webnovel

6. Monas

Bunga masih menyimpan bahagia dalam rona merah wajah yang sulit dia sembunyikan. Saat mengisi ulang kartu elektronik. Melewati pintu masuk stasiun. Melangkah pada lorong stasiun yang mulai padat. Dan menunggu di peron. Lalu akhirnya, kebahagiaan itu seolah pulang pada jati diri yang sebenarnya.

 

Dengan semua suara keluar-masuk, datang-pergi, menginjak-injak pikiran, dia jadi kelabakan karena tidak tahu harus bagaimana sebenarnya bersikap. Dia bukan orang yang pandai dalam romansa. Dia hanya pandai dalam mengenang kematian.

 

Dia bimbang. Bagaimana menghadapi Erik setelah ini? Bagaimana dia harus menjawab perasaan pria itu? Bukankah … dia tidak pantas?

 

Kian berombak.

 

Huft.

 

Dia pun bernapas.

 

Menarik napas seolah mulai memaksa menghentikan segala aktivitas pada semua kacau yang melanda. Lalu membuangnya tenang seolah berusaha menata ulang komponen-komponen penting yang semestinya ada dalam semesta pikirannya.

 

Namun, realitas menunjukkan usaha restorasi itu berujung pada kegagalan. Dan Bunga hanya bisa memandangi gerimis turun mengiringi kereta yang akan dinaiki muncul dari ujung sudut pandang, bersamaan dengan gemuruh langkah kaki para pekerja.

 

Setidaknya kemudian, dalam tenangnya laju kereta dan lagu Creep dari Radiohead yang merembah ke setiap sel tubuhnya, Bunga mendapatkan tempat pelarian. Berdiri dekat pintu gerbong, menyendiri dalam dunianya

 

Inilah masa di mana dia bisa diam, menyaksikan dan melebur pada setiap detik yang bergulir tepat di depan matanya.

 

Sampai dejavu menghantam ketika tiba-tiba seseorang menawari Bunga permen. Hantaman keras itu mendiamkan lekuk-lekuk wajah dan bola matanya terpaku pada bungkus berwarna biru kecil itu. Dia menelisik lagi segala ciri rupa dari si pemberi, barangkali itu adalah entitas yang sama dengan entitas gila yang pernah membuatnya trauma berat saat itu.

 

"Bukan … beda orang ini, pas itu mukanya mudaan. Sekarang … tua," gumamnya dalam hati. Diambillah permen itu ketika si pria kembali meyakinkan dia untuk mengambilnya.

 

Permennya tidak dimakan. Hanya ditaruh di kantung.

 

Sepertinya dia memang terlalu cemas. Namun, pun dia tertarik untuk melihat bagaimana ke depannya.

 

Beberapa detik berlalu.

 

Pria itu mendekatkan kepalanya ke telinga Bunga, mencoba mengatakan sesuatu.

 

"Apa kabar, Mbak? Masih hidup aja."

 

Ingatan akan Sima yang pernah mengajak Bunga duel mulai merobohkan segala ketenangan bahkan dahsyatnya kebimbangan dia saat itu. Namun, dia berusaha berpikir logis. Mungkin saja kecemasannya saat itu hanya dilebih-lebihkan. Toh setahu dia, tidak mungkin seorang Sima punya lebih dari satu kemampuan. Dia sudah melihat Sima itu menciptakan tombak tulang dari telapak tangannya, jadi tidak mungkin Sima itu juga punya kekuatan mengubah bentuk wajah.

 

"Saya … baik-baik aja," Bunga mencoba tidak panik menatap wajah ramah pria itu.

 

Dalam usaha menenangkan diri agar tidak berujung kekisruhan masa, tanpa pikir lagi Bunga merogoh Sima Danger Signal—beli lagi setelah sebelumnya hancur saat tragedi Vika—dari kantung—digantung pada pinggang celana supaya tidak terjatuh—berniat menekan tombol alat itu.

 

Dia dan manusia di sekitarnya tidak akan terpengaruh sama sekali. Hanya Sima itu yang akan tersiksa. Dan butuh waktu beberapa detik sampai dia matikan alat itu—jika dugaannya salah—sebelum seorang Pemburu Sima masuk dalam panggilan.

 

Tangan pria itu langsung menyambar tangan Bunga, menghentikan usahanya untuk menekan alat itu. "Jangan buat kekacauan di sini," bisik Sima itu. Dia menggelengkan kepala. "Atau Mbak akan menyaksikan hal yang akan paling disesali seumur hidup."

