webnovel

Small Gift.

"Nenek, kenapa kamu diam?" tanya nya lagi dengan isak tangis yang semakin keras. Gadis itu mengeratkan tangannya. Menyembunyikan  kepalanya di perut sang nenek. Sedangkan nenek nya membiarkan gadis itu membanjiri ruangan ini. Tidak peduli mutiara hitam yang seperti akan menenggelamkan mereka berdua. Elen mulai memeluk pelan punggung cucunya. Rasanya, Elen ingin menutup telinga dengan sesuatu. Tuli pun tidak apa-apa. Dia merasa sangat terluka mendengar jeritan cucunya itu. Setiap jeritan tangisan yang keluar dari mulutnya, hati Elen merasa ada yang mencabiknya. Sakit. Sangat sakit. Kini, Leon yang merupakan anak semata wayangnya sudah meninggalkan dunia yang kejam. Mengingat wajahnya yang selalu berbinar sambil mengatakan bahwa dia akan melakukan yang terbaik untuk cucunya. Hal tersebut malah membuat dalam luka di hatinya. Neneknya pun tidak menyangka. Bagaimana anaknya itu pergi setelah selesai dengan urusannya. Maksudnya, mengapa tidak tinggal lebih lama di sini. Melihat Kelly tumbuh lebih besar. Memastikan hidupnya aman dan bahagia sampai akhir. Bagaimana pria yang masih kecil di mata neneknya itu, tidak berpikir lebih jauh. 

"Kapan-kapan, aku akan menceritakan bahwa Leon adalah ayahmu," kata Elen. 

'Anak nakal' bisiknya dengan suara yang terisak. 

Ketika Elen yang selalu tidak sabaran, kini dia menunggu cucunya berhenti menangis dengan sabar. Hingga satu kalimat dengan nada yang tenang dan pasrah keluar dari mulut kecil cucunya.

"Ayahku sudah sangat baik merawatku," celetuk gadis itu. Dengan tubuh yang masih lemas karena tangisan berjam-jam. Tidak ada tenaga untuk mengangkat tubuhnya. Mata yang membengkak dan rambut yang kembali acak. 

"Padahal, ayah sudah menyukai penampilanku tadi. Tapi, aku malah membuat diriku berantakan kembali. Aku memang gadis yang buruk. Maafkan aku ayah," sambung gadis itu dengan satu mutiara yang menggulutuk di sudut mata nya. Berharap itu adalah mutiara terakhirnya. 

"Hari ayahmu selalu ikut suram, Karena setiap hari melihatmu tidak bergairah. Sering sekali ayahmu datang kepadaku untuk menghentikan hukumanmu. Supaya kamu seceria seperti dulu lagi. Nyatanya, aku lah yang jahat di sini. Aku menyakiti anak dan cucuku. Aku yang tidak layak hidup. Bukan ayahmu. Ayahmu jauh lebih dewasa dan sabar. Maafkan aku Kelly," ucap Elen yang merasa bersalah dan memegang dadanya erat.

Tubuh Kelly semakin lemah. Dadanya terasa sesak. Pandangannya semakin kabur dan gelap. Hingga gadis itu pun tidak sadarkan diri. 

"Kelly, bangunlah Kelly," kata Elen panik.

Kelly pun dibiarkan istirahat di atas kasur yang selalu ayahnya tiduri setiap hari. Terasa keras dan tidak nyaman. Bau tubuh sang ayahnya, membuat Kelly menangis dengan mata tertutup. Kelly mulai membuka mata nya pelan. Di sana, terlihat nenek dan temannya yang menatap sendu. Suara pun mulai terdengar walaupun tidak begitu jelas. 

"Kelly, kamu sudah bangun?" ucap Olix sahabat gadis itu.

"Kelly, tidurlah kembali," perintah Elen dengan membenarkan posisi duduk cucunya itu.

"Ayah dimana sekarang?" ucapnya datar.

"Kamu mau ikut sambutan terakhir ayahmu?" tanya Elen ragu. 

Kelly pun mengangguk pelan. Mengangkat tubuhnya dan sesekali memegang kepalanya yang berat. 

Persembahan terakhir pun dilaksanakan. Ayah Kelly yang bernama Leon, dikenal atas kebaikannya oleh makhluk laut. Selalu melakukan sesuatu dengan tulus. Leon mati secara terhormat. Sambutan terakhirnya pun dihadiri oleh Raja dan Ratu lautan. Tidak ada yang tidak meneteskan mutiara saat melihat jasad Leon di masukkan di mulut paus. Benar. Begitulah cara makhluk laut memakamkan jasad para Siren. Jasad Leon mulai memasuki mulut besar sang paus biru tersebut. Paus terbesar di lautan ini. Diikuti mutiara putih miliknya. Melihat mutiara putih yang melimpah itu mengapung dan mengikuti jasad Leon, menambah deraian tangis semua penduduk laut. Mereka menjadi semakin yakin. Bahwa, Leon benar-benar sudah meninggalkan dunia ini. 

