"Ini …" Ia kemudian dengan cepat menutupi hidungnya dengan kain lap yang dipegangnya saat bau dari benda tersebut menusuk hidungnya.
'Siapa yang bikin gara-gara begini,' batinnya sambil mengambil sapu dan pengki lalu membawa kotak tersebut keluar dari toko.
"Kamu mau bawa kemana?" tanya Dila yang baru selesai memuntahkan sarapan paginya.
"Kedepan," sahut Jiya sambil berjalan dengan cepat.
"Jangan. Bawa kebelakang saja," ujar Dila sambil menunjuk ke arah tempat pembakaran sampah yang ada di samping rumahnya.
Jiya pun langsung berbalik dan pergi ke tempat yang ditunjuk oleh Dila.
"Sialan," ujarnya sambil melemparkan benda tersebut ke dalam tempat membakar sampah.
Tak lama kemudian Dila pun menyusul ke tempat itu. "Bagaimana?" tanyanya.
"Sudah aku buang," jawab Jiya sambil melepas kain lap yang sempat ia jadikan masker darurat tadi.
Dira pun menatap ke arah kotak tersebut. "Ini pasti orang yang mengancam semalam," ujarnya resah.
"Tapi kurang kerjaan banget, di mana dia cari bangkai tikus yang udah banyak belatungnya begitu. Nggak modal," komentar Jiya lalu berjalan meninggalkan tempat itu yang diikuti oleh Dila.
"Malah harganya yang kamu pikirin. Memangnya kamu mau dikirimin boneka panda 500 ribu yang berdarah-darah, mau?" tanya Dila sambil mengikuti langkah teman baiknya itu.
Jiya pun menjawab dengan santai. "Ya paling tidak kalau boneka 500 ribu itukan fotogenik dan bisa aku jadikan status WA."
"Jiya binti Ghofur anaknya mak Mut," geram Dila.
Jiya pun cekikikan mendengar ucapan teman baiknya itu.
Setelah itu mereka berdua pun kembali melakukan aktifitasnya sambil membicarakan masalah itu sepanjang pekerjaan mereka. Hingga …
"Ya sudah habis siang toko kita tutup saja, aku ada acara lain dan kamu juga harus mengurus yang lain," ucap Jiya memutuskan masalah tersebut.
"Tapi …" Dila terlihat enggan menyetujui hal tersebut.
"Kita gencar di online saja Dil, pokoknya ada toko yang bisa di kunjungi kan sudah cukup," ucap Jiya dengan tatapan muram.
Dila pun mendesah pelan. "Iya aku setuju kalau begitu," sahutnya dengan berat hati.
Jiya pun terdiam saat menatap wajah sahabatnya tersebut. 'Andaikan aku bisa setiap saat di sini, pasti akan aku buka toko ini sampai malam,' batinnya yang tak tega melihat temannya yang kecewa karena harus menutup toko lebih awal, tapi Jiya juga tak bisa membiarkan temannya itu menjaga toko sendirian karena ia tahu kalau sahabatnya itu orang yang penakut dan mudah stress.
*
Beberapa jam berlalu, hingga akhirnya waktu menutup toko pun tiba.
"Alhamdulillah ya Ji, sudah ada beberapa pesanan," ujar Dila sambil memeluk ponsel khusus toko yang ada di tangannya.
"Iya. Kalau begitu kamu tulis saja apa yang harus aku beli, jadi besok bisa langsung proses." Jiya mengatakan hal tersebut sambil menatap terus ke layar ponselnya.
"Kamu sedang ditunggu orang?" tanya Dila yang memperhatikan raut wajah Jiya yang gelisah.
Jiya pun menatap ke arah teman baiknya itu. "Iya, tadi aku janjian sama seseorang di tempat anak-anak," jawabnya.
"Kalau kamu memang repot biar aku saja yang belanja." Dila mengatakan hal tersebut sambil menulis catatan barang-barang yang harus dibeli.
"Jangan. Kalau kamu belanja, nanti ibu kamu siapa yang jaga. Setelah selesai dari tempat anak-anak aku langsung belanja, tenang saja," sahut Jiya dengan santai sambil menatap ke arah apa yang sedang ditulis oleh temannya.
"Kamu yakin?" tanya Dila memastikan semuanya.
Jiya pun langsung menepuk pundak Dila. "Iya, kamu serahkan saja semuanya padaku," jawabnya ringan.
Dila pun tersenyum mendengar jawaban tersebut. "Terima kasih ya," sahutnya yang terharu dengan pengertian Jiya terhadap keadaannya saat ini.
