"Kau sudah datang?"
"Iya kak, aku tidak jadi mengantarkan gadis itu." Jawab Kenzo Aristide yang langsung melepaskan jaketnya dan berjalan menuju kulkas untuk mengambil segelas air mineral lalu di teguknya hingga habis untuk merendahkan panas di tubuh juga hatinya akibat emosi yang meletup saat menghadapi Briella Amora.
"Kau nampak kelelahan," Balas Claude Cavero dengan kening menyatu.
"Tentu saja, untuk menghadapi gadis aneh seperti Ave, kita mesti menyiapkan tenaga ekstra."
"Gadis aneh? Maksudmu?"
"Yah gadis tadi, yang kakak pungut di jalan, dia adalah satu-satunya gadis yang paling aneh di kampus, gadis yang tidak memiliki seorang teman karena terus bersembunyi di balik tudung saat di tempat keramaian.
"Jaga ucapanmu, tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti perasaanmu jadi berbalik padanya."
"Mustahil, jangan mendoakan adik kakak dengan hal buruk dan tidak masuk akal. Gadis aneh sepertinya tidak bisa di bandingkan dengan Tri.. "
Trixie. Sambung Kenzo Aristide dalam hati.
"Maksudnya?"
"Tidak apa-apa kak," Balas Kenzo Aristide menggeleng cepat.
"Baiklah.. Apapun masalahmu dengan gadis itu, kau bisa mengurusnya nanti. Dan sepertinya kau punya banyak waktu luang sekarang, silahkan duduk. Ada yang ingin kakak bicarakan." Lanjut Claude Cavero yang langsung mendudukkan tubuhnya di atas sofa single. Begitupun dengan Kenzo Aristide yang sudah merasa gugup.
"Ada apa Kak?"
"Apa kau tidak berniat untuk masuk kedalam Perusahaan?" Tanya Claude Cavero tanpa basa-basi.
"Kak, bisakah kita tidak membahas masalah ini dulu?"
"Ada apa?" Tanya Claude Cavero menyenderkan tubuhnya di sandaran sofa sambil menyilangkan kaki, menatap wajah adiknya lekat.
"Yah, karena belum waktunya saja, aku belum... "
"Lalu, menurutmu kapan waktu yang tepat untuk membahas masalah ini?" Sela Claude Cavero memotong kalimat Kenzo Aristide.
"Yah... Tunggu sampai... "
"Sampai kau kembali tersandung masalah dengan pihak berwajib karena kasus balap liarmu?" Tanya Claude Cavero yang membuat Kenzo Aristide seketika bungkam.
"Aku tidak pernah melakukan balap liar lagi." Gumam Kenzo Aristide masih menunduk menghindari tatapan sang kakak yang seolah ingin mengulitinya hidup-hidup.
"Benarkah? Apa kakak perlu menunjukkanmu sesuatu yang menarik padamu Tuan muda Kenzo Aristide?" Tanya Claude Cavero masih dengan tatapan tajamnya, tatapan mata yang seolah akan membuat Kenzo membeku seketika. Di tambah lagi saat Claude Cavero meraih sebuah Tablet yang terletak di atas meja.
"Baiklah, aku pernah melakukannya, tapi hanya sekali." Aku Kenzo Aristide dengan cepat.
"Apa kau yakin?" Tanya Claude Cavero menyipitkan matanya.
"Dua kali, sungguh." Jawab Kenzo Aristide menujukkan dua jarinya ke atas.
"Ken,"
"Hampir beberapa kali, kali ini aku serius Kak." Jawab Kenzo Aristide cukup meyakinkan.
"Kakak tidak memiliki banyak kesabaran Ken, kau tahu sendiri apa yang bisa kakak lakukan untuk membuatmu mengaku!" Ancam Claude Cavero.
"Astaga, baiklah. Aku melakukannya setiap malam," Aku Kenzo Aristide dengan berat hati.
"Dan kau tahu hukumannya jika sudah melanggar peraturan yang kakak buat kan?" Tanya Claude Cavero terlihat serius.
"Iya, "
"Serahkan.. " Perintah Claude Cavero.
"Tapi Kak," Kenzo Aristide memelas.
"Kakak memberimu waktu satu menit, mulai dari sekarang." Desak Claude Cavero mulai menghitung.
"Aisshh... Bisakah kakak bermurah hati sedikit saja?" Tanya Kenzo Aristide.
"Stengah menit." Sambung Claude Cavero mulai bersiap untuk beranjak.