 

Bunga tidak bisa apa-apa pada sorot tajam mata Sima dengan kumis tipis itu.

 

Dugaan Bunga ternyata benar! Namun, apakah itu benar-benar Sima yang sama atau Sima lain yang kenal dengannya karena nama Bunga yang melejit di antara mereka? Entah lah, dia tidak peduli lagi.

 

Karena semestinya, tidak ada lagi cara yang bisa dilakukan untuk mengusir ancaman ini, atau membunuhnya, tanpa menyaksikan lebih banyak nyawa menghilang untuk itu.

 

"Dan jujur, saya juga lagi enggak niat buat ngelakuin hal itu," pria itu melepas genggamannya pada Bunga.

 

"Lihatlah mereka." Sima itu menunjuk pada dua orang anak kecil yang duduk pada kursi penumpang, di belakangnya. Anak pertama menjilat-jilat permen batangan merah sementara anak kedua sedang makan es krim. Dua-duanya perempuan kembar. Mereka berhenti, menatap balik pada Bunga dan si Sima. Tidak berkata apa-apa. "Baru aja kami senang-senang di taman. Jadi ya … mohon pengertiannya."

 

Matanya bergerak pada kantung kemeja Bunga. Tidak senang. "Satu lagi, permennya aman kok. Barusan beli di—"

 

"Kalau gitu bunuh saya aja," balas Bunga, lirih. Sekujur tubuhnya tegang. Tidak percaya baru saja mengucapkan hal monumental tersebut, bahkan membuat Sima itu terdiam.

 

Bunga tidak berani menatap Sima itu.

 

Entah apa yang akan terjadi setelahnya.

 

"Oh ya, kenalin adik-adik saya," tutur Sima itu, tiba-tiba. "Ini Cici." Dia menepuk-nepuk pundak anak pertama, sembari memperlihatkan dengan jelas ke Bunga. "Ini Caca." Lalu pada anak ke dua. Setelah itu, memperkenalkan Bunga. "Cici, Caca. Kenalin, teman Abang, namanya … siapa namanya, Mbak?"

 

"Bunga."

 

"Iya, namanya Mbak Bunga … bilang hai dong ke Mbak Bunga."

 

Cici dan Caca menyapa canggung ke Bunga. Dia membalasnya, canggung juga.

 

Sima itu mengulurkan tangan. Bunga ragu-ragu menerimanya. "Kenalin, saya Revan. Orang yang ngajak duel Mbak di kereta waktu itu. Saya yakin Mbak bingung kenapa orang seperti kami tiba-tiba bisa ada di sini, tapi itu bukan hal yang penting, sepertinya." Revan melepaskan tangannya.

 

"Saya enggak tahu Mbak itu benaran serius soal tadi.

 

"Tapi kalau emang begitu.

 

"Temui saya di Monas hari Sabtu, jam … 10. Turun ke museumnya, tunggu di dekat salah satu vending machine. Kalau sudah lewat dua jam di sana dan saya enggak datang, pulang aja."

 

Pintu kereta terbuka sesaat tiba di stasiun.

 

Revan berbisik, "Akan ada sesuatu yang penting di sana. Tapi kalo Mbak ternyata mengurungkan niat, panggil aja Pemburu Sima, atau entah lah, Jagal Sima mungkin?"

 

Orang-orang berbondong turun. Termasuk Revan yang membawa Caca dan Cici. Bunga memperhatikan ketiga Sima itu melangkah ke luar ketika Revan berhenti di tengah lautan langkah kaki, melambai-lambai pada Bunga, bermaksud menunjukkan suatu benda kecil yang dia bawa; Sima Danger Signal milik Bunga!

 

Bunga melongo, segera memeriksa alat tadi.

 

Sima itu telah mencuri Sima Danger Signal dari pinggang celana dia!

 

"Terima kasih atas perhatiannya, Mbak Bunga!" kata Revan.

 

"Jangan lupa nanti bawa bakwan pas ke Monas!"

 

Bunga berniat mengejar Revan sesaat pintu kereta tiba-tiba ditutup.

 

"Sialan."

 

*****

 

Sebetulnya, Bunga tidak berpikir untuk melibatkan Pemburu Sima sampai Jagal Sima dalam rencana gilanya di Monas nanti. Menyaksikan semua rasa bersalah yang tidak pernah dia bisa jawab, bunuh diri bukanlah pilihan buruk. Toh sejak tragedi di LRT saat itu, Bunga seharusnya sudah mati.

