Lagu Blank Space milik Taylor Swift menggema di seluruh Sky Akademi. Ini adalah kali keempat lagu itu diputar melalui pengeras suara. Siapapun orang di balik ruang boardcasting pastilah lagu ini adalah favoritnya.
Layla menatap notebook yang dia pegang dengan nelangsa. Setelah berebut meminta tanda tangan bersama mob anak-anak baru lainnya, berkeliling sekolah yang luasnya bikin kepalanya pusing, dia bahkan belum menyelesaikan semua tanda tangan dan jam makan siang sudah dimulai. Dan kini tinggal menunggu beberapa menit lagi sebelum murid-murid baru harus mengumpulkannya dan segera berkumpul di gymnasium.
Dia yakin sudah menulis semua tenaga pendidik dari urutan teratas hingga petugas kebersihan seperti yang di suruh senior iblis itu. Sekarang tinggal lima lagi panitia yang dia butuhkan dan kepalanya dibuat semakin pusing dia harus mencari panitia acara diantara lusinan manusia itu. Layla menatap nanar murid-murid SMA Sky yang hilir mudik dimana-mana di sekitarnya.
"Lah... anjerrr! Niat banget lo ngumpulin tanda tangan." Itu suara menyebalkan Juliet. Dia menghampiri Layla yang sedang menyender lemas di tembok masuk kafetaria seperti anak ilang. Sambil memakan roti cokelat, Juliet memperlihatkan isi notebooknya yang telah terisi penuh dengan bangga, "Nih, liat punya gue. Hahaha ..."
Tidak seperti Layla yang niat banget mencari-cari satu persatu dan meminta tanda tangan. Juliet malah dengan curangnya menjiplak tanda tangan dari murid baru lain yang di temuinya. Tak perlu ditanya, cewek itu memang cepat akrab dengan orang-orang yang ditemuinya. Berbeda sekali dengan seseorang.
Layla mengerucutkan bibirnya.
"Udah jangan cemberut terus. Nih, ambil." Juliet melemparkan roti sandwich kemasan yang diambilnya dari saku jasnya.
Layla langsung menangkapnya dengan sigap. "Thanks. Lo beneran kek emak gue, deh, Jul. Tau aja gue lagi laper."
"Najis. Males banget gue punya anak kek lo." Juliet mendengus keras. Dia menatap Layla tajam dan menunjuk wajahnya dengan botol air mineral yang dia pegang. "Dan stop panggil-panggil gue 'Jul' elah. Gue bukan Panjul. Seenggaknya di sekolah panggil gue Juliet."
"Udah kebiasaan." Layla mengendikkan bahunnya. Menggiling sandwichnya sambil tersenyum lebar.
"Ck! Kebiasaan buruk harus lo tinggalin."
"Hehehe. Maaf, Bu..."
"Ck." Juliet berdecak sebal.
"Hehehe."
"Tinggal berapa lagi?" tanya Juliet kepo. Kalau terlihat dari ekspresinya, sih, masih kurang banyak. Juliet merasa kasihan.
"Lima kayaknya. Minta air."
Juliet menyodorkan botol mineralnya yang tinggal setengah.
"Udah, nurut sama gue. Sini gue jiplakin dah. Dijamin gak bakal ketauan," ujar Juliet percaya diri.
Kalau soal meniru tulisan dan tanda tangan dia adalah ahlinya. Bisa dibilang Juliet dulu sering melakukannya saat mendapat surat dari sekolah. Dia menarik notebook Layla dengan cepat. Yah. Yang namanya sahabat harus saling membantu, 'kan?
"Uhuk! Uhuk!" Layla terbatuk keras. "Gak! Gak!" Layla dengan cepat kembali merebut notebooknya. Memandang Juliet dengan garang. "Kalau mau di hukum sendiri-sendiri, dong. Jangan ngajakin gue."
"Cih. Gak bakalan, ya." Juliet mendengus. Dia mengigit roti sobeknya rakus, mengusir Layla dengan mulutnya yang penuh, "Yaudah shuh... sana cepetan cari tanda tangan yang tersisa."
"Di dalem ada panita gak?"
"Kayaknya enggak, deh. Mereka udah tau kalau bakal banyak yang nyari di kafetaria. Mereka pasti ngumpet. Dasar senior laknat!" Juliet mengerutu sebal diremasnya botol mineral yang baru diberikan Layla dengan geram.
"Habis gue sumpah." Layla bergumam sedih. "Makasih makanan sama minumnya, Jul."
"Kalau makasih banget panggil Juliet kek atau Jules kek biar keren."
"Ogah."
Dia hendak pergi, namun, Juliet langsung menghentikannya.
"Eh. Tunggu bentar, cuk. Gue baru inget sekarang. Coba cari di lapangan tenis outdoor, deh, siapa tau masih ada orangnya. Tadi, di sana katanya Si Jessica minta tanda tangan dua kakak panita."
Mata Layla langsung dipenuhi harapan. "Namanya, namanya?"
"Kak... Siapa ya? Anjir gue lupa lagi."
"Siapa, Jul, buruan?" Layla panik. Kenapa bisa lupasih?! Ah iya Juliet, kan, paling payah dalam mengingat nama orang.