"Yah... Baiklah... Baik.." Balas Kenzo Aristide yang langsung beranjak dari duduknya dan mengeluarkan dompet, juga kunci motornya dan langsung meletakkannya di atas meja.
"Apa kau yakin sudah tidak ada yang tertinggal lagi?" Tanya Claude Cavero saat melihat barang-barang yang di keluarkan Kenzo Aristide dari dalam saku jaketnya.
"Ayolah Kak,"
"Perlukah Kakak mengangkat kakimu ke atas lagi?" Ancam Claude Cavero sekali lagi.
"Tidak.... Tidak.... Baiklah, baiklah.... " Dengan cepat Kenzo Aristide langsung membuka sepatu sneaker yang di kenakannya dan mengeluarkan sebuah Black card yang ia selipkan di sana.
"Kau bisa mengambilnya lagi setelah satu minggu ke depan!" Ucap Claude Cavero datar.
"Apa? S-atu minggu? You're so mean. Bukankah kakak tidak terlalu kejam? Aku mana mungkin bisa tinggal di dalam Mansion sampai selama itu." Protes Kenzo Aristide.
"Selama kamu masih bisa makan dan bernafas, kakak yakin kamu akan baik-baik saja, Stop being such." Timpal Claude Cavero yang langsung beranjak dari duduknya dan melangkah pergi meninggalkan Kenzo yang tidak berdaya.
Kak Arana, lihatlah kakak Suga, bahkan kakak mengurungku di Mansion sekarang. Jika saja Kak Arana masih ada di sini, pasti akan ada yang selalu membelaku, Aku jadi merindukan Kak Arana, Kenapa kak Arana meninggalkan kita semua secepat itu. Apa Kak Arana tidak melihat kakak Suga sekarang, lebih keras dari badas. Batin Kenzo Aristide merebahkan tubuhnya di atas sofa sambil terus berfikir, bahkan pikirannya semakin kalut saat mengingat jika dia sedang tidak memiliki apa-apa sekarang.
Meskipun ia tidak begitu kaget dengan sikap tegas dan segala peraturan-peraturan yang di buat oleh kakaknya. Sebab sejak di uasia Kenzo Aristide yang masih menginjak 10 tahun, ia sudah bisa merasakan didikkan keras dari Claude Cavero.
* * * * *
KEDIAMAN BRIELLA AMORA ALEXIO.
Briella Amora melangkahkan kakinya yang nampak bergetar dengan sangat hati-hati, saat melihat sosok Ibunya yang tengah tertidur di atas kursi.
"Ibu, maaf.. Aku kehilangan obatnya," Gumam Briella Amora yang langsung mendudukkan tubuhnya di atas lantai ubin sambil terus menatap wajah Ibunya yang masih terlelap dengan sudut bibir yang nampak membiru.
Mungkin Ayah benar, seharusnya Ibu tidak melahirkan aku saja saat itu. Mungkin Ibu tidak akan menderita seperti saat ini jika saja aku tidak ada di dunia ini, mungkin Ibu dan Ayah akan baik-baik saja sekarang. Dan lihatlah sekarang... Setelah melahirkanku, bukannya bahagia, Ibu malah menjadi sangat tersiksa seperti ini. Batin Briella Amora menahan sesak di hatinya.
Air matanya kembali menitik, entahlah kenapa ia bisa menjadi sangat cengeng jika semua bersangkutan dengan Ibunya, Briella Amora bahkan akan menjadi sangat lemah jika melihat air mata sang ibu, dan bisa juga menjadi sangat keras jika melihat ibunya tersakiti.
"Ibu... Apa yang harus aku lakukan untuk Ibu," Ucap Briella Amora mengusap wajahnya kasar sebelum akhirnya ia beranjak dari duduknya saat usai menyelimuti tubuh Ibunya.