 

Hanya saja, sejak Revan menyebutkan tentang sesuatu yang penting, Bunga sebetulnya mulai memikirkan hal itu. Saat itu hari Kamis. Bunga memikirkan ulang keterlibatan mereka untuk ke sekian kalinya. Di depan meja kerja di kamar, dengan laptop dan ponsel lipat di atasnya, jari-jemari itu lantas menumbuk-numbuk alas kayu. Kaki-kakinya tiada henti mengentak-entakkan lantai.

 

Apakah rencana di Monas lebih dari sekadar pertemuannya dengan Revan? Malah justru apa akan terjadi tragedi besar lainnya di sana? Itu yang menjadi sumber ketakutannya. Apa Revan sengaja membocorkan rencana besar komplotan mereka supaya Bunga bisa menyaksikan hal tersebut kemudian mati dalam tragedi itu? Komplotan Sima itu seharusnya tidak takut pada Jagal Sima sekalipun, tetapi Bunga tidak mau hal itu terjadi di ujung hidupnya. Jika dia mati, mati saja. Oleh karena itu, dia harus mencegah hal itu terjadi dengan melapor.

 

Namun, bagaimana jika sebenarnya tidak akan ada tragedi dan Bunga hanya bertemu dengan Revan, dalam rencana gila mereka? Seperti yang dikatakan: Menunggu di salah satu vending machine pada jam 10 pagi, bertemu Revan, mungkin dibawa ke suatu tempat dan dibunuh, atau pulang ke rumah jika sudah dua jam lewat Sima itu tidak kunjung datang. Melaporkan rencana ini akan membuatnya sia-sia. Sejujurnya pun Bunga tidak ingin merusak rencana ini.

 

Bunga ingin mati, tetapi tidak mau melihat tragedi.

 

Lantas, apa sebenarnya hal penting yang Revan maksud?

 

Bunga tidak bisa tidur malamnya.

 

Rencana gila ini kemudian sudah lebih dari cukup untuk mengacaukan hari Jumat di kantor yang datang pada esoknya. Beberapa kelalaian terjadi. Bunga hanya bisa meminta maaf untuk menutupinya. Sampai titik di mana bosnya akhirnya muak dengan kelalaian Bunga, di ruang kerja dia yang tertutup rapat, wanita itu habis dimarahi.

 

Bosnya juga berkata, "Please, saya masih bisa toleransi kesalahan-kesalahan kamu pas masih awal-awal di sini. But it's already more than fucking two month that you've been here. And please, can you just not messing around?"

 

"And here's a fact. Even though this is your uncle's company. Neither I or even he are actualy give a shit about you."

 

Bunga akhirnya menyaksikan sisi yang belum pernah dia lihat selama bekerja di sini. Mengetahui hal itu, dia agaknya bersyukur terlibat dalam rencana gila bersama Revan. Meski akhirnya terjebak dalam dilema antara tragedi dan kematian.

 

Dengan dilema dan amarah bos yang terus melayang di pikirannya, Bunga menikmati makan siangnya di kantin kantor bersama macetnya jalanan kota.

 

"Kamu enggak apa-apa?" Tiba-tiba seseorang menepuk pundak kirinya.

 

Bunga berteriak terkejut. Suaranya mendiamkan semua orang di kantin termasuk dia yang menepuk pundaknya. Semua menatap pada wanita itu. Lalu kembali pada urusannya masing-masing. Sementara wanita itu menatap pada orang yang bertanggung jawab akan hal tadi.

 

Erik.

 

"Demi apa pun, aku enggak maksud buat kamu kaget," kata Erik.

 

"Aku tahu kamu .. lagi pengin sendiri. Tapi, cuma … yang tadi parah banget, kayaknya," lanjut dia.

 

Bunga memalingkan muka. "Noit's ok. Makasih udah nanya."

 

"So, can I …?" Erik meminta apa dia bisa duduk di kursi seberang Bunga. Bunga mengiyakan.

 

Bunga dan Erik makan bersama.

 

Mereka mengobrol beberapa hal sembari makan. Masih canggung, memang. Bunga juga tidak cerita banyak, apalagi rencana gila di Monas. Namun, setidaknya dia mengingat percakapan mereka bagaikan oase dari hancurnya hari dia di kantor kala itu.

 

Sampai dia harus ke Monas esoknya.

sorry mennn apdetnya lama

jenzozencreators' thoughts