Setelah menyelesaikan semuanya, mereka pun segera menutup toko tersebut. Jiya yang sudah menyelesaikan bagiannya pun segera berpamitan meninggalkan tempat itu. Namun ketika ia baru mengendarai motornya keluar dari halaman toko tersebut tiba-tiba …
"Danc*k, cel**!" Maki seseorang yang juga naik motor sambil menendang motor matic Jiya.
Tak pelak Jiya pun jatuh dari motornya, tapi dengan cepat ia bangun seraya berteriak, "Ganj*nge, mandhek!"
"Ji!" teriak Dila sambil berlari ke arah Jiya yang sedang menepuk-nepuk pakaiannya—membersihkan debu akibat terjatuh.
"Sialan banget," gerutu Jiya sambil menarik motornya agar bangun kembali.
Dila pun segera membantu Jiya sambil bertanya, "Kamu nggak apa-apa?"
"Iya nggak apa-apa. Untung saja aku baru keluar dari sini dan masih pelan," gerutunya.
Dila pun langsung menyahut, "Ada yang terluka nggak? Apa perlu aku antar ke puskesmas?"
"Nggak usah, aku nggak apa-apa kok," tolak Jiya dengan santai. "Cuma … aku penasaran siapa orang tadi, dia pasti sengaja ngelakuin ini," ujarnya sambil duduk di atas motornya kembali.
Dila pun berkomentar, "Aku yakin itu orang yang ngirim kado tadi, pasti orangnya sama."
Jiya pun bergumam, "Apa iya ya …."
"Pokoknya kamu harus hati-hati Ji. Kalau memang ada yang nggak beres kamu nggak usah belanja saja, dan kalau ada apa-apa cepat kabari aku."
"Iya-iya bawel banget, dasar pacarnya Paijo," sahut Jiya, lalu menyalakan motornya dan langsung pergi meninggalkan Dila yang masih mengomel di sana.
**
Setelah mengendarai motor selama 15 menit akhirnya ia pun sampai di sebuah bangunan mirip pendopo yang terletak di dekat area perumahan.
Saat ia tiba di tempat itu, terihat beberapa anak yang berlari untuk menyambutnya.
"Bu Jiya!" teriak anak-anak itu lalu berebutan mencium tangan Jiya yang baru saja turun dari motor maticnya.
Jiya pun tersenyum hangat ke arah anak-anak tersebut. Setelah itu ia berjalan masuk ke bangunan tersebut menemui rekan-rekan sesama relawan yang sudah terlebih dulu ada di sana.
"Kalian lagi ngomongin apa?" tanya Jiya sambil duduk berkumpul bersama yang lainnya.
Lalu orang yang ada di samping Jiya pun menyahut, "Itu Ji, tadi—"
"Tadi apa," sela gadis dengan kerudung berwarna biru. "Nanti saja bicaranya, sekarang kita mulai saja dulu kelasnya," imbuh gadis tersebut.
'Ada apa ini?' batin Jiya yang sadar kalau ada yang teman-temannya itu sembunyikan dari dirinya.
"Baiklah mari di mulai," sahut Jiya yang berpura-pura tidak menyadari apa pun.
Akhirnya Jiya bersama teman-temannya pun mengajari anak-anak kecil yang memang datang ke sana khusus untuk belajar membaca dan menulis dengan telaten. Beberapa ibu dari anak-anak itu pun juga ikut memperhatikan anak mereka dari kejauhan.
Semua berjalan lancar seperti biasanya, hingga terlihat seorang wanita dan anak laki-laki datang ke tempat itu menggunakan motor matic berwarna kuning cerah.
Dan ketika motor itu berhenti, terlihat anak laki-laki tersebut tersenyum lebar ke arah Jiya.
Namun Jiya yang mendapat senyuman tersebut, bukannya bahagia tapi malah mengernyitkan keningnya. 'Apa yang dilakukan anak tengil itu?' pikirnya lalu mengganti tatapannya ke arah wanita yang baru turun dari motor tersebut dan kini sedang berlari ke arahnya.
Wanita tersebut dengan cepat memeluk Jiya. "Ji, aku tidak sanggup," ujarnya.
Mendengar hal itu, Jiya pun langsung menatap tajam ke arah anak laki-laki yang masih duduk santai di motor.
Namun anak laki-laki tersebut tanpa takut langsung menjulurkan lidahnya—mengejek.
'Cih anak ini,' geram Jiya di dalam hati.