webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasy
Not enough ratings
279 Chs

Kesalahan Silva (6)

"Kita ke mana?"

"Kamu mau apa?"

Pertanyaan dan perhatian semu itu hanya menyenangkan pada awalnya. Semakin terasa kepalsuan yang bertumpuk dari hari ke hari, semakin melelahkan. Tak ada yang dapat dilakukan untuk menghibur rasa bersalah. Berjalan-jalan, menelusuri kota, menghabiskan uang. Melakukan hal-hal tak masuk akal yang sebetulnya berbahaya bila bertemu orang-orang yang tengah punya masalah.

Tapi cewek kadang tak peduli saat  menghamburkan uang. Tak menyadari berpasang mata menatap aneh, penuh pertanyaan. Kemungkinan iri, atau ingin merampas.

Belanja. Belanja. Belanja.

Baju. Pakaian dalam. Sepatu. Asesoris. Kosmetik. Pernak pernik.

Gesek. Gesek. Gesek. Tinggal gesek lagi.

Bertas-tas barang belanjaan tak penting bertumpuk di kursi belakang mobil. Semakin belanja, semakin menggesek, rasa kemenangan tumbuh. Rasa berkuasa mengembang. Rasa telah mengalahkan sesuatu. Rasa menyembunyikan ketakutan, ingin menutupi kecemasan, melipat perasaan bersalah dan pikiran-pikiran tak menentu.

Silva belanja hingga kartu geseknya menjerit.

Maaf, ada kesalahan.

Maaf, ada kesalahan.

Rendra menguntitnya ke manapun. Membawakan barang belanjaan. Memenuhi keinginannya.

"Kita ke mana?" Rendra bertanya.

Pertanyaan seragam, entah kali ke berapa, ketika mereka telah duduk kembali di dalam mobil.

Silva tersenyum lebar, namun matanya dipenuhi sungai. Rendra tampak menyayanginya. Rendra ada di sini, bersamanya. Tak terlempar suara bentakan, teriakan atau cacian. Namun, kebersamaan ini seperti permukaan imitasi yang siap merekah sewaktu-waktu. Apa yang akan terjadi jika Rendra tetiba sadar?

"Kita ke mana?" Rendra seperti robot AI –artificial intelligence,  dengan tombol rusak.

Silva menatapnya penuh kemarahan terpendam. Di ujung matanya, barang-barang berkilau bertumpuk di kursi belakang. Hanya butuh tiga jam untuk membelanjakan uang tak karuan. Tapi bukan itu yang menjadi sumber kebahagiaannya.

"Kita…"

"Casablanca!" teriak Silva marah.

Rendra terdiam.

"Kita ke Casablanca!!!" teriak Silva lebih keras, penuh amarah dan tangisan.

Menyedihkan sekali, ejek benak Silva pada dirinya sendiri. Di dunia selua sini, ia hanya punya dua tempat untuk disebutkan : Javadiva dan Casablanca.

 

🔅🔆🔅

Prangggg.

Kraaaaanng.

Kreeeek.

Suara retak spion dan kaca mobil.

Silva menjerit. Rendra menyumpah.

Kaca mobil pecah berantakan. Orang-orang bertubuh kekar di luar menghunus balok kayu.

"Dia yang punya proyek?"

"Ya. Dia. Rendra namanya! Aku sudah kuntit beberapa hari ini!"

"Kamu gak salah orang?"

"Gak! Aku kenal banget! Ya…ya! Itu orangnya!"

"Tarik! Tarik ke luar!"

"Ada cewek di sampingnya!"

"Tarik aja semua! Hajar!"

"Ha! Mereka habis belanja. Hahaha…liat? Barang belanjaan di belakang mobilnya??"

"Bwah! Habis berapa ini? Buat bayar kita gak ada!"

Pintu dirusak, dibongkar paksa.

Beberapa tubuh menarik paksa Silva dan Rendra ke luar. Gadis itu menjerit-jerit.

"Heeeh? Kamu Pak Rendra? Dari perusahaan properti Golden Stones? Ingat gak...janji mau bayar karyawan tanggal berapa?! "

"Bagian admin bilang, kalian kehabisan duit. Gaji karyawan-karyawan gak dibayar. Kami ini buruh! Makan dari uang harian! Anak istri kami gak makan, tahu!"

Rendra terdiam. Berdiri mematung.

"Heh, jangan diam aja! Jawab! Seperti kalau kamu ngumbar janji-janji!"

Orang bertubuh kekar, yang paling senior, berusaha menguasai keadaan.

"Pak Rendra! Kami nggak akan berbuat kekerasan kalau Bapak gak ingkar janji! Kami gak nuntut apa-apa selain gaji!"

