webnovel

Surat Anti Sihir

Seorang pria berjubah hitam yang berada di atas gunung pun pergi dari situ setelah menyelesaikan tugas yang diberikan padanya. Dengan menunggangi seekor naga hitam, Ia terbang kembali ke tempatnya berasal.

Sesampainya di istana neraka, pria berjubah hitam itu turun dari naganya kemudian bersujud di hadapan Iblis yang tengah duduk santai di singgasananya.

"Lapor, Tuan. Seperti yang Anda perintahkan, saya telah melenyapkan keberadaan 3 anak kembar itu bersama panti asuhan mereka," ucap pria berjubah hitam.

Sang Iblis berwajah seram itu kini tersenyum dan seketika tertawa lantang mendengar laporan dari pria berjubah hitam bawahannya. Wajah tampan nan rupawannya langsung lenyap saat itu juga dan berganti dengan wajah yang penuh dengan kepuasan serta gairah. Dirinya lantas memerintahkan pria berjubah hitam untuk pergi dari hadapannya.

"Kerja bagus, Pelayan Setiaku. Sekarang kau bersantailah. Nikmati waktumu dengan hal yang kau inginkan. Pergilah!" kata si Iblis seram seraya mengisyaratkan tangannya.

Pria berjubah hitam yang merupakan pelayan Iblis itu pun pergi dengan menunggangi naganya lagi. Sedang Iblis yang duduk di singgasananya tadi dengan segera masuk ke ruangannya dan menepuk kedua tangannya. Seketika itu muncullah tiga wanita cantik jelita tanpa mengenakan sehelai benang pun. Sang Iblis yang sedari tadi tidak kuat menahan gairahnya pun langsung terjun memenuhi hasratnya.

"Baiklah, sekarang apa yang hendak aku lakukan? Mungkin melempar seorang manusia dengan batu birahi akan menyenangkan," pikir pelayan Iblis yang turun ke bumi lagi.

****

"A-apa yang terjadi dengan panti asuhan kita? Tidak mungkin..." ujar Sintri tak percaya setelah melihat panti asuhan mereka rata dengan tanah karena terbakar dengan cepatnya. Sintri langsung tersukur dengan lemas melihat itu.

Gonocos berjalan mendekati bangunan tua yang telah menjadi abu itu. Begitu juga dengan orang-orang yang berada di dalamnya. Bu Mega juga telah lenyap karena api yang menjalar dengan cepat. Anak-anak panti yang tadi pagi bermain bersama mereka bertiga yang ternyata sudah masuk ke dalam panti dan bermain di dalamnya juga ikut menjadi korban.

Sintri yang tersungkur lemas dan menangis pun ditenangkan oleh Tan Metri yang terlihat biasa saja.

"Apa... apa yang sebenarnya terjadi.. Tan Metri? Hikss... hiksss.." tangis Sintri.

Tan Metri segera memeluk saudaranya dan mengelus-elus punggungnya.

"Sudahlah tak mengapa. Kita juga tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan siapa pelakunya," ucap Tan Metri.

Di sisi lain, Gonocos yang mengecek keadaan di dalam langsung mengumpulkan semua abu mereka yang terbakar hidup-hidup. Tak sengaja Gonocos juga menemukan sebuah surat yang tak terbakar dalam tragedi tersebut. Gonocos pun mengambilnya dan menunjukkan surat itu pada kedua saudaranya.

"Surat apa ini? Hanya surat ini satu-satunya benda yang tidak terbakar."

Tan Metri yang penasaran langsung saja merebut surat itu dari tangan Gonocos. Sedang Sintri masih masih menangis tersengal-sengal.

"Gonocos, a-apa kau... su-sudah mengumpulkan... abu me-mereka?" tanya Sintri.

"Sudah. Ayo kita kuburkan abu ini di dalam tanah lantas mengantarkan kepergian Bu Mega dan semuanya serta mendoakan untuk terakhir kalinya," kata Gonocos.

"Ba-baiklah," ujar Sintri lalu bangkit dan mengikuti ucapan Gonocos. Mereka berdua menggali tanah di halaman depan panti dan menguburkan abu mereka lalu menutupnya kembali dan jadilah sebuah makam.

Tan Metri masih terdiam di tempatnya setelah membaca pesan yang terdapat dalam surat yang telah ditemukan Gonocos.

"Semoga kalian tenang di alam sana," ujar Gonocos.

Melihat Sintri yang masih meneteskan air mata di sampingnya, membuat Gonocos tak tega melihatnya. Ia pun merangkul saudara perempuan berambut putih itu dan menenangkannya.

