Lanjutan..
Via berhenti berputar pada kursi, dia mengangguk, tersenyum dan segera membuka segel susu cair tanpa rasa itu yang tadi diberikan oleh Darwin. dia meneguk dengan penuh dahaga tanpa malu-malu dan sungkan.
Seakan Darwin baru pertama kali melihat perempuan minum dengan santai seperti Via. dia sampai melongo.
"Kenapa?" tanya Via heran dengan tatapan mata Darwin padanya. Dia tidak merasa melakukan hal yang aneh sehingga tetap Darwin membuat dia merasa jengah.
"Tidak-tidak... kau mengingatkanku pada dua orang sahabatku," jawab Darwin dengan wajah tertunduk.
Oh kupikir mengingatkan pada kekasihmu yang mesum itu! Batin Via mengejek.
"aku merasa menjadi diriku sendiri saat aku berada diantara dua sahabatku itu, kami sudah lama berteman dengan sifat yang kami miliki, jelas saja kami sangat berbeda, aku dan kedua temanku itu bukan berada pada lingkungan yang sama. Kami juga tidak memiliki lingkup keluarga, pertemanan dan semuanya itu.. semuanya jelas berbeda tapi kami merasa nyaman.." Via menautkan alisnya seolah mendengarkan curhatan Darwin dengan serius.
"Apa temanmu itu dari sekolah SMA mu?" tanya Via mulai menyelidiki, seingat dia Ruth pernah bicara kalau Darwin adalah teman satu SMA, dan dari SMA mereka sudah menjalin hubungan 'serius' sampai menuju ke arah hubungan orang dewasa.
Ruth yang menceritakan semua itu kepada Via tanpa rasa canggung. Bahkan dia menceritakan dengan bangga pengalaman pertama dengan teman prianya di masa SMA dan Darwin bukanlah pria pertama bagi Ruth.
Mendengar pertanyaan Via, Darwin sedikit memundurkan badannya,
"tidak, mereka bukan teman SMA, kami kenal di kampus, kami satu kampus." sekarang giliran Via yang menjauhkan tubuhnya, dia seakan terkejut dengan jawaban Darwin.
Oh ku pikir masa SMA adalah yang terbaik bagi kalian! Dia mendengar semua kisah awal hubungan asmara tidak sehat antara Darwin dan Ruth. Dia kasihan pada Darwin karena baginya Darwin tidak bisa lepas dari hubungan toxic sementara Ruth malah menikmati hubungan toxic itu. Tidak tahu mengapa via menjadi sedikit bersyukur mendengar jawaban dari Darwin, ternyata masa SMA bukanlah masa terbaik bagi Darwin dan pria ini ternyata memiliki teman di luar dari teman-teman SMA-nya yang toxic. Tapi jawaban Darwin tidak membuat via puas dia masih ingin menuntaskan rasa penasarannya. Dia ingin mencocokkan cerita dari versi Ruth.
"Bagaimana dengan teman SMA-mu?" tanya Via ingin tahu, sorot matanya tampak berbinar seperti lampu pijar, dia begitu ingin tahu tentang pribadi Darwin karena dia membutuhkan semua informasi ini untuk menghentikan tingkah konyol Ruth. Dia harus membawa sobatnya itu ke jalan yang benarkan?
"teman SMA, aku rasa teman-teman SMA itu konyol, meski kami sudah jarang berkomunikasi tapi masa masa SMA adalah masa yang paling indah sih menurutku,"
Ah dasar kau labil! Wajah via berubah kesal.
"masa SMA adalah masa yang indah menurutku eh, menurutmu," ujar Via mengulang kalimat dari Darwin, seakan jelas mengejek. Tentu saja indah 'kan kau mengenal Ruth disana. Kau juga diajari hal-hal yang tak masuk akal olehnya.
Via sungguh tak habis pikir dengan hubungan tak sehat tapi terus saja dijalani oleh kedua manusia itu.
"Masa SMA itu sangat seru ya, aku juga sangat menyukai masa-masa SMA, aku bisa ikut berkemah, ikut kegiatan amal, bantuan bencana, aku juga ikut ekstrakurikuler dan olahraga." Ujar Via sarkas, tentu saja dia sedang menyindir masa lalu Darwin karena dia tahu hubungan panas cinta Darwin dan Ruth di masa SMA sangat bertolak belakang dengan masa SMA dirinya.
"Kamu terdengar Hebat ya," Puji Darwin. "tentu saja." sahut Via merasa bangga.
"kamu sendiri, apa saja yang kamu dapatkan saat SMA, aku yakin anak orang kaya di sekolah elit internasional pasti bisa ikut lomba sekelas Olimpiade ya kan!" tanya Via.
Darwin hanya tersenyum kecut, "masa SMA ku, ya masa SMA adalah.. aku mengenal seorang wanita yang tak bisa aku lupakan. Apalagi aku tinggalkan.." bullshit Darwin!! rasanya Via ingin berteriak seperti itu di depan muka Darwin sambil menyiram wajah pria itu dengan susu yang sudah bercampur dengan salivanya! Sayangnya, dia tidak bisa melakukan itu mengingat ada ekspresi sendu di wajah Darwin. Yang ada dia malah terdiam seribu bahasa memandangi wajah Darwin.