Air dingin yang keluar dari shower mengguyur tubuh Briella Amora yang hanya terdiam saat rasa perih menjalar di seluruh tubuhnya, telapak kaki juga di beberapa bagian dari wajahnya. Briella Amora menatap wajahnya di sebuah cermin besar. Hatinya merasakan pedih saat melihat beberapa bekas luka di tubuhnya, luka yang pernah ia dapatkan, bahkan sering ia dapatkan sejak masih berusia 10 tahun hingga menginjak 17 tahun. Yang di mana Ayahnya akan menjadikan tubuhnya sebagai pelampiasan kemarahan. Briella Amora yang selalu melindungi Ibunya akan ikut terkena pukulan, meskipun pukulan tersebut akan menyebabkan tubuhnya memar bahkan berdarah. Sebab Briella Amora tidak akan pernah membiarkan Ayahnya untuk menyentuh sang ibu, meskipun ia harus kembali mendapatkan luka memar di tubuhnya, dan menjadi tameng untuk Ibunya terus berlanjut sampai ia dewasa. Hingga insiden kecelakaan yang ia alami membuat dirinya terpaksa meninggalkan sang Ibu. Dan akhirnya ia kembali lagi untuk menjadi pelindung ibunya.
Lihatlah dirimu, apa kau seorang gadis? bahkan di seluruh tubuhnya di penuhi bekas luka. Batin Briella Amora dengan satu sudut bibir yang terangkat ke atas.
Dengan sedikit meringis, Briella Amora menyiram kakinya yang memerah bahkan lecet, akibat berlari tadi. Mengolesinya dengan saleb dan langsung melangkahkan menuju sebuah meja, yang disana terdapat beberapa koran yang berisikan iklan dan lowongan pekerjaan.
Aku harus bisa melakukannya. Batinnya yang sudah memutuskan untuk mulai mencari pekerjaan paru waktu di setiap Toko yang membutuhkan karyawan, bahkan keputusannya untuk berhenti berkuliah sudah ia pikirkan sejak ia menginjakkan kaki kembali ke kota ini. Meskipun ia tahu, jika keputusannya tersebut sudah pasti akan mendapatkan penolakan dari Ibunya, namun yang ada di dalam pikirkan Briella Amora saat ini hanyalah ingin melepaskan Ibunya dari cengkraman sang Ayah. Bagaimanapun caranya, meski ia harus menukar nyawanya demi Ibunya.
Lama Briella Amora memfokuskan dirinya untuk mencari beberapa lowongan pekerjaan, bahkan sudah menulis beberapa surat lamaran pekerjaan yang siap untuk di bawanya saat esok hari. Hingga matanya yang di rasakan sudah sangat berat membuatnya tersadar jika sudah cukup lama ia duduk di sana dengan beberapa berkasnya.
Usai membereskan semuanya Briella Amora melangkahkan ke arah tempat tidur, membaringkan tubuh lelahnya di sana.
"Kakak, bisakah kakak sering mengunjungi Rey setiap hari?"
"Maaf, bukannya kakak tidak bisa, tapi.. Kakak juga memiliki kesibukan yang harus kakak kerjakan."
"Apa kakak bekerja?"
"Em.. Tidak juga, kakak.... Kuliah, meski sekarang sedang libur."
"Jadi? Bolehkah Rey tau, pekerjaan apa yang membuat kakak jadi sesibuk itu?"
"Ah, itu.. Kakak... "
"Kenapa kakak tidak bekerja di sini saja?"
"Ha?"
"Jadilah babysitter Rey,"
"Apa? Tapi... Rey kan sudah besar, tidak butuh seorang Babysitter lagi."
"Kakak bisa mengantar dan menemani Rey di Sekolah ataupun di rumah saat Daddy sedang bekerja."
"Iya... Tapi, tidak semudah itu Rey,"
"Kata siapa itu tidak mudah? Memang apa masalahnya?"
"Sebab untuk bekerja di sini juga kakak harus punya keahlian, dan harus mengikuti seleksi juga,"
"Kenapa?"
"Sebab keluarga Rey bukanlah keluarga sembarangan yang harus menerima karyawan begitu saja, apalagi untuk menjaga Tuan Muda seperti Rey."
"Rey bisa memintanya kepada Daddy,"
"Iya kakak tau, tapi Ayah Rey pasti tidak akan semudah itu untuk.... "
"Siapa bilang? Daddy akan menuruti semua permintaan Rey,"
"Iya... Kakak tahu, tapi.. Sungguh semua tidak segampang itu, semua butuh proses, apa Rey mengerti?"
"Baiklah... Tapi, Rey harap Kakak bisa berubah pikiran,"
"Iya, Kakak pasti akan memikirkannya."
Briella Amora kembali mengusap wajahnya, saat obrolan singkatnya dengan Reynand Sky beberapa jam lalu kembali terlintas di pikirannya.
Aku sudah tidak ingin berurusan dengan keluarga Orion lagi, sudah cukup. Rey... Maafkan kakak.
* * * * *
Bersambung...