawab apapun sabil melangkah keluar. Di luar John dan Angela sudah menunggu kami.

"Kau lebih gila dari pada aku Covina!" kata Lux berbisik di telingaku.