Beberapa detik kemudian Via turun dari kursinya.
"Baiklah, sekarang aku harus pulang. Aku tidak punya banyak waktu di sini." ujar Via begitu saja, Darwin ikut turun dari kursinya, dia merasa heran dengan perubahan sikap Via padanya.
Apa dia mengatakan sesuatu yang salah? Darwin jadi tak enak hati.
"Oh ya, kamu sudah tahu namaku. Apa aku boleh tahu siapa namamu?" tanya Darwin di belakang punggung Via setelah mengantar gadis itu sampai ke teras rumah, di pekarangan sana sudah ada taksi yang menunggu, yang siap mengantarkan Via untuk pulang.
Via membalikan tubuhnya seakan wajahnya yang tadi tampak begitu datar kini bisa tersenyum dan bersinar, membuat Darwin sedikit terkejut, dia seakan tersedot dengan ekspresi wajah Via yang tampak polos tapi sangat menarik, seolah memancarkan cahaya.
"Darwin.. bagiku jomblo itu bukannya lebih terhormat daripada kita terlibat dalam suatu hubungan yang tidak sehat dan penuh dengan racun?" bukannya menjawab pertanyaan Darwin, dia malah memberikan wejangan hingga membuat dahi Darwin berkerut tak mengerti.
"maksudmu?" tanya Darwin setengah berteriak karena Via sudah mulai menuruni anak tangga teras rumahnya yang berukuran sangat luas itu tapi, Gadis itu tidak menjawab lagi ucapan Darwin.
via hanya melambaikan tangan sebelum dia masuk ke dalam taksi yang sudah menunggu dan menghilang dibalik terbang tinggi rumah keluarga Darwin.
Saat ini cahaya matahari berwarna orange, senja mulai tiba. Darwin menyeka dahinya, menaikkan sedikit rambutnya, memamerkan dahinya yang tampak begitu licin bak porselen cina, pria itu menahan senyuman di bibirnya, dia mengangkat bahu.
"Bukankah gadis tadi terlihat sedikit aneh?" gumamnya pada diri sendiri sambil tersenyum tipis, dia bisa berkata kalau Via aneh sementara, Via sendiri di dalam taksi berpikir kalau Darwin adalah pria yang aneh.
Via memangku dagu menyandarkan punggungnya di kursi mobil, matanya menatap keluar jendela memperhatikan jalanan yang ramai.
'Dia sangat tampan.. dia punya harta, dia dari keluarga yang terhormat tapi, bisa-bisanya dikelabui oleh wanita seperti Ruth, hidup ini benar-benar tak adil, seharusnya orang seperti Darwin itu bisa mendapatkan seorang putri..' dia larut dalam pikirannya sendiri. 'tapi, aku yakin kalau seorang pelayan saja bisa menipunya jangankan seorang putri!' batin Shinta berdebat sendiri.
Dia menggelengkan kepala, sepertinya dia terlalu jauh ikut campur dan hasrat ingin tahunya terlalu berlebihan. Shinta merogoh tasnya, dia mencari iPhone terbaru belasan dari Ratih. Alangkah terkejutnya saat ia tak menemukan benda mahal itu. Shinta menggigit ujung kuku jempol, berpikir.
"Ish.. jangan jangan jatuh sewaktu dia nabrak tadi.." lirih Shinta kecewa. "Padahal aku harus kabari Ratih, setidaknya dia harus tahu kalau temannya sudah mampir ke rumah pacarnya." Mau bagaimana lagi, Shinta hanya bisa menghela nafas berat.
***
Darwin menuju kamarnya di lantai atas, dia memandang jendela besar di balkon dimana dia bisa melihat pemandangan belakang rumah yang dilengkapi oleh kolam renang, pria itu tersenyum kecut lalu membalikkan tubuhnya, bersandar pada besi tabung yang menjadi pengaman balkon. Dia mengurut dahi sesaat.
Ingatannya kembali di masa SMA, dimana ia membawa Ratih untuk pertama kalinya, dimana gadis itu menikmati hawa dingin kolam renang dan tak membawa pakaian. Dimana ia dan Ratih memulai aksi menuju kedewasaan tanpa pikiran matang.
Darwin menengadahkan kepalanya, menatap langit senja yang sebentar lagi gelap.
"Aku pikir setelah menikmati rasa itu maka hubungan kami hanya ada kebahagiaan. Tapi tidak!" Darwin menggenggam ponsel di tangannya yang dihiasi Swarovski pada case berwarna merah jambu.
Triing!
Darwin tak mau menekan tombol buka pada pesan masuk. Dia hanya bisa melihat jelas, foto kekasihnya sedang memeluk seseorang.
"Aku yakin kau menyimpan banyak rahasia di belakangku." Darwin menggenggam erat ponsel di tangannya, sayang tenaganya lemah, tak bisa meremukkan benda mahal itu.
"Haruskah aku memaafkan, atau membalasmu?"