webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasy
Not enough ratings
279 Chs

Serbuk Perak (1)

"Kamu Mommy sewakan apartemen dekat Javadiva," bu Candra memberikan keputusan. Final.

"Mom!" Silva tersedak.

"Kamu gak bisa tinggal di sini, Va!"

"Aku pingin sama Mommy…," lirih suara di tengah tetes airmata.

"Nanti Mommy bakal sering nengok kamu. I promise!"

Janji itu sudah ribuan kali diucapkan.

Bahkan Silva merasa ditinggalkan, semenit sejak ia dilahirkan. Apakah Mommy akan menepati janjinya sekarang?

🔅🔆🔅

"Kenapa kamu lari dari rumah bu Tina?" Candina ingin tahu. "Bu Tina baik sekali."

Silva terdiam. Memainkan jari. Memainkan cincin.

Ia melarikan diri dari Rendra, kakak pertamanya yang kasar dan keterlaluan.

"Lebih baik kita kembali ke Javadiva, Silva," ajak Candina.

"Nggak ada tempat yang aman buatku", pikir Silva. "Nggak ada tempat yang baik. Lebih baik kembali ke Javadiva? Nggak juga."

Hari itu, Candina mengejar Silva yang melarikan diri lewat pintu dapur rumah bu Tina. Menghindar sebisanya dari Rendra yang merangsak masuk dan dihadang oleh Najma. Untung, Rendra dan supirnya tak bisa menangkap karena masih disibukkan dengan pertengkaran. Berbekal ponsel pemberian Najma, Silva yang kebingungan menghubungi bu Candra dan ia segera dijemput menuju tempat tinggalnya.

"Silva! Tunggu Mommy sampai ke sana! Kamu ditemani mbak Vira!" perintah bu Candra, menyebut nama sekretarisnya.

Sebagai perempuan pengusaha sukses yang menghabiskan waktu membangun kerajaan bisnis dan sering melanglang buana, bu Candra tak pernah menetap lama di satu kota. Rumah dan apartemennya tersebar. Salah satu apartemen mewah yang ditinggali Vira, sang sekretaris, berada tak jauh dari Javadiva. Tak mudah menghubungi bu Candra dan lebih mudah mengontak sekretarisnya. Bila, kali ini dapat segera dikontak; bisa jadi Rendra telah memberikan kabar buruk atau bahkan, mengancam.

Apartemen Vira, sesungguhnya milik bu Candra yang disewakan secara cuma-cuma khusus bagi sang sekretaris. Sebagai tangan kanan andalan, bu Candra sering menitipkan Silva padanya. Jika bu Candra berkehendak tinggal di apartemen, Vira akan menyingkir ke hotel dan membiarkan bosnya menikmati kesendirian.

Seperti kali ini. Vira tak ingin mencampuri urusan ibu dan anaknya.

"Bu Candra akan datang habis Maghrib," jelas Vira. "Kak Silva tinggal di sini dengan temannya ya."

"Mommy mana?" tanya Silva pendek.

Vira melirik arloji.

"Tigapuluh menit lagi sampai dari bandara," jelas Vira, mencoba tersenyum. "Bu Candra langsung memesan penerbangan tercepat begitu tahu Kak Silva ingin ketemu."

Silva tampak gelisah. Candina terlihat tenang.

"Jangan khawatir," Vira menenangkan. "Nggak ada yang bisa gangguin Kak Silva."

Silva menatap Vira curiga.

"Pak Rendra nggak akan berani ke mari," tegas Vira.

Silva menahan napas.

"Ini wilayah kekuasaan bu Candra," Vira mengangguk. "Percayalah!"

Rasanya tak nyaman di apartemen luas dan lengang seperti ini. Hanya orang-orang tertentu yang dapat menyewa ruang seluas ini. Terpencil dalam kemewahan, justru menciptakan keterasingan yang menyiksa. Vira menyajikan makanan dan minuman, sembari mempersilakan Silva dan Candina untuk menikmati apapun yang tersimpan di lemari pendingin. Gadis cantik dalam setelan hitam dan kemeja putih itu minta izin untuk meneruskan pekerjaan di kantor bawah.

"Dingin," keluh Candina, memeluk kedua lengannya kuat-kuat.

Silva menatap Candina kasihan. Ia mencari remote control dan menaikkan angka derajatnya beberapa poin. Tak berselera dengan makanan atau minuman yang disiapkan Vira, gadis itu duduk di sofa. Menaikkan kaki, melipatkan. Memeluk bantal kursi. Mematung tanpa tahu harus berbuat apa-apa.

Candina duduk di hadapan Silva. Memandang berkeliling.

"Dingin…," bisik Candina, memeluk kedua lengannya lebih erat. Menempel di dada. Berdiri melihat-lihat, mengamati sekitar dengan seksama.

Silva menatap Candina tak mengerti. Ia telah menaikkan suhu, tapi Candina berkata kedinginan. Udara di luar juga mendung, tak heran suhu di ruangan pun lebih dingin. Berkebalikan dengan Silva yang duduk meringkuk di sofa, Candina kemudian justru berjalan mengelilingi ruang apartemen. Jemarinya menelusuri kaca-kaca. Meja berlapis kaca, lemari, lukisan berlapis kaca. Ia berhenti di satu titik.

"Dingin…," Candina terlihat sedikit menggigil. Memeluk tubuhnya sendiri erat-erat. "Dingin sekali."

Silva menatapnya tak mengerti, sedikit sebal. Ia meraih remote control dan menaikkan suhu hingga maksimal.

"Tempat ini menyeramkan, Silva," bisik Candina. "Aku…aku kedinginan sekali di sini."

Silva menghembuskan napas pendek. Memerintahkan Candina untuk duduk di sofa sepertinya, memeluk bantal. Walau ini apartemen ibunya sendiri, Silva tak berani gegabah masuk ke kamar dan mengambil selimut. Atau jaket. Atau barang apapun. Hanya yang terjangkau di ruang tamu, yang berani disentuhnya.

"Kamu tidak kedinginan, Silva?" tanya Candina.

Silva menatap Candina, mengangguk pelan. Mereka lalu duduk berdampingan, berhimpitan.

"Kamu tahu apa yang membuat tempat ini sangat dingin?" Candina berbisik.

Silva menggeleng.

Candina menggenggam tangan Silva. Seluruh permukaan kulit lengan Silva nyaris membeku, dipengaruhi suhu kulit Candina yang seolah tak memiliki panas tubuh sama sekali. Kata-kata Candina yang berikutnya sama sekali tak dimengerti Silva.

"Tempat ini tak seperti rumah bu Tina, Silva. Tempat ini nyaris tak memiliki serbuk perak sama sekali!"

🔅🔆🔅

My Beloved Readers,

please enjoy the new volume. Hope you like it. Cheer me up!

Love~

lux_aeterna2022creators' thoughts