"Iya sabar elah." Juliet ikut panik, dia buru-buru membuka notebooknya. "Manasih anjir..."
"Hei, Jules!--"
Juliet dan Layla sama-sama menoleh ke asal suara. Seorang cewek berwajah blasteran tersenyum lebar. Dia sepertinya mau ke kafetaria dan kebetulan melihat Juliet.
"--Lo nanti mau barengan ke gym, gak?..."
"Jessica!" Juliet terpekik girang. "Eh, lo tadi terakhir minta tanda tangan kakak siapa yang di lapangan tenis?" Dia langsung bertanya, tak memperdulikan muka kaget cewek berambut coklat terang itu yang meneriaki wajahnya.
"Jessica?" Dia menoleh kekanan dan kekiri. Sebelum akhirnya mengernyit bingung pada Juliet. "Jessica siapa?"
"Lah, lo Jessica, 'kan?"
"Nama gue Gennifer."
"Hah?! Jennifer?! Jessica kali?!
"Gue Gennifer!"
Ya ampun kok mereka jadi berantem, sih. Nama Jessica sama Gennifer beda jauh, dungu. Dan kenapa Juliet ngeyelin nama orang. Layla segera menarik rambut kuncir kuda Juliet. "Dia Gennifer, gebleg!"
"Apasih anjir?!"
Layla menatap Juliet tajam. Mengeja nama Gennifer dengan penuh penekanan, "Gen.ni.fer."
"Ahiya iya Jennifer." --Layla rasanya ingin memukul kepala cerdas anak itu--. "Anu, tadi lo minta tanda tangan siapa di lapangan tenis?"
"Kak Adriel sama Kak Aditya?"
"Ah... iya itu... Kak Adriel sama Kak Aditya. Lo belum--" Belum selesai Juliet bertanya pada Layla, cewek itu ngacir duluan.
"Thank you, Gennifer, Juliet!" teriak Layla sambil berlari menjauh, tak memperdulikan anak-anak di sekitarnya yang kaget dan langsung memperhatikannya.
"--lah anjir dia kabur. Eh tunggu! Barusan dia manggil gue Juliet, 'kan?"
🍦
Untungnya lokasi lapangan tenis tak terlalu jauh dari kafetaria. Ya. Hanya perlu melewati koridor panjang, beberapa pintu, halaman samping, gedung gymnasium di sayap kiri dan di sampingnya lagi.
Tempatnya begitu menonjol dan cukup strategis diantara gedung-gedung lain. Tentu saja dengan kemewahan dan kenyamanan yang sama. Terlihat luaaassss dengan pagar kawat yang mengelilinginya. Beberapa pohon juga tumbuh di sekitarnya, siapapun akan betah berlama-lama olahraga dan menonton cowok-cowok bermain tenis di sini.
Dari kejauhan terlihat dua orang cowok yang sedang bermain tenis. Mungkin itu Kak Adriel dan Kak Aditya. Yah... dia takkan masuk sebelum mereka berhenti, kan? Dia tak ingin menggangu konsenterasi mereka.
Tapi, sial! Dia melihat ponselnya sekilas. Sial! Waktunya mepet banget!
Layla mendekat dan diam-diam mengintip dari sela-sela pagar kawat dan memperhatikan jalannya permainan di depannya, sebelum akhirnya tiba-tiba dia terkesiap. Sepasang netra berwarna gelap menatapnya dengan tajam.
Layla berkedip, jantungnya memompa cepat, kedua iris cokelat mudanya langsung terpaku pada cowok berpakaian serba hitam itu. Apa tadi dia salah lihat? Barusan cowok itu melihatnya, 'kan?
"Ya ampun..."
Layla melongo. Layla memfokuskan pandangannya pada cowok dengan tinggi badan diatas rata-rata itu.
"Lebih dari 180 centimeter."
Yang satunya juga ganteng. Tapi, cowok berbaju serba hitam itu memiliki wajah yang terlihat sangat ethereal. Kalau ini cerita fantasy cowok itu mungkin adalah sejenis demi-god atau bahkan mungkin bangsa peri.
Tanpa sadar Layla terhanyut dalam permainan tenis cowok itu. Melihat bagaimana caranya bermain tenis. Cara cowok itu melompat, berlari mengejar bola, menerimanya dan memukulnya. Seumur hidup baru kali ini terasa menyenangkan melihat seseorang bermain olahraga. Terlihat seperti ada cahaya ilahi yang menerangi sosoknya dan hal itu membuat Layla tersihir hanya untuk melihatnya seorang saja.
Hingga dia tak sadar seseorang menghampirinya dan ikut melihat apa yang dilihatnya, tersenyum jahil sebelum menepuk pundaknya.
"Hey, what are you looking at?"
Perut Layla terasa seperti ditendang. Terkejut karena seseorang menyentuh bahunya. Dia cepat-cepat menoleh, terlalu gugup hingga punggungnya membentur pagar kawat. Didapatinya seseorang cowok berdiri memegang sebuah sepeda, menatap Layla dengan wajahnya ingin tahu.
Layla langsung berteriak seperti maling yang ketahuan mencuri dan berusaha cuci tangan, "M-maaf saya gak bermaksud mengintip! Saya bukan orang aneh!"
Cowok bermata biru tua itu memiringkan kepalanya. Bingung.
👽