Mutiara putih merupakan mutiara yang pemiliknya benar-benar akan mati dengan terhormat dan jelas memiliki hati yang tulus dan suci. 

"Selamat tinggal Ayahku. Aku menyayangimu," teriak sang anak semata wayangnya. Kelly menjatuhkan diri nya. 

'Maafkan aku ayah, hiduplah dengan tenang di alam sana. Jangan mengingat aku anak pembangkang ini' batin nya. Kelly tampak menarik erat dada nya. Dia benar-benar ingin bisa bangkit dan menahan tangisannya yang sedari tadi keluar. Dia ingin tampak hebat di hari terakhir ayahnya. Gagal. Nyatanya Kelly tidak hebat. Kelly hanya pembangkang yang cengeng. 

Sedangkan Elen, dia juga sangat sakit saat ini. Disisi lain dia harus menghibur cucunya itu. Padahal dia sendiri pun rapuh. 

"Kelly, ayo kita pulang. Aku yakin, ayahmu tidak ingin terus menerus melihatmu seperti ini. Kamu tidak mau dia sedih bukan?" ucap Elen dengan meyakinkan cucunya itu. 

Kelly pun mulai membalikkan diri. Sambil sesekali melihat ke belakang. Paus yang membawa ayahnya semakin jauh dan mengecil. Dia benar-benar tidak merasa diberi kesempatan untuk bahagia lebih lama dengan orang tersayangnya. 

Kelly pun mengistirahatkan diri di pojok kamarnya. Menenggelamkan wajah dan melindungi kepalanya dengan kedua tangannya. Tidak memberi sedikit celah yang bisa membuat siapapun dapat mengintipnya. Sama. Seperti Leon saat itu. Hingga seseorang mulai mengetuk pintu. 

"Kelly, ayo makan dulu. Perutmu masih kosong sedari tadi," ajak Elen. Dia sudah berusaha merayu cucunya itu agar keluar kamar untuk makan. Namun, sama seperti sebelumnya. Tidak ada jawaban dari gadis itu. Tidak pernah Kelly menolak makan seperti ini. Bagaimanapun dia merajuk dulu, dia selalu membuka pintu dengan gengsi untuk membawa nampan berisi makanan dan minum yang dibawa neneknya. Kali ini, Elen sudah tidak tahu harus bagaimana lagi merayu gadis itu. Hingga neneknya memiliki ide. Dia menyanyikan lagu kesukaannya.

'Setiap kali aku menutup mata, rumput hijau memandangiku kembali. Angin yang mulai menyentuh lembut wajahku. Wajahku menjadi semerah bunga mawar. Anakku ... bukankah itu kamu ... tidurlah anakku ... lupakanlah rasa sakitmu itu dan tidurlah kembali' 

Kelly yang sedari tadi memurungkan diri. Dia mulai mengangkat kepalanya. Wajahnya memelas. Dia ingin ayahnya menyentuh wajah nya dengan lembut. Dia pun mulai membuka pintu kamarnya. Dengan perasaan senang, Elen memeluk erat gadis itu. Gadis itu pun membalas pelukannya. Sudut bibir Kelly pun mulai terangkat sedikit. Dia sudah merasa baik. Nyanyian itu mengingatkannya terhadap ayahnya. Beliau selalu menyanyikan lagu itu untuknya saat Kelly merasa gelisah jika ingin tidur. Namun, jika lagu itu dinyanyikan, Kelly dapat tertidur lelap. 

"Terima kasih Kelly. Nenek harap, kamu tidak berlarut dalam kesedihan. Bangkit dan jadi pemberani lah cucuku," ucap Elen sembari menyuapi gadis itu. Dengan tatapan tulus serta khawatirnya. 

"Ayahmu mati terhormat. Seharusnya kita tidak begitu khawatir bukan? Dia sudah sangat bahagia di sana. Sekarang, pikirkanlah dirimu. Nenek berharap, kamu dapat hidup bahagia," sambung Elen yang mulai mengusap rambut Kelly. Satu helaian demi helaian rambut itu di masukan di belakang telinga panjang dan runcing gadis tersebut.

"Terima kasih nenek, aku hanya merasa bersalah. Tidak bersikap baik kepadanya selama ini," jawab Kelly dengan jepit merah yang dia usap lembut. Jepit dengan bunga kuning yang menempel. Tampak indah menghiasinya. 

"Jepit itu dari ayahmu?" tanya Elen.

Elen mengangguk pelan. "Nenek, malam ini pestaku bukan? Aku juga ingin sekalian memberikan persembahan ini kepada ayah di atas sana," tanya nya dengan senyum yang terlihat memaksa.

"Benar. Malam ini, kamu akan bebas cucuku. Kamu sudah boleh bermain di laut mana pun," jawabnya.