"Tak apa, Sintri. Kamu masih punya kita berdua, kok. Mungkin memang ini sudah menjadi takdir mereka," ujar Gonocos.

Sintri menatap kedua mata Gonocos yang cerah. Seperti tak menampakkan tanda-tanda kesedihan seperti Tan Metri.

"Kau tidak merasa sedih atas meninggalnya mereka?" tanya Sintri.

Gonocos melepaskan tangannya dari bahu Sintri. Ia kemudian berdiri dan mencoba untuk tetap tegar.

"Seorang laki-laki sejati tak akan pernah menangis saat kehilangan orang yang berharga dalam hidupnya sekali pun. Meski begitu, aku juga tetap merasakan sakit yang amat sangat. Namun aku pun harus tetap terlihat tegar atas hal itu," kata Gonocos.

Sintri tersenyum mendengar perkataan saudara kembar laki-lakinya yang sudah seperti orang dewasa. Ia pun bangkit dan meninju pelan bahu Gonocos.

"Sok tegar ternyata," ucap Sintri.

"Aduh!"

Mereka berdua pun tertawa dan belajar untuk melupakan hal yang telah terjadi yang tak dapat diulangi apalagi dicegah. Mereka berdua tahu itu.

"Hei kalian berdua, kemarilah!" teriak Tan Metri yang masih saja mematung di tempatnya.

Gonocos dan Sintri langsung berlari menghampiri Tan Metri.

"Ada apa, Tan?" tanya Gonocos.

"Surat yang kau temukan ini suratnya siapa?"

"Entah, aku hanya menemukannya di dalam. Apa mungkin milik bu Mega?" terka Gonocos.

"Memangnya ada apa dengan surat itu?" sambung Sintri yang juga penasaran.

Tan Metri mengalihkan pandangan matanya ke arah Sintri dan Gonocos secara bergantian.

"Sepertinya surat ini memang milik bu Mega. Tapi aku menduga seseorang yang mengirim pesannya adalah ibu kita," jawab Tan Metri.

"Ibu kita?!" ucap Gonocos dan Tan Metri bersamaan.

"Mungkin. Aku belum sepenuhnya yakin. Tapi yang paling aneh adalah kertas ini tak bisa kubakar menggunakan sihir apiku!"

"Lantas apa isi pesan dalam surat itu, Tan?" tanya Gonocos.

"Tolong jagalah ketiga anakku ini. Terima kasih. Salam, GG." Tan Metri membacakan isi pesan di dalamnya.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Sintri menatap Tan Metri. Tan Metri hanya mengangkat kedua bahunya pelan. Sintri pun mengalihkan pandangannya ke Gonocos.

"Emm... siapa itu GG? Apa kita harus mencari keberadaan ibu kandung kita? Selama ini kita hanya tinggal di panti asuhan dan tak pernah mengetahui tentang orang tua kandung kita. Bagaimana menurutmu, Tan?" kata Gonocos menyampaikan pendapatnya.

"Aku ikut saja ke mana pun kalian berdua pergi."

"Aku juga seperti itu," imbuh Sintri.

Gonocos menghela napasnya berat. Ujung-ujungnya tetap dia yang membuat keputusan yang akan mereka jalani seperti biasanya.

"Baiklah, menurutku kita berdua harus pergi berpetulang untuk mencari sosok orang tua kandung kita. Kita berangkat hari ini juga setelah makan siang," ucap Gonocos.

Sintri dan Tan Metri menganggukkan kepalanya bersamaan.

Seperti yang telah disepakati, mereka bertiga pun memulai petualangan pertamanya dan berjalan bersama menuju kota.

"Apa yang harus kita lakukan sesampainya di kota?" tanya Sintri.

"Benar juga, mungkin saja di sana ada sebua guild penyihir dan kita bisa masuk ke dalamnya," ucap Gonocos.

"Huhhh... sangat melelahkan sekali berjalan kaki sejauh ini. Sintri! Gunakanlah sihir anginmu itu dan terbangkan kita sampai ke kota!" pinta Tan Metri.

"Sihirku belum cukup kuat, Tan."

Tan Metri tetap saja mengeluh dengan keadaannya. Namun tak lama kemudian, sebuah kereta kuda datang dari arah belakang dan sang kusir menawarkan tumpangan. Dengan senang hati mereka bertiga pun langsung naik kereta kuda tersebut yang mengarah ke kota. Tanpa mereka sadari, sesaat setelah mereka masuk dan kereta kuda itu jalan, ternyata mereka bertiga dibuat tertidur oleh gas tidur yang telah disiapkan sebelumnya.