"Kamu …."
"Aku kenapa," tukas Bumi dengan gaya tengilnya. "Lagi pula selera kamu rendah sekali, memangnya kamu mau ditemani orang yang berdandan seperti itu sepanjang hari?"
Jiya pun menelan ludahnya mendengar perkataan anak laki-laki tengil tersebut. 'Benar juga, dia memang agak … memang cukup menor sih,' batin Jiya yang membenarkan hal tersebut sambil menatap ke arah Lina dan mengamati dandanannya.
"Tapi apa pun alasannya, memfitnah orang itu tidak dibenarkan," ucapnya mencoba menasehati Bumi kecil.
Bumi pun langsung menyahut, "Memangnya siapa yang memfitnah?"
Jiya pun mengernyitkan keningnya.
"Aku tadi hanya mengambil barang di mini market, lalu orang mini market bertanya di mana orang tuaku. Karena dia yang bertanggung jawab menemaniku, maka tidak salah kan jika aku menunjuk dia," ujar Bumi kecil dengan tenang tanpa menunjukkan rasa bersalah sedikit pun.
'Anak ini …' geram Jiya di dalam hati.
Lalu …
Thakkk!
"Aww!" pekik Bumi kecil sambil mengusap-usap kepalanya. "Kenapa kamu menjitakku?" tanya Bumi sambil menatap tajam ke arah Jiya.
"Kalau tidak dijitak, kamu mau diapain?" geram Jiya.
"Papaku saja tidak pernah melakukan itu," sahut Bumi.
"Maka dari itu biar aku mengajari kamu," tandas Jiya lalu memeluk Bumi kecil dengan erat.
"Lepaskan aku!" teriak Bumi sambil meronta.
Jiya kemudian kembali bicara. "Kamu tahu, temanku hampir masuk penjara karena tingkah kamu tadi."
"Aku tidak peduli, itu bukan urusanku."
"Apa kamu bisa membayangkan jika dia dipenjara maka keluarganya akan sedih. Dan jika ibu temanku itu sedih, bisa saja dia kena serangan jantung lalu mati. Apa kamu siap dihantui oleh arwah ibu temanku itu setiap hari?"
Bumi kecil pun terdiam.
"Jadi kamu siap?" bisik Jiya di telinga Bumi dengan lembut—sengaja menakut-nakuti.
'Hantu ibu-ibu,' pikir Bumi sambil menatap ke arah ibu-ibu yang sedang menemani anaknya belajar. Kemudian Ia pun teringat pada salah satu karakter hantu di dalam film yang pernah ditontonnya.
"Bagaimana?" bisik Jiya yang terus mencoba menggiring pikiran Bumi ke dalam rasa takut.
Tapi akhirnya …
"Tidak," tukas Bumi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kata Papa, hantu itu tidak pernah ada. Mereka itu hanya orang yang menggunakan kostum," imbuhnya.
'Dih anak zaman sekarang,' batin Jiya.
"Kamu nggak takut setan?" tanyanya lagi.
"Tidak, mereka itu hanya badut yang memakai topeng jelek," jawab Bumi dengan penuh keyakinan.
Jiya pun menghela napas panjang mendengar jawaban Bumi, setelah itu ia pun mengacak-acak rambut Bumi dengan gemas.
"Aduh," pekik Bumi sambil memegangi kepalanya.
Tapi Jiya tak peduli dan dengan cepat ia pun mengecup pipi putih anak laki-laki yang ada di dekatnya tersebut.
"Sudah aku bilang jangan mencium sembarangan, ini menjijikkan," teriak Bumi sambil mengusap-usap pipinya.
Jiya pun terkekeh melihat hal itu. Bahkan beberapa orang pun ikut tertawa melihat hal tersebut.
"Kurang ajar," geram Bumi karena merasa dipermalukan.
Jiya lalu memeluk Bumi kecil dengan erat. "Sudah jangan marah. Sekarang aku tanya, kamu mau pulang sama aku atau tante Lina?" tanyanya.
"Dari pada pulang dengan kalian, lebih baik aku jalan kaki," sahut Bumi dengan lantang.
Jiya pun kembali terkekeh. "Baiklah kalau kamu memang mau berjalan. Tapi apa kamu tahu jalan pulang?"
Bumi pun terdiam. 'Benar juga apa kata tante jelek,' pikirnya.
"Kalau begitu aku pinjam ponsel Tante, ponsel aku baterainya habis," ucap Bumi dengan santai.
"Untuk apa?" tanya Jiya sambil mengeluarkan ponselnya.
Bumi pun menyahut dengan cepat, "Tentu saja untuk menelepon papa, memangnya untuk apa lagi."
