"Silva!" Candina mengejar.
Silva setengah berlari menjauh.
"Silva!" Candina mempercepat langkah.
Silva mempercepat langkah kaki.
"Silvaaa!" Candina berusaha meraih tangan gadis itu, yang menepisnya kasar. Untuk pertama kalinya sejak pertemuan pertama mereka, Silva mengeluarkan kemarahan dan kata-kata garang padanya.
🔅🔆🔅
"Candina, gak usah ngikutin aku terus! Kamu pergi aja dan balik ke Javadiva!" teriak Silva.
"Tapi…kamu mau ke mana?"
"Bukan urusanmu!"
"Aku ikut, Silva!"
"Nggak usah! Aku bilang nggak usah, ya nggak usah!" bentak Silva. Wajahnya basah air mata.
"Kamu mau ke mana?" Candina tetap berusaha menyusul.
"Kubilang bukan urusanmu!"
Candina memaksakan diri untuk terus menemani Silva. Dalam kondisi kalut dan tak menentu, seseorang dapat berlaku di luar batas. Mereka baru saja melarikan diri –lagi-lagi , dari mobil Vira yang akan mengantarkan kedua gadis tersebut kembali ke Javadiva. Bu Candra terlibat urusan maha penting dengan para investor dan berbagai pejabat yang berharap perjanjian kerjasama G to G berjalan mulus tanpa kendala. Kembali ke Javadiva adalah hal yang paling dihindari Silva. Sebaliknya, kembali ke Javadiva adalah hal yang paling diinginkan Candina dan tentu, bu Candra.
"Kamu harus kembali ke Javadiva, Silva!" pinta Candina, memohon.
Di belakang mereka, Vira mengejar dengan mobil. Apa jadinya bila misi mengembalikan anak bungsu bu Candra gagal? Vira akan kehilangan muka!
"Merepotkan banget!" pikir Vira sebal. "Apa susahnya tinggal nerima duit, hidup senang, pura-pura sekolah? Toh duit banyak bisa membuatmu beli ijazah!"
Mustahil memuntahkan uneg-uneg kepada Silva. Walau tahu hubungan ibu dan anak itu tak harmonis, Vira tak mau ambil resiko kehilangan muka.
"Kak Silva! Masuklah," perintah Vira, ketika dapat menyusul kedua gadis itu.
Apartemen Casablanca milik bu Candra terletak di tepian kota, di areal hijau berbatasan dengan pegunungan dan persawahan. Sengaja jauh dari hiruk pikuk lalu lintas namun masih cukup dekat dengan jalan raya dan jalur bebas hambatan. Tak banyak kendaraan umum lewat, hingga misi pelarian Silva yang melompat keluar dari mobil Vira tak berhasil sempurna.
"Kak Silva!" teriak Vira untuk yang kesekian kali.
Bila bukan mengharap gaji tinggi, tak akan dilakukan adegan kejar mengejar yang sangat tak masuk akal itu! Mobil Vira terpaksa melaju pelan, membersamai Silva dan Candina yang berlari terengah.
"Candina!" teriak Vira, berusaha mengajak kerjasama. "Kalian harus kembali ke Javadiva! Kalian gak mungkin berkeliaran di tempat yang gak dikenal kayak gini. Bahaya banget!"
Candina menatap Vira. Bagaimanapun, pendapat itu terlihat benar. Tapi bagaimana meyakinkan, mengajak atau memaksa Silva naik ke atas mobil dan mengakhiri pelarian demi pelarian tak pasti ini? Candina merasa harus bertindak cepat.
"Silva!" teriak Candina.
Silva tak menggubris.
Candina berhenti sejenak, menarik napas. Memejamkan mata, memusatkan pikiran, mengumpulkan tenaga.
"Silva!" tegas suara Candina.
Langkah Silva terhenti. Begitupun mobil Vira yang berusaha menjajari mereka.
Candina mengambil posisi di depan Silva, yang sama sekali tak mau menghadapkan tubuh baik ke arah Candina atau Vira.
"Silva," lembut suara Candina memanggil, "Lihat ke sini. "
Candina mengeluarkan jam bandul perak dari balik saku baju. Ia membuka perisai pelindungnya, yang menyerupai compact powder sekilas. Kaca di jam bundar dan cermin yang menempel di penutup jam sama-sama memantulkan cahaya matahari. Mengenai kedua mata Silva yang tetiba mengerjap. Mematung.
Candina mengembalikan jam bandul itu kembali ke saku. Kedua jemarinya menyentuh samping kepala Silva, menutup kedua daun telinga seperti headphone.
"Kita kembali ke Javadiva, Silva. Itu rumah bagi kita," tenang suara Candina. Bagai magnet yang menarik keras untuk mendengar dan mematuhi.
Bagai kerbau dicocok hidung, Silva mengangguk. Mengekor di belakang Candina. Masuk ke mobil Vira yang sangat lega walaupun kebingungan dengan ketrampilan Candina memaksa Silva.
🔅🔆🔅