"Udah, Pak Gatot! Orang kayak gitu sesekali harus dihajar! Dia kelamaan hidup di luar negeri! Gak ngerti susahnya kerja di negeri sendiri!!"

"Bisa-bisanya belanja banyak barang! Tapi gaji buruh gak dibayar!"

Bukk.

Bukk.

Buukkk.

"Mas Rendraaa!!" Silva berteriak ketakutan.

Seseorang mencengkram bahunya.

"Kamu siapa, heh? Adiknya? Atau pacarnya???" bentak seseorang yang dipanggil Gatot.

Silva bergetar hebat, "…saya…adiknya! Pak! Jangan pukul saya!"

Gatot menahan diri. Ia menarik napas dengan gusar.

"Saya bukan orang jahat!" bentaknya.

"Jangan…jangan pukul…Mas Rendra…," Silva memohon.

Bukk.

Bukk.

Bukk.

Dugg.

Silva memburu Rednra.

Beberapa satpan terlihat ingin melerai. Gatot dan rombongan menghadang, mengatakan bahwa tak perlu ada pihak berwajib turut campur. Peristiwa itu hanya murni perseteruan buruh dan majikan yang bersumber dari gaji yang lama tak dibayar.

"Mas Rendra…bangun…Mas kenapa diem aja? Mas bisa ngelawan kan…," Silva berbisik. Panik. Ketakutan. Tak percaya pada kejadian tetiba yang menyerang mereka.

Terbayang di benak Silva.

Rendra mampu menghadapi Vlad dan Cristoph. Mengapa berhadapan dengan buruh yang hanya mengandalkan otot dan kemampuan menyumpah, Rendra sama sekali bergeming? Apakah ia benar-benar tak mampu memutuskan sesuatu?

Bukk.

 Duuggg.

Rendra jatuh, berlutut. Mulutnya berdarah. Lubang hidungnya mengeluarkan cairan kemerahan. Bagai kantong pasir yang menjadi sasaran, ia hanya berdiam membisu mendapatkan pukulan dan tendangan.

Silva mencoba menerobos. Menangis. Berteriak. Tapi hanya mendapatkan kekerasan yang sama dari orang yang sudah membabi buta kelaparan. Ia mencoba meraba cincin peraknya. Mengapa tak bisa selincah seperti ketika berhadapan dengan Vlad dan Cristoph? Mengapa kekuatan perak seperti yang diucapkan Salaka dan Candina, sekarang seperti hanya omong kosong belaka? Ia tak bisa membela Rendra, atau dirinya sendiri!

Silva mencoba memeluk Rendra.

Berpikir.

Berpikir.

Berpikir!

Wajah Vlad terlintas.

Artefak perak. Perjanjian mereka.

Silva memeluk Rendra kuat-kuat. Tubuhnya ikut sakit menerima pukulan.

"Sudah! Sudah!" sebuah suara menghentikan. "Kalau dia terluka, malah kita gak akan dapat gaji!"

Silva menangis. Rasa sakit dan kebingungan tak dapat diuraikan.

Berpikir, Silva! Teriak kepalanya. Atau kau mau mati bersama Rendra di sini?

Vlad.

Vlad.

Artefak perak, perjanjian mereka.

Silva memejamkan mata. Digigitnya bibir kuat-kuat.

Beberapa orang masih melancarkan pukulan dan tendangan putus asa.

Ya, mungkin mereka marah karena Rendra menghilang tiba-tiba. Tak pernah ada kabar. Tak pernah ada kejelasan. Sementara proyek terus berjalan dan investor pun menagih kejelasan. Rendra menghilang sekian lama sejak pertarungan dengan para pangeran Eropa. Rendra menghilang selama entah berapa hari, menguntit Silva. Rendra menghilang selam tinggal di Casablanca. Silva mencoba mengurai, mengapa orang-orang penuh kemarahan itu muncul begitu saja dari perut bumi. O, mungkin mereka yang bekerja pada Rendra dan keadaan tak dapat berjalan mulus ketika Rendra menghilang.

Vlad.

Artefak perak. Perjanjian antara Silva dan sang pangeran Eropa.

Sebutir air jauh di ujung mata.

Sudah waktunya mengakhiri peristiwa palsu yang penuh kebahagiaan. Toh, ia cukup menikmati hari-hari yang menentramkan bersama Rendra. Silva memeluk Rendra. Mengangkat jemari yang tersemat cincin perak di sana, menyentuh wajah Rendra dan mengusapkan tiga kali.

Hal terakhir yang diingat Silva adalah, ia merasakan tangan Rendra membalas pelukannya untuk beberapa saat.

 

🔅🔆🔅