Jiya pun memberikan ponsel pada Bumi sambil berkata, "Pakai saja, setelah papa kamu datang baru kembalikan ponsel itu."
"Iya, cerewet," sahut Bumi sambil mengambil ponsel tersebut dari tangan Jiya.
Setelah itu Jiya pun menjauh dari Bumi dan kembali mengajari anak-anak kecil tadi.
Satu jam akhirnya berlalu, akhirnya Jiya dan teman-temannya pun selesai mengajar dan Bumi pun kini berpindah duduk di motor Jiya.
"Papamu belum datang?" tanya Jiya dengan santai sambil berjalan ke arah Bumi.
"Belum," sahut Bumi dengan bibirnya yang mengerucut, menggemaskan.
"Apa kamu tidak ingat nomernya anak buah papa kamu itu?" tanya Jiya kembali sambil menatap ke arah sekitar.
"Tidak," sahut anak laki-laki itu dengan wajah kesal.
"Mungkin papamu masih sibuk kalau begitu—" Kalimat Jiya terputus ketika ada orang lain yang memanggil namanya.
Jiya pun langsung menoleh ke arah suara tersebut. "Ya," sahutnya.
Jiya kemudian kembali menatap ke arah Bumi. "Kamu duduk di sana ya, di sini terlalu sepi, bahaya."
"Bahaya?" tanya Bumi sambil mengerutkan keningnya.
"Pokoknya bahaya. Kamu duduk di sana saja," ujar Jiya sambil menarik tangan Bumi dengan lembut hingga anak laki-laki tengil itu pun menurutinya.
Setelah membawa Bumi ke tempat mengajarnya tadi, kemudian Jiya pun pergi masuk ke dalam sebuah ruangan untuk menemui teman-teman sesama pengajarnya.
"Apa yang tante jelek lakukan," gumam Bumi yang penasaran dan akhirnya mendekat keruangan tempat Jiya dan teman-temannya itu berkumpul untuk menguping.
*
Di dalam ruangan.
"Maaf sebelumnya Ji, kami tak ada masalah apa pun dengan kamu tapi …" ujar salah seorang gadis yang menggunakan kerudung merah dengan ragu.
Jiya pun langsung menyahut dengan tenang, "Katakan saja, ada apa?"
"Ini masalah kelompok ini," lanjut gadis berkerudung merah tersebut.
"Iya?" Jiya makin penasaran dengan apa yang terjadi. Hatinya tak bisa bohong, dia merasa gelisah karena merasakan hawa tegang yang terjadi saat ini.
"Begini … kami mendapat ancaman dari seseorang, dia berkata akan membuat kegiatan kita ini dihentikan. Dan semua ini ada hubungannya dengan kamu," beber gadis berkerudung merah tersebut.
"Aku?" Mata Jiya terbelalak mendengar hal tersebut.
"Iya, orang itu menargetkan kamu. Mungkin kamu punya masalah dengan seseorang, jika bisa tolong segera selesaikan."
Jiya pun terdiam. 'Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan orang yang ada di toko kue itu,' pikirnya sambil mengepalkan tangannya.
"Bagaimana Ji?" tanya gadis berkerudung merah itu lagi.
Jiya pun tetap diam, kemudian ia mengarahkan pandangannya ke arah gadis berkerudung merah dan juga beberapa temannya yang juga ada di tempat itu.
Lalu teman yang sempat membantunya tadi pun menyahut, "Sebenarnya kami tidak begitu percaya Ji dengan ancaman orang itu, tapi …" Temannya itu pun ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
'Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan tanah yang ada di depan,' batin Jiya yang teringat dengan setumpuk tanah yang ada di halaman tempat itu (padahal halaman tempat itu sudah dipaving).
Kemudian Jiya pun menghela napas panjang. "Jujur saja, sebenarnya sebelum datang ke sini aku juga sempat kena teror aneh dari seseorang. Tapi aku sendiri tidak tahu teror dan hal ini datang dari mana. Kalau memang kalian punya jalan yang baik untuk menyelesaikan masalah ini, aku pasti menerimanya," sahut Jiya sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Kalau begitu … bagaimana jika sementara waktu kamu istirahat dulu sampai masalah ini redam," ujar gadis berkerudung merah dengan hati-hati.
"Ya, tidak masalah." Jiya pun tersenyum hambar saat mengatakan hal tersebut, terlihat jelas rasa kecewa dihatinya.
Dan ketika suasana sedang suram-suramnya, tiba-tiba …
"Hai, kalian sedang apa!" Terdengar suara teriakan anak kecil di luar ruangan itu.
Jiya pun tersentak. "Bumi," ujarnya dan langsung bergegas keluar dari